Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hikmah Muram dari Lembaga Eijkman

2 Januari 2022   14:32 Diperbarui: 4 Januari 2022   17:16 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lembaga Eijkman Jakarta. Foto: Antara Foto/Wahyu Putro A

Awal tahun 2022 ini, publik Indonesia terkhusus mereka yang meminati dunia riset ilmu pengetahuan alam (IPA) dikejutkan dengan isu yang beredar dari Lembaga Eijkman mengenai sejumlah pegawai yang bekerja di sana diberhentikan setelah institusi tersebut  diintegrasikan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

Atensi publik makin hangat setelah 100-an ilmuwan ini tidak mendapatkan pesangon kecuali memilih untuk melanjutkan pekerjaan mereka melalui skema perekrutan yang tersedia, termasuk dengan mengikuti seleksi PNS bagi para peneliti yang berstatus sebagai tenaga honorer.

Akan tetapi, semakin banyak suara dari masyarakat yang bisa dibilang meratapi atau bersedih karena peristiwa ini. Lebih-lebih setelah akun Twitter Lembaga Eijkman mengumumkan mereka berpamitan kepada rakyat Indonesia setelah sebelumnya Tim Waspada COVID-19 Lembaga Eijkman (WASCOVE) undur diri selepas Tim WASCOVE diambil alih oleh BRIN. 

Tim WASCOVE melaporkan bahwa para penelitinya telah melakukan riset pengembangan vaksin Merah Putih dan memeriksa lebih dari 95 ribu sampel COVID-19 dari 351 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FASYANKES). Belum hal-hal positif lainnya.

Mengapa banyak masyarakat Indonesia merasakan kesedihan dan kehilangan setelah terjadinya hal-hal di atas? Mengapa Lembaga Eijkman jadi fokus perhatian?

Sumber: Eijkman Institute
Sumber: Eijkman Institute

Pertama, publik bersolidaritas dengan 100-an ilmuwan yang diberhentikan dari tempat mereka bekerja. Tapi kan nanti akan dapat pesangon? Betul, hanya saja ilmuwan-ilmuwan tersebut harus memilih dari opsi yang tersedia, tidak bisa otomatis mengabdi bagi negara berbekal kemampuan dan intelektualitas mereka.

Apapun alasan birokrasinya, tentu saja hal itu dirasa tidak adil bila mereka yang selama ini telah bekerja sedemikian lama dan menghasilkan karya ternyata harus memulai dari awal lagi dengan mengikuti seleksi PNS. 

Mengapa seolah-olah menjadi PNS adalah satu-satunya cara untuk menjadi ilmuwan di Lembaga Eijkman? Apakah kerja keras mereka selama ini tidak dihargai? Gugatan ini memang bukan sekedar picisan karena selama ini publik sudah melihat betapa suramnya situasi pekerjaan jadi ilmuwan di Indonesia.

Dengan berkurangnya jumlah staf, produktivitas penelitian Lembaga Eijkman berisiko melorot, semakin jauh dari spirit Christiaan Eijkman yang melakukan penelitian hingga menerima Nobel Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1929. Maka, tidak salah mendambakan Lembaga Eijkman akan jadi inkubator ide agar kelak Indonesia dapat menyumbangkan satu penerima Nobel sebagai puncak kontribusi ilmiah dari Indonesia untuk dunia. Bukan sekedar mewarisi nama "Eijkman" saja.

Kedua, Lembaga Eijkman selama ini sudah dikenal sebagai lembaga independen dengan riset-riset yang mutakhir (cutting-edge) di bidang biologi molekuler dan terkait. Dengan menjadikan Lembaga Eijkman dibawahi oleh BRIN, ada kecemasan bahwa Lembaga Eijkman hanya akan memiliki topik penelitian yang wajib sejalan dengan BRIN.

Beberapa kalangan ada yang mempertanyakan fungsi BRIN. September tahun lalu, Nature memberitakan betapa para peneliti justru kuatir adanya campur tangan politik ke dalam riset. Bukan hanya anggaran riset Indonesia yang minim (0,23% dari GDP pada 2018), Indonesia juga menghadapi masalah bagaimana otonomi peneliti dan dukungan finansial tetap terjaga.

Berry Juliandi dan Bambang Suryobroto dalam The Conversation Indonesia menyatakan bahwa politisisasi agama pun dapat menghambat laju pengembangan penelitian. Lembaga Eijkman pun tidak terhindar dari risiko ini karena riset biologi molekulernya. 

Sama seperti yang dikatakan oleh Juliandi dan Suryobroto, kita dapat bertanya: Bagaimana jika para peneliti di Lembaga Eijkman dapat melakukan riset medis dengan leluasa untuk memetakan penyakit di tengah masyarakat bila masyarakatnya diperdaya dengan doktrin tertentu bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna sehingga manusia tidak boleh "disentuh"?

Hiruk-pikuk di atas justru memberikan dampak-dampak yang menurut saya menarik untuk jadi pertimbangan. Bahkan, suatu "hikmah" untuk dipertimbangkan.

Di media sosial, semakin lantang keluhan betapa tidak nyamannya iklim untuk berkarir sebagai ilmuwan profesional di Indonesia dikarenakan regulasi dan administrasi yang serba rumit. 

Ternyata, integrasi institusi riset tidak menjadikan birokrasi menjadi ringkas, melainkan justru semakin berat. Kita pun layak kuatir bila keterpaduan lembaga-lembaga penelitian justru dapat menimbulkan pertimbangan atau senjata politik tertentu untuk menyeleksi calon calon peneliti itu tadi, berdasarkan pada ulasan Nature di atas.

Ketiga, bila memang bidang riset mutakhir seperti di Lembaga Eijkman pun harus terarah menurut pada BRIN, maka keleluasaan meneliti akan berkurang sekalipun tersedia alat-alat yang canggih.

Keleluasaan melakukan penelitian merupakan hal yang substansial demi pengembangan riset dengan di dalamnya ada kemerdekaan berpikir. Bukan sekedar memenuhi roadmap atau target laporan belaka.

Jika memang sungguh demikian yang terjadi, maka tidak heran banyak dari mahasiswa/i atau peneliti berpaspor Indonesia yang enggan kembali ke Tanah Air sebab sudah mendapatkan ekosistem riset yang kondusif yang baik di luar negeri. 

Belum lagi mereka melihat bagaimana perlakuan yang diterima oleh 100-an peneliti di Lembaga Eijkman setelah diberhentikan. Ada pertimbangan aspek profesional dan personal yang sama-sama harus dipenuhi, bukan sekedar berkorban bagi bangsa.

Selain itu, tidak jarang juga kualitas riset dilihat dari bagaimana luarannya (output) dapat dikomersialkan melalui industri.  Konon, orang Indonesia gemar menggaungkan prinsip bahwa riset seharusnya dapat dirasakan manfaatnya oleh orang banyak dan adagium tersebut jadi kedok bahwa riset harus memiliki aplikasi lewat produk yang "menjual". 

Tentu riset ilmu fundamental seperti yang dilakukan oleh Lembaga Eijkman tidak dapat serta-merta dilempar ke pasar sebagai produk. Penelitian IPA pada dasarnya tidak dapat dibajak oleh kepentingan apapun karena memang riset bersifat netral tapi bukan sekedar cek kosong. Riset senantiasa berorientasi pada kemanusiaan.

Kita harus ingat bahwa Kekaisaran Jerman pernah mengangkat Fritz Haber (Nobel Kimia 1918) sebagai pimpinan riset senjata kimia untuk digunakan selama Perang Dunia I dengan nasionalisme yang dipropagandakan untuk melawan Inggris, Perancis, dan Rusia. Inilah sedikit bukti bagaimana netralitas riset disalahgunakan sebagai manifestasi nasionalis-militeris ala monarki absolut Jerman.

Apapun ulasan dan diskusi yang kita berikan, memang tidak keliru menanggapi apa yang terjadi dengan Lembaga Eijkman dengan rasa sedih dan muram. Ya, berita muram di awal tahun...

Referensi:

1. Penjelasan BRIN soal Kabar Ilmuwan Eijkman Diberhentikan Tanpa Pesangon 

2. Kata Kepala BRIN soal Pemberhentian Pegawai Eijkman 

3. Indonesia's science super-agency must earn researchers' trust

4. Malapetaka penelitian "berideologi": mengapa ilmu pengetahuan alam harus bebas dari kekangan politis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun