“Lho, kenapa begitu, Pak?”
“Ditjen Pajak itu punya tiga puluh dua ribu pegawai, Pak. Kami telah mereformasi organisasi sejak tahun 2001 sampai tahun 2007. Remunerasi, seperti saya sampaikan tadi, sudah kami terima 100%, tidak seperti teman-teman TNI dan Polri.”
“Nah, berarti gajinya sudah besar dong, Pak. Kok masih ada Gayus?”
“Begini, Pak. Ijinkan saya jelaskan hal mendasar dari sebuah perselingkuhan. Gayus tak main sendiri, ada pihak lain yang terlibat di sana, yaitu perusahaan yang menyuapnya. Atasan saya mengistilahkan it takes two to tango, nari tango itu harus melibatkan dua orang. Dan orang kedua yang menjadi pasangan selingkuhnya Gayus itu ya pengusaha, temen-temen Bapak itu..hahaha”
Saya melirik ke belakang, melihat reaksi pasangan suami istri itu. Saya tak berharap apa yang saya sampaikan barusan merusak pertemanan yang baru saja terjalin. Rupanya kekawatiran saya tidak terjadi.
“Iya, pak Slamet. Teman-teman pengusaha memang sekarang jadi malas bayar pajak lho, takut uangnya dikorupsi Gayus.”
Ah, saya berkesah. Rupanya Gayus sudah menjadi merk generik sebuah kejahatan, sama dengan Aqua yang menjadi merk generik air dalam kemasan, Honda untuk sepeda motor dan Kodak untuk kamera.
“Pak... selama ini Bapak bayar pajaknya kemana?”
“Ke bank, Pak. Saya kan punya rekening giro.”
“Nah, apa mungkin saya bisa mencuri uang pajak yang Bapak bayar itu?”
“Menurut saya sih susah, Pak. Kecuali pak Slamet bisa mbobol sistem perbankan.”