nguntungkan saya. Jarak rumah saya dengan run way bandara hanya seperlemparan tombak, terselang dua ruas jalan dan sebuah sungai buatan. Meski demikian, untuk menuju bandara tersebut, saya harus memutar, tapi hal itu hanya perlu waktu 15 menit.
Penerbangan Citilink jurusan Yogya pagi itu terjadwal tepat waktu. Pukul 10.50 WIB kami sudah boarding. Pemeriksaan fisik di bandara ini terasa lebih ketat jika dibandingkan dengan pemeriksaan fisik di Soekarno Hatta atau bahkan di Changi sekalipun. Sebagai warga kampung yang berdampingan dengan bandara ini, saya maklum. Kawasan ini adalah ring I. Saya masih ingat ketika Goergo W. Bush berkunjung ke Indonesia, seharian telepon seluler kami tidak bisa digunakan karena sinyalnya diacak.
Ketika ceck in saya berharap mendapat tempat duduk di seat F, atau jendela kiri. Saya hafal, take off dari Halim Perdana Kusuma ini nyaris selalu ke arah barat. Dengan duduk di sebelah kiri, berarti saya bisa memotret rumah saya dari ketinggian, karena letak rumah saya berada di sebelah selatan bandara. Sayangnya sistem pembagian kursi dilakukan secara otomatis, sehingga hanya keberuntungalah yang saya tunggu. Kali ini saya sama sekali tak beruntung, karena mendapat jatah seat di 25 B. Tempat yang sama sekali tidak ideal untuk memotret.
Deru mesin Airbus A320 membelah kesunyian pagi yang temaram karena mendung. Take off berlalu dengan mulus. Sensasional rasanya terbang dari sebelah rumah. Majalah yang tersaji di pesawat ini terlalu kecil ukuran hurufnya, membuat mata saya lelah. Saya lantas terbenam dalam kantuk. Rasanya saya baru saja terlelap, ketika tiba-tiba pesawat berguncang. Rupanya pilot sudah mengurangi ketinggian karena sebentar lagi akan melakukan pendaratan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 12.10 WIB. Saya rada heran, kenapa pilot sudah menurunkan ketinggiannya, mengingat waktu pendaratan sesuai jadwal tadi masih 20 menit lagi? Rupanya kepadatan jalur ini yang menjadi penyebabnya. Pesawat berputar-putar di atas kota Yogya dan Klaten beberapa kali sebelum akhirnya mendarat dengan enak di Adi Sucipto. Selamat datang di Yogyakarta, everyday is Sunday, demikian kata orang sini.
Saya bergegas menyusul berdiri ketika penumpang sebelah saya sudah beranjak dari tempat duduk. Di kabin saya membawa dua tas, tas kamera dan tas laptop, sementara tas pakaian saya titipkan di bagasi. Belum genap lima langkah ke pintu belakang, pandangan saya bersirobok dengan mantan teman seruangan di kantor lama. Ah, Heni... Dia adalah panitia acara yang akan saya ikuti. Kebetulan tempat tinggalnya di komplek perumahan TNI Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, sehingga terbang dari Halim adalah pilihan utama.
“Ke hotel naik apa, Hen? Naksi bareng aja, yuuuk”
“Lho, kan ada fasilitas jemputan, maSla.”
Ah.. saya benar-benar beruntung bersua. Selama ini saya tidak pernah peduli dengan fasilitas penjemputan hotel, sampai-sampai sehari sebelumnya saya sibuk bertanya ke teman-teman, mas Eko dan mas Rindhang, tentang angkutan umum dari bandara ke Malioboro.
Setelah mengambil tas di ban berjalan, saya dengan Heni bergegas keluar terminal kedatangan. Seorang pemuda berbadan kurus tampak memegang kertas putih bertuliskan “Mrs. Heni, Jakarta. Hotel Inna Garuda”. Itulah penjemput kami.
Rupanya selain kami berdua ada dua penumpang lain di mobil kami. Mereka adalah sepasang suami isteri. Saya mengambil posisi duduk di sebelah pengemudi, sementara Heni dan suami istri itu duduk bertiga di bangku tengah.
Kami langsung terlibat obrolan akrab dan bertukar informasi profesi masing-masing. Sang suami adalah seorang pria berusia 50-an. Penampilannya perlente. Sang istri adalah seorang wanita berusia 45-an dengan dandanan rapi dan hijab modis. Mereka adalah pengusaha jaket kulit kelas premium yang sedang berencana membuka outlet di hotel Inna Garuda.