Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita Tak Harus Setinggi Langit

13 September 2018   12:01 Diperbarui: 20 September 2018   13:02 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(matatarantula.com)

sebelumnya

Cita Cita Tak Harus Setinggi Langit

Putri Pembayun bergegas menuju ke dapur untuk mencari telur asin kiriman Ki Koh Agil dari Brebes. Namun belum lagi ketemu tempat telur asin itu, Putri Pembayun mendengar suara Bunda Fitri dari arah belakang rumah:

"Cita-cita tidak harus setinggi langit, Muthi."

Putri Pembayun menjadi penasaran dengan yang dibicarakan Bunda Fitri. Untuk sejenak Putri Pembayun lupa pada tujuannya pergi ke dapur, karena tertarik ingin mendengarkan pembicaraan Bunda Fitri. Dengan siapa ya, Bunda Fitri saat ini ?, pikir Putri Pembayun. Oh, mungkin dengan mbak Muthia, tadi kan Pangeran Sepuh sempat bilang kalau mbak Muthia sedang main ke sini. Tapi apa yang sedang dibicarakan Bunda Fitri dengan mbak Mutia, pikir Putri Pembayun makin jauh. Ada baiknya, aku ke sana saja, biar tahu yang dibicarakan mereka berdua, lanjut Putri Pembayun.

"Maksud Bunda Fitri dengan tidak boleh menggantungkan cita cita setinggi langit itu, lalu kita tidak boleh ingin sukses seperti orang lain begitu ?" tanya Muthiah.

"Ya. Tante Fitri ini bagaimana sih. Kalau orang lain bisa kenapa kita tidak bisa. Setiap orang hidup kan mempunyai hak yang sama. Orang lain sukses, kan tidak boleh dihalang-halangi. Apalagi hanya mau bercita-cita setinggi langit saja kok nggak boleh.

Kita ini ya, mbak Muthi, kalau punya cita-cita setinggi langit, kan seandainya jatuh, masih bisa di puncak gunung.

Nah, kalau cita-cita hanya sampai di pohon jambu. Kalau jatuh ya hanya kembali ke tanah. Udah lah cita cita tidak tercapai sakit lagi. Kan rugi.

Lagian, kan hanya cita cita. Gratis tanpa biaya. Mau setinggi langit. Mau setinggi awan. Memang ngaruh." cerocos Putri Pembayun, langsung nimbrung pembicaraan antara Bunda Fitri dengan Muthiah.

"Eh, Pembayun, bukannya kamu tadi lagi asyik main hp. Kayaknya kamu sudah tidak dapat dipisahkan dari hp. Tiada hari tanpa hp." seloroh Bunda Fitri.

"Dinda Pembayun yang manis, apa kabar, tuh kakak bawakan sajadah kecil buatan Turki." salam Muthiah.

"Langsung dari Turki, mbak Muthia ?" tegas Putri Pembayun

"Hemmm. Nggak juga sih, mbak beli di tanah air. Untuk praktisnya saja." jawab Muthiah.

"Ya. Kirain, langsung dari Turki. Mbak Muthi kayak para jemaah haji deh. Beli oleh oleh di tanah air, tapi bilang kalau oleh oleh dari tanah suci." seloroh Putri Pembayun.

"Pembayun, pergi sana, main hp saja. Datang datang udah nggak sopan sama Tamu dari jauh. Mending ucapkan terima kasih sudah dikasih oleh oleh. Bersyukur Alhamdulillah, mbak Muthia masih ingat sama kamu. Eh malah nyindir. Ayo istighfar. Minta maaf sama mbak Muthi." sergah Bunda Fitri.

"Lho, kan Pembayun hanya bilang kirain langsung dari Turki. Atau kalau oleh oleh orang pulang haji langsung dari tanah suci. 

Ya. Hadiah nya kita terima. Usahanya mengingat kita dengan membeli oleh oleh walau pun di tanah air tetap mendapat pahala. Tapi maaf maaf, kalau pulang haji beli beli olehnya di tanah air, berkah dari tanah sucinya nggak dapet." jawab Putri Pembayun.

"Boleh juga nih visi Pembayun." sela Muthiah.

"Pembayun mana punya visi, mbak Muhti. Orang masih suka main hp saja. 

Visi itu juga cita cita untuk masa depan. Cita cita yang terukur. Banyak orang membuat visi yang muluk muluk supaya nampak hebat. Namun sayangnya visi yang ditentukan tidak terukur, sehingga untuk mencapai visi tersebut menjadi suatu hal yang mustahil.

Visi harus dapat diturunkan menjadi misi-misi yang jelas dan bertahap untuk dapat mencapai visi. Bukan hanya sekedar ditulis biar keren. Seperti pembicaraan tadi, menggantungkan cita cita setinggi langit. Tanpa tahu bagaimana cara mencapainya." jelas Bunda Fitri.

"Tapi ada juga memang sebagian orang berpendapat bahwa kesuksesan di dunia ini tidak perlu dicari, toh itu hanya semu. Dunia adalah sandiwara. Pada akhirnya kehidupan akheratlah yang abadi. Jadi tidak perlu mempunyai keinginan atau harapan untuk hidup sukses di dunia, apalagi membuat cita cita setinggi langit, untuk apa. 

Apakah itu yang Bunda Fitri maksudkan ?" tanya Muthiah.

"Bulshit. Bunda Fitri pernah menjadi permaisuri. Sukses mendapat penghargaan di pusat kerajaan. Bagaimana mungkin Bunda Fitri tidak bercita-cita tinggi ?" sergah Putri Pembayun.

"Astaghfirullahaladzhim, Pembayun, kamu ini sukanya membuka buka kenangan lama. Itu semua kan sudah berlalu. 

Subhanallah, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi. 

Muthi juga Pembayun. 

Ada sebagian orang yang menghindari dunia, karena berpandangan bahwa tidak ada daya dan upaya selain dari kekuatan Allah. Mau berbuat apa pun di dunia, jika tidak ditakdirkan Allah terjadi, maka akan gagal juga. Semua perbuatan manusia sudah diatur oleh hukum hukum Allah. Jadi Ada sebagian orang lalu meninggalkan kehidupan duniawi, lebih mementingkan kehidupan ukhrawi. 

Sebagian yang lain justru merasa perlu untuk berusaha. Menurut pandangan mereka yang ingin berusaha, bukankah Allah memberikan karunia akal untuk berpikir. Dengan akal kesuksesan kemuliaan dapat diusahakan. Akal membuat banyak orang menggali sumber daya manusia, akal membuat banyak orang membuat potensi sumber daya alam menjadi power yang dahsyat. Akal dan materi membuat orang bagai terbang tinggi. Mendewa-dewakan akal menjadi prinsip hidup. Keberhasilan adalah karena usaha oleh akalnya semata.

Namun terkadang banyak orang lupa, jika lalu usahanya kandas. Banyak orang lupa jika tertimpa musibah. Jika usahanya tidak berhasil. Jika keinginannya tidak tercapai. " jelas Bunda Fitri.

"Lalu apa hubungannya dengan tidak perlu menggantungkan cita cita setinggi langit, Bunda Fitri ?

Apakah kita tidak perlu mencapai hidup sukses di dunia. Seperti halnya Bunda Fitri saat ini menyepi di Dieng Plato bersama Baginda Raja Armanda." sela Muthiah.

"Bukan begitu Muthiah. Maksud Bunda Fitri, kita boleh saja mempunyai cita cita yang tinggi, tetapi dalam setiap akan melangkah menuju cita cita yang tinggi itu, kita harus tentukan target target tahapannya. 

Bukan asal pasang cita cita setinggi langit, tapi tidak tahu harus berbuat apa setelah itu. 

Atau bahkan justru sudah merasa hebat karena dapat menentukan visi yang luar biasa tinggi. Namun lupa membuat misi misi untuk mencapai visi. Baru duduk jadi juru bicara sudah bicara surga dan neraka. Kan malah jadi masalah. 

Tentukan cita cita lalu buat target target sesuai kemampuan. Pada tahapan tertentu kompetensi dan rejeki akan semakin tinggi. Jika cita cita sudah terlampaui. Buat lagi dan begitu seterusnya. Peraih medali emas pertama atlit taewondo itu juga tidak langsung begitu jadi atlit lalu ingin meraih medali emas. Bahkan atlit wushu putri sudah ingin mundur sebelum akhirnya berniat meraih medali. Semua ada tahapannya. Bank saja ada yang pakai tahapan." kata Bunda Fitri.

lanjut ke

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun