"Dinda Pembayun yang manis, apa kabar, tuh kakak bawakan sajadah kecil buatan Turki." salam Muthiah.
"Langsung dari Turki, mbak Muthia ?" tegas Putri Pembayun
"Hemmm. Nggak juga sih, mbak beli di tanah air. Untuk praktisnya saja." jawab Muthiah.
"Ya. Kirain, langsung dari Turki. Mbak Muthi kayak para jemaah haji deh. Beli oleh oleh di tanah air, tapi bilang kalau oleh oleh dari tanah suci." seloroh Putri Pembayun.
"Pembayun, pergi sana, main hp saja. Datang datang udah nggak sopan sama Tamu dari jauh. Mending ucapkan terima kasih sudah dikasih oleh oleh. Bersyukur Alhamdulillah, mbak Muthia masih ingat sama kamu. Eh malah nyindir. Ayo istighfar. Minta maaf sama mbak Muthi." sergah Bunda Fitri.
"Lho, kan Pembayun hanya bilang kirain langsung dari Turki. Atau kalau oleh oleh orang pulang haji langsung dari tanah suci.Â
Ya. Hadiah nya kita terima. Usahanya mengingat kita dengan membeli oleh oleh walau pun di tanah air tetap mendapat pahala. Tapi maaf maaf, kalau pulang haji beli beli olehnya di tanah air, berkah dari tanah sucinya nggak dapet." jawab Putri Pembayun.
"Boleh juga nih visi Pembayun." sela Muthiah.
"Pembayun mana punya visi, mbak Muhti. Orang masih suka main hp saja.Â
Visi itu juga cita cita untuk masa depan. Cita cita yang terukur. Banyak orang membuat visi yang muluk muluk supaya nampak hebat. Namun sayangnya visi yang ditentukan tidak terukur, sehingga untuk mencapai visi tersebut menjadi suatu hal yang mustahil.
Visi harus dapat diturunkan menjadi misi-misi yang jelas dan bertahap untuk dapat mencapai visi. Bukan hanya sekedar ditulis biar keren. Seperti pembicaraan tadi, menggantungkan cita cita setinggi langit. Tanpa tahu bagaimana cara mencapainya." jelas Bunda Fitri.