Mohon tunggu...
Mas Indra Putra Alamsyah
Mas Indra Putra Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - +62

Tata Kelola Pemilu dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Media

24 Februari 2022   19:00 Diperbarui: 24 Februari 2022   19:03 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran baru atau keberpihakan media massa inilah yang menyebabkan pembelahan atau polarisasi di tengah masyarakat dan inilah yang kentara serta acap kali terjadi di masa elektoral khususnya di Indonesia pada Pemilu 2014 dan 2019 lalu.

Pembentukan dan penggiringan opini publik terus dilakukan demi menciptakan new mindset yang berhilir pada prilaku pemilih. Memang tidak setiap media massa melakukannya, namun definisi politik Niccolo Machiavelli semakin terbukti dan meyakinkan ketika Pemilu mulai memasuki masa-masa kampanye bahkan pra kampanye definisi tersebut menjadi kebenaran tunggal.

Beragam media massa baik yang berjalan di atas tanah maupun merayap di dalam tanah pun ikut mengisi warna-warni opini massa sebagai upaya penggalangan nalar masyarakat terlepas itu benar ataupun salah yang berakibat terporosoknya khalayak ke dalam jurang "Truth Illusion Effect" Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino (1977) yang teradaptasi dari Hukum Propaganda "Argentum ad nausem" Joseph Goebbels.

Dengan situasi tersebut, masyarakat pun terjun bebas ke dalam masa Post-Truth sebuah dimensi situasi di mana emosi atau keyakinan komunikan (media massa dan sosial) atau masyarakat lebih unggul dibandingkan fakta objektif.

Dimensi situasi ini pun bebas menggurita sebab ditunjang oleh kemudahan dalam mengakses informasi dan berita yang semakin "cakep" dalam balutan multimedia yang tersinkronasi ke dalam beragam aplikasi media sosial sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan teknologi internet saat ini.

Menurut laporan We Are Social sebuah organisasi agensi kreatif global yang berkedudukan di 15 negara tersebar di empat benua mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia per Januari 2021 mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73,3 persen dari populasi. Jumlahnya meningkat tajam sebesar 15,5 persen atau sekitar 27 juta jiwa pertahunnya.

Artinya bahwa media massa saat ini mempunyai peran dan potensi besar dalam mempengaruhi, mengendalikan dan menggiring isu, opini serta prilaku pemilih dalam situasi politik khususnya pada masa elektoral.

Pemilik media sekaligus aktor atau relasi politik akan meraup benefits atas situasi ini. Sederhananya "barang siapa yang memiliki modal besar dan akses atas media maka dialah yang akan menguasai opini publik". Coba lihat layar media (televisi) anda dan buat kalkulasi statistik dimana saja figur-figur politik unggulan sering tampil, dan bagaimana situasinya bila yang bersangkutan menang dalam kontastasi? jawabnya adalah mutualisme politik.

Penutup

Analisis tentang politik dan media cakupannya sangat luas, karena terkoneksi pada bidang-bidang strategis lainnya seperti sosial budaya, ekonomi dan industri, cyber security, pertahanan dan keamanan, proxy war, intelijen dan lainnya.

Interaksi atau perkawinan antara media dan politik sebenarnya sudah kadung tak terelakkan, di satu sisi politik membutuhkan media dalam promosi dan pengendalian isu khalayak, begitu halnya media membutuhkan politik dalam mengisi kolom-kolom strategis jurnalisnya guna mengdongkrak dan menarik konsumsi pasar, bahkan terkadang melakukan click bait seperti yang sering terjadi di media massa online saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun