Mohon tunggu...
Mas Indra Putra Alamsyah
Mas Indra Putra Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - +62

Tata Kelola Pemilu dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Media

24 Februari 2022   19:00 Diperbarui: 24 Februari 2022   19:03 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: ndla.no

Di era keterbukaan informasi saat ini politik dan media tidak dapat dipisahkan ibarat pinang dibelah dua keduanya mengambil peran dan azas mamfaat satu dengan yang lain demi suksesi kepentingan.

Media yang sejatinya sebagai saluran saluran informasi dan edukasi serta hiburan belakangan acap ditunggangi oleh aktor-aktor politik guna membangun dan menggiring opini yang ujung-ujungnya untuk mendongkrak elektabilitas.

Begitu juga halnya politik, media menggunakan isu-isu politik sebagai komoditas unggulan untuk menaikkan oplah atau pembaca/pemirsanya (viewers). Apakah kepo politik telah menjadi sifat alami manusia sehingga setiap kemunculannya menciptakan fenomena dan impresi? atau media dewasa ini memang sangat mahir dalam mengemas komoditas politik sehingga dapat mudah mengontrol kognitif dan emosi viewers?.

Beranjak dari etimologi, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang bermakna negara kota, dan setelah mengalami perkembangan tingkah laku manusia politik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan individu lainnya guna mencapai kemamfaatan bersama atau usaha untuk menuju kehidupan yang lebih baik (en dam onia atau the good life, Plato dan Aristotles).

Peter Merkl dalam Miriam Budiarjo (2007) menegaskan definisi politik  sebagai jalan untuk mencapai kepentingan yang bermuara pada terciptanya tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Apakah politik berkonotasi baik atau positif? mari kita cek toko sebelah. 

Toko sebelah atau sisi lain, politik memiliki definisi yang negatif bahkan ekstrem mengingat konsep "memperebutkan dan mempertahankan" kekuasaan seperti yang disampaikan oleh Niccolo Machiavelli yakni politik adalah suatu cara untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan kelompok, oleh sebab itu untuk melestarikan kekuasaannya  maka diperbolehkan menggunakan segala cara.

Konsensus defenisi tersebut melahirkan pemahaman dan konsep yang dituangkan  dalam suatu metode ilmiah yang bernama ilmu politik yang memiliki ruang lingkup yang sangat luas sebagai bagian dari ilmu sosial yang meliputi ketatanegaraan, pemerintahan, kebijakan, siasat dan sejenisnya, kembali kepada user bagaimana cara dan tujuan menggunakannya apakah konstruktif atau destruktif.

Beralih ke variabel selanjutnya, media menurut Hafied Cangara (Pengantar Ilmu Komunikasi, 2010:123) adalah alat atau sarana untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan media massa didefinisikan lebih spesifik sebagai alat penyampai pesan yang dapat berbentuk surat kabar, televisi, radio dan film dan mengalami perkembangan signifikan seiring dengan munculnya internet yang bernama media sosial.

Di awal kemunculannya sekitar tahun 1920-an media massa disinonimkan sebagai pers yang identik dan dikaitkan dengan kegiatan jurnalistik. Kegiatannya tidak jamak karena hanya dilakukan orang-orang tertentu sesuai dengan kaidah-kaidah profesi dan output-nya adalah berita yang disampaikan kepada khalayak ramai.

Sementara media sosial merupakan kelanjutan dari perkembangan media massa atau buah dari teknologi komunikasi yang kemunculnya hampir bersamaan dengan internet sekitar tahun 70-an yang ditandai lahirnya surat elektronik (E-mail).

Menyusul di era 90-an (sixdegree dan classmates) dan berlanjut pada tahun 2002 (friendster) hingga era Internet of Thing  saat ini (Facebook, twitter, myspace, linkedln, wiser, google+, pinterest, path, instagram) dan many others.

Hipotesis penulis adalah politik dan media dapat duduk akur berdampingan di kursi pelaminan tidak lain karena keduanya mempunyai kepentingan yang sama yakni kekuasaan. Politik menunggangi media guna meraup nilai elektoral itu sudah awam diketahui sedangkan media menunggangi politik guna meraup kedigjayaan ekonomi, loh dimana hubungannya? bukankah kedigjayaan ekonomi dikonotasikan sebagai kekuasaan yang identik dengan kekuatan.

Dengan kekuatan ekonomi seseorang dapat "membeli" apa saja, mulai dari fisik hingga non fisik semua dapat diatur alias "cincai lahh" yang penting money talks atau dengan istilah lain Sultan mah bebas semua aman dan terkendali. Disinilah Rational Choice Theory bekerja dalam mempengaruhi preferensi individu. Untuk menguji hipotesis penulis mari kita cermati uraian di bawah dalam scope Indonesia.

Media massa merupakan salah satu pilar demokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar saat ini dengan jumlah penduduk per Juni 2021 sebanyak 272.229.372 jiwa, dengan komposisi 137.521.557 laki-laki dan 134.707.815 perempuan (dukcapil.kemendagri.go.id).

Jumlah pemilih terakhirnya (DPTHP 3) pun fantastis mencapai 192.866.254 yang terdiri dari 190.770.329 pemilih dalam negeri dan 2.058.191 pemilih luar negeri. Adapun jumlah yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506 jiwa atau 81 persen melesat naik dari Pemilu sebelumnya (nasional.kompas.com).

Media massa memegang peran vital dalam demokrasi, bukan hanya sebagai saluran aspirasi, informasi dan edukasi lebih jauh dari itu, media massa juga berperan dalam mempengaruhi proses konsolidasi demokrasi.

Di era gemerlap media saat ini, media massa berperan mengatur dan menentukan hal-hal apa saja yang patut di perbincangkan di dalam atmosphire sosial khususnya sosial politik. Dengan memamfaatkan kemajuan teknologi informasi (multi media), media massa tampil mengontrol dan menentukan hal-hal apa saja yang patut dan tidak patut dikonsumsi masyarakat (Hypodermic Needle Theory) terlebih lagi bila penguasa media juga menjadi bagian dari politik maka jalan menuju "Roma" semakin mulus.

Di Indonesia, terdapat beberapa raja-raja media yang paling menonjol yaitu : Chairul Tanjung (CT Corp); Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom MNC Group); Eddy Kusnadi Sariaatmadja (EMTEK); Bakrie Group (Visi Media Asia); Surya Paloh (Media Group); Keluarga Riady (Berita satu Media Holding); Dahlan Iskan (Jawa Pos) dan Jakoeb Oetama (Kompas Gramedia).

Dari delapan nama di atas terdapat dua raja media yang telah mendeklerasikan dirinya sebagai aktor politik ditandai dengan berdirinya partai politik masing-masing, yaitu Surya Paloh (Partai Nasdem 11 november 2011) dan  Hary Tanoesoedibjo (Partai Perindo 7 Februari 2015). Bagaimana bentuk berita yang diproduksi bila penguasa media massa juga menjadi aktor politik atau penguasa? mar-ki-cek (mari kita cek).

Setiap berita yang dikonsumsi oleh khalayak merupakan hasil kerja jurnalis yang kemungkinan besar telah mengalami proses konstruksi dan seleksi redaksi yang mempengaruhi pemberitaan.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Resse melalui Level Media Theory dalam Sudibyo (2001:7) menyebutkan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi pemberitaan di media massa Pertama, aktivitas jurnalis (individual level); Kedua, pola rutinitas media (media routines level); Ketiga, Manajemen dan kebijakan redaksi (organitation level); Keempat, pihak di luar media (ekstamedia level); dan Kelima, ideologi media (ideological level).

Ideologi media merupakan faktor paling penting dalam menentukan arah dan isi dari pemberitaan sebuah media massa sekaligus sebagai proyeksi kepada khalayak tentang tujuan dan kepentingan siapakah media atau media massa tersebut bekerja.

Mengenai konsep kepentingan, setiap media massa tidak lepas dari kombinasi dua faktor yang berkonsekuensi langsung pada isi pesan dan agenda setting media yakni faktor internal dan ekternal. faktor internal berupa keputusan manajemen editor dan redaksi sedangkan eksternal meliputi konsumen pemasang iklan, pejabat pemerintah dan individu-kelompok di luar media yang mempunyai sumber daya ekonomi.

Dengan uraian teoritis di atas bila dikaitkan dengan realita saat ini dimana pemilik media juga bagian dari politik praktis maka dapat diasumsikan bahwa setiap isi berita tersebut sarat dengan kepentingan partai sang pemilik media maka konsekuensinya adalah media massa tersebut secara perlahan tapi pasti akan mereduksi nilai-nilai objektivitas dan profesional jurnalistik serta akan kehilangan independensi.

Nilai objektivitas sangat penting dalam penyusunan pemberitaan, fakta yang autentik dan netralitas harus di jaga, media massa memberitakan peristiwa apa adanya tanpa penilaian sepihak sehingga komunikan atau khalayak dapat menafsirkan serta memberi penilaian atas hasil karya jurnalistik.

 Begitu juga halnya profesional, sejatinya media massa harus memberitakan setiap sudut pandang dari sumber berita guna menghindari ambiguitas dan bias, hal ini penting karena profesionalitas secara langsung melekat pada kualitas media yang dimaksud.

Dan juga yang tak kalah penting adalah bagaimana media massa tersebut berdiri atas kemandirian atau independensi tanpa adanya kontrol khususnya dari luar. independensi media massa juga merupakan  proyeksi dari logika sebuah media massa dalam memberitakan kebenaran dan merupakan parameter dalam membedakan apakah media massa tersebut merupakan corong rakyat, korporasi atau sekedar flyer negara.

Sintesa singkat penulis, objektifitas, profesionalitas dan independensi media massa harus berpondasi pada kebebasan yang beretika agar terhindar dari kebablasan yang akhirnya merusak kualitas orientasi media dan khalayak. Kebebasan juga harus menggunakan hati nurani sebagai sumber kebenaran yang hakiki serta bertanggung jawab penuh (bukan menciptakan hoax) atas karya yang dihasilkan baik secara organisasi maupun sosial.

Albert Camus seorang filsuf sekaligus jurnalis peraih hadiah Nobel Sastra 1957 dari negeri fashion Prancis pernah berkata :  "freedom is not a gift received from state or leader, but a possesion to be won every day by the effort of each and the union of all"  Kebebasan bukanlah hadiah yang diterima dari negara atau pemimpin, tetapi milik yang harus dimenangkan setiap hari dengan upaya masing-masing dan persatuan semua.

 Permasalahan Perkawinan Politik dan Media di Masa Electoral

Peran media menjadi perpanjangan tangan politik merupakan hal yang biasa. Melalui media, setiap wacana dan gagasan serta kegiatan politik dapat tersampaikan ke mata publik sehingga ruang lingkup politik (partai dan aktor) akan mengisi public space dan menjadi pusat atensi jika dilakukan secara konsisten dan sustainable.

Horornya yang terjadi adalah ketika media massa menjelma menjadi aktor politik dimana dengan kekuatan sumber dayanya media massa dapat mengendalikan komoditas (isu) guna keuntungan pribadi-kelompok. Bila ada yang diuntungkan tentu ada yang dirugikan, dan pasti itu adalah kompetitor dari penunggang kuda yang bertopeng media.

Peran baru atau keberpihakan media massa inilah yang menyebabkan pembelahan atau polarisasi di tengah masyarakat dan inilah yang kentara serta acap kali terjadi di masa elektoral khususnya di Indonesia pada Pemilu 2014 dan 2019 lalu.

Pembentukan dan penggiringan opini publik terus dilakukan demi menciptakan new mindset yang berhilir pada prilaku pemilih. Memang tidak setiap media massa melakukannya, namun definisi politik Niccolo Machiavelli semakin terbukti dan meyakinkan ketika Pemilu mulai memasuki masa-masa kampanye bahkan pra kampanye definisi tersebut menjadi kebenaran tunggal.

Beragam media massa baik yang berjalan di atas tanah maupun merayap di dalam tanah pun ikut mengisi warna-warni opini massa sebagai upaya penggalangan nalar masyarakat terlepas itu benar ataupun salah yang berakibat terporosoknya khalayak ke dalam jurang "Truth Illusion Effect" Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino (1977) yang teradaptasi dari Hukum Propaganda "Argentum ad nausem" Joseph Goebbels.

Dengan situasi tersebut, masyarakat pun terjun bebas ke dalam masa Post-Truth sebuah dimensi situasi di mana emosi atau keyakinan komunikan (media massa dan sosial) atau masyarakat lebih unggul dibandingkan fakta objektif.

Dimensi situasi ini pun bebas menggurita sebab ditunjang oleh kemudahan dalam mengakses informasi dan berita yang semakin "cakep" dalam balutan multimedia yang tersinkronasi ke dalam beragam aplikasi media sosial sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan teknologi internet saat ini.

Menurut laporan We Are Social sebuah organisasi agensi kreatif global yang berkedudukan di 15 negara tersebar di empat benua mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia per Januari 2021 mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73,3 persen dari populasi. Jumlahnya meningkat tajam sebesar 15,5 persen atau sekitar 27 juta jiwa pertahunnya.

Artinya bahwa media massa saat ini mempunyai peran dan potensi besar dalam mempengaruhi, mengendalikan dan menggiring isu, opini serta prilaku pemilih dalam situasi politik khususnya pada masa elektoral.

Pemilik media sekaligus aktor atau relasi politik akan meraup benefits atas situasi ini. Sederhananya "barang siapa yang memiliki modal besar dan akses atas media maka dialah yang akan menguasai opini publik". Coba lihat layar media (televisi) anda dan buat kalkulasi statistik dimana saja figur-figur politik unggulan sering tampil, dan bagaimana situasinya bila yang bersangkutan menang dalam kontastasi? jawabnya adalah mutualisme politik.

Penutup

Analisis tentang politik dan media cakupannya sangat luas, karena terkoneksi pada bidang-bidang strategis lainnya seperti sosial budaya, ekonomi dan industri, cyber security, pertahanan dan keamanan, proxy war, intelijen dan lainnya.

Interaksi atau perkawinan antara media dan politik sebenarnya sudah kadung tak terelakkan, di satu sisi politik membutuhkan media dalam promosi dan pengendalian isu khalayak, begitu halnya media membutuhkan politik dalam mengisi kolom-kolom strategis jurnalisnya guna mengdongkrak dan menarik konsumsi pasar, bahkan terkadang melakukan click bait seperti yang sering terjadi di media massa online saat ini.

Media massa sejatinya berperan sebagai penyampai kebenaran tanpa meremix-kan antara kebenaran dan kepentingan apapun sehingga media massa tetap dalam on the track yang objektif, profesional dan independen.

Nilai-nilai kebenaran harus selalu menjadi pondasi dalam setiap pemberitaan agar masyarakat tidak terperangkap dalam ambiguitas yang akhirnya mencari pembenaran melalui media-media underground (hoax) yang menjamur khususnya di musim-musim pemilihan.

Ingat!!! Amerika Serikat menyebar luaskan laporan militer melalui media massa yang isinya bahwa Saddam Husain (Irak) memiliki senjata pemusnah masal yang pada kenyataannya tidak terbukti alias hoax. Ratusan ribu jiwa melayang, peradaban intelektual musnah akibat penjarahan dan nafsu serakah manusia dan kini hanya mewarisi perang saudara sebagai panggung proxy negara-negara adi daya.

Cermat dan waspadalah.

Penulis adalah Peneliti Politik sekaligus ASN KPU Kabupaten Aceh Timur S2 Tata Kelola Pemilu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun