Mohon tunggu...
Mas Indra Putra Alamsyah
Mas Indra Putra Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - +62

Tata Kelola Pemilu dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Depan Demokrasi di Tangan Pemilih Pemula

18 Juli 2021   23:55 Diperbarui: 19 Juli 2021   00:38 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang mungkin beranggapan bahwa judul di atas kurang tepat karena masa depan demokrasi pastilah di tangan rakyat sebagai pemilik saham mayoritas di negara ini. Anggapan tersebut tentu tidak salah, namun perlu diketahui bahwa lima, sepuluh ataupun dua puluh tahun ke depan masa depan bangsa ini akan berada tepat di tangan para pemuda pemudi Indonesia yang kita sebut saat ini sebagai pemilih pemula, itulah yang ingin penulis maksudkan.

Apa sebenarnya definisi dari pemilih pemula?. Mengutip dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 19 Ayat 1 dan 2 yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga negara yang pada hari pemungutan telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin dan terdaftar sebagai pemilih.

Pemilih pemula atau yang keren disebut dengan first time voter merupakan warga negara yang memberikan hak suara untuk kali pertama dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau pemilihan yang usianya sekitar 17-21 tahun. Pemilih pemula pada umumnya diidentifikasi sebagai pelajar yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan dari kalangan mahasiswa, ini juga berlaku bagi anak-anak putus sekolah yang telah memenuhi kriteria usia pemilih, dalam istilah Pemilu, pensiunan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri juga juga termasuk dalam katagori pemilih pemula.

Di Indonesia, usia 17 tahun dikonotasikan sebagai awal usia kematangan berpikir, maka di usia tersebut seorang remaja dapat diberikan izin dan pengakuan untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) dan sejenisnya termasuk hak untuk memilih. Di negara-negara luar terdapat perbedaan misalnya di Austria, Brasil, Kuba, Nicaragua, Somalia (16 tahun), Jepang, Liechtenstein, Nauru, Maroko, Korea Selatan, Taiwan, Tunisia (20 tahun), Bahrain, Fiji, Gabon (21 tahun) dan pada umumnya 18 tahun di kebanyakan negara demokrasi.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Liisa Ansala (Voting at 16 -- Consequences on youth participation at local and regional level, 2015) melalui The Congress og Local and Regional Authority, Ansala menemukan bahwa sebagian besar negara-negara di penjuru dunia telah menetapkan usia 18 tahun sebagai batas usia minimum untuk memilih, hal disebabkan oleh pergeseran demografis, pendidikan, akses informasi yang cenderung semakin luas dan pemamfaatan teknologi yang masif guna mengakses berbagai informasi khususnya politik.

Selain itu kesadaran politik pemuda baik secara individu maupun kolektif mengalami peningkatan yang signifikan dan dapat diaplikasikan ke dalam bentuk pengambilan keputusan. Konsekuensi logisnya adalah para pemuda tersebut diperlakukan seperti orang dewasa dimana mereka harus membayar pajak dan tuntutan komersial lainnya. Namun terdapat sisi positif yakni para pemuda dengan mudah memperoleh pekerjaan di sektor formal dan diperlakukan sama di depan pengadilan dan dapat menikmati hak-hak demokrasi yang sama seperti orang dewasa.

Terdapat beberapa kontra argumen atas batas usia tersebut, hal ini menjadi topik perdebatan sengit di beberapa belahan negara demokrasi. Bantahan tersebut datang dari riset Markus Wagner, David Johann, Sylvia Kritzinger (Voting at 16: Turnout and the Quality of Vote Choice). Markus dan kawan-kawan menemukan bahwa remaja muda belia (16-18 tahun) belum memiliki kemampuan dan motivasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam pemilihan bahkan lebih parahnya lagi pada usia tersebut berpotensi menimbulkan efek negatif bagi kualitas demokrasi.

Markus dan kawan-kawan lebih dalam menjelaskan, dalam pengujian sample mereka menggunakan data survei negara di Eropa (Austria) dan mereka kembali menemukan bahwa tingkat partisipasi kaum muda di bawah 18 tahun relatif lebih rendah, hal ini disebabkan kegagalan pemahaman atas pilihan mereka yang tidak sinkron dengan motivasi partisipasi memilih. Selain itu, kualitas pilihannya pun lebih mirip dengan pemilih berusia lanjut yang tidak mencerminkan keinginan atau harapan atas pilihannya.

Jika berkaca pada Pemilu di Indonesia, persentase jumlah pemilih pemula dari Pemilu ke Pemilu mengalami fluktuasi. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang disalin dalam riset Widodo, Gama, Kusumastuti (Tingkat Partisipasi Politik Pemilih Pemula Faktor Penentu Keberhasilan Pemilu, 2018) menunjukkan bahwa jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mencapai 11 persen dari 186 juta pemilih; Pemilu Tahun 2004 mencapai 18,4 persen dari 147 juta pemilih; Pemilu Tahun 2009 mencapai 21 persen dari 171 juta pemilih sementara untuk Pemilu 2019 angkanya masih dalam rangkaian proses penelusuran penulis.

Naik turun persentase pemilih pemula yang signifikan tentu menjadi suatu fenomena dan tanda tanya besar what's going on with our millennial?. Namun sebelum mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi minat partisipasi pemilih pemula, alangkah baiknya kita terlebih dahulu menelaah tentang karakteristik pemilih pemula.

Secara umum terdapat beberapa karakteristik pemilih pemula yakni: Pertama, belum memiliki pengalaman memilih; Kedua, memiliki rasa antusias yang tinggi; Ketiga, relatif rasional; Keempat, mudah bergejolak sehingga berpotensi mengalami gesekan atau konflik sosial; Kelima, memiliki rasa ingin tahu untuk mencoba hal-hal yang baru; Keenam; berlatar belakang semu dan mudah dipengaruhi; Ketujuh, mental yang labil dan cepat berubah pilihan. Untuk mencermati hal di atas, mari kita konversikan pada Pemilu 2019.

Pemilih yang telah matang sebelum menjatuhkan pilihan biasanya sudah mengantongi preferensi jelas yang dijadikan sebagai parameter untuk memilih misalnya pada nilai-nilai ideologis pertai atau kandidat. Pada pemilih pemula parameter tersebut biasanya tidak dipakai malah sebaliknya pemilih pemula cenderung bergantung pada preferensi non ideologis yang sering mengangkat tema-tema keseharian misalnya banjir, macet, layanan publik dan sejenisnya atau dalam bahasa penulis "percaya pada kenyataan seketika dan kurang dalam menggunakan analisis .

Gejolak dan rasa keingintahuan yang tinggi pada pemilih pemula juga cenderung mendorong mereka terlibat dalam mobilisasi politik atau dikenal dengan politic valunterisme, contohnya  adalah gerakan Relawan Jokowi Mania, Relawan Pemuda Prabowo-Sandi, Gerakan Muda Sukabumi Prabowo-Sandi dan lainnya. Sayangnya, tak jarang antar relawan tersebut terlibat gesekan atau konflik seperti yang sering kita saksikan  di berbagai platform media sosial (cebong versus kampret/kadrun).

Kemudian, karena tidak berlandaskan nilai-nilai ideologis, para pemilih pemula cenderung mudah untuk berbalik arah dukungan atau "tidak cocok sedikit merajuk atau dulu cinta sekarang benci". Hal inilah yang disebut dengan efek pemilih non ideologis seperti yang terjadi pada Aliansi Rakyat Merdeka yang dulunya tergabung dalam gerakan Pro-Jokowi (Projo) namun sekarang nehi aca aca. Biasanya pola cabut dukungan ini berlaku pada kandidat yang menang pada Pemilu sedangkan pola kutu loncat akan nampak pada waktu masa Pemilu berlangsung yaitu ketika memasuki masa-masa kandidasi dan kampanye, sejumlah fungsionaris atau elit akan ramai-ramai terjun ke dalam arus politik tertentu hal ini didorong bukan hanya karena faktor ideologis namun bisa saja karena faktor pragmatis.

Gerakan-gerakan pemuda dalam kaca mata politik merupakan suatu upaya politis untuk mendulang elektabilitas sebanyak-banyaknya khususnya dari segmen "daun hijau", semakin banyak gerakan atau perkumpulan yang dibentuk maka semakin besar pula potensi kemenangan. Dari sudut marketing politik, semakin banyak perkumpulan maka masyarakat semakin yakin akan kredibilitas calon atau kandidat bersangkutan yang selanjutnya diteruskan melalui pendekatan intelijen politik dalam menggalang dan membentuk pilihan politik masyarakat melalui agen-agen di lapangan.

Secara sikap dan pilihan politik, pemilih pemula sebenarnya memilih bukan berdasarkan pertimbangan personal namun lebih dominan dipenguruhi oleh preferensi yang di-inject-kan oleh pilihan sosialnya yakni teman sejawat alias kolegial. Sebuah riset oleh Suwana (Digital Media and Indonesian Young People: Building Sustainable Democratic Institutions and Practices, 2018) menunjukkan bahwa kaum millenial  sebagai digital generation dalam membangun eksistensi dan representasinya membentuk komunitas atau kolompok mereka sendiri.

Melalui kelompoknya tersebut terbentuklah pikiran dan sikap yang cenderung mengarah pada satu kesamaan pilihan termasuk dalam pilihan politik. Hal ini yang sering diekplorasi oleh elit politk (calon) guna menyatukan dukungan seperti kelompok band Slank yang pada Pemilu 2019 lalu terafirmasi masuk dalam barisan pendukung Jokowi dan beberapa musisi serta artis nasional lainnya.

Minat partisipasi pemilih pemula ditentukan oleh beberapa faktor. Teori Milbrath dalam Sastroatmodjo (1992) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih Pemula yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung terdiri dari : stimulan politik; karakter sosial; sistem politik dan karakter regional. Sedangkan faktor penghambat terdiri dari : aktifitas sehari-hari; ketidakpercayaan diri dan pengaruh internal. Pada kajian ini penulis memfokuskan pada analisis stimulan politik.

Penulis menilai bahwa stimulan politik dapat memberi kontribusi dan dorongan yang besar dalam meningkatkan partisipasi pemilih pemula. Stimulan atau rangsangan politik pada pemilih pemula harus dikemas dan disesuaikan dengan karakter serta kondisi kekinian agar pesannya dapat sampai secara maksimal. Kegiatan penyampaian pesan politik tersebut biasanya disebut dengan sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2017, Sosialisasi Pemilih didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilihan, Sedangkan pendidikan pemilih didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian informasi kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang pemilihan. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dan pendidikan pemilih bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran para pemilih dalam konteks tulisan ini yakni pemilih pemula.

Suhartono (2009) menyebutkan bahwa "Pemilih pemula adalah pemilih yang mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan. Oleh karena itu, semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari". Dari definisi di atas tentu terbayang bagaimana sulitnya dalam menerapkan sosialisasi dan pendidikan pada segmen ini, namun dibalik kesulitan pasti ada kemudahan (Q.S Asy-Syarh/94;5-5).

Millenial atau pemilih pemula identik dengan internet dan media sosial, data kemen infokom menyebutkan bahwa pemilih pemula biasanya menggunakan fasilitas tersebut untuk mencari informasi, komunikasi dan hiburan.

Statista sebuah perusahaan Jerman pada Tahun 2020 melakukan sebuah survei pasar dan konsumsi internet di Indonesia, hasilnya  menunjukkan bahwa pengguna media sosial pada usia remaja atau dikatagorikan pemilih pemula mencapai angka 30,3 persen dengan perincian 16, 1 persen laki-laki dan 14,2 persen perempuan, sedangkan untuk usia dewasa (25-34) angka penggunanya mencapai 35,4 persen dan pada usia lanjut (>55) angkanya jauh lebih sedikit dari dua sebelumnya.

Sekali lagi, dalam rangka meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih, pemerintah dalam hal ini KPU  harus memperhatikan peran penting dan pemilihan media sebagai sarana penyampaian sosialisasi dan pendidikan pemilih khususnya untuk pemilih pemula, media yang dimaksud adalah media sosial.

Sosialisasi dan pendidikan yang menggunakan media/sarana mainstream atau formal, cenderung memberi efek bosan (boring) dan kurang menarik untuk diikuti. Sebaliknya penggunaan media kekinian alias medsos yang dekat dengan millenial akan mempercepat penyampaian dan pemahaman atas tujuan dari kegiatan sosialisasi dan pendidikan kepada pemili pemula.   

Selain penggunaan yang tepat, isinya pun harus ramah dengan jangkauan nalar serta mudah diakses oleh, dimana dan kapan pun sehingga akan berimplikasi pada kepercayaan penyelengaraan dan penyelenggara Pemilu.

Akhir kata ...

Pemilu merupakan salah satu ciri penting dari negara demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa Pemilu. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu indikator penting susksesnya pelaksanaan Pemilu, semakin besar angka partisipasi, maka bisa dikatakan semakin demokratislah negara tersebut. Pemilih pemula merupakan salah satu segmen masyarakat yang terlibat dalam Pemilu

Pemilih pemula mempunyai karakter yang khas dibandingkan dengan segmen pemilih lainnya. selain minim pengetahuan dan pengalaman, pemilih pemula juga berpotensi besar untuk dimobilisasi oleh kepentingan politik yang cenderung mencari keuntungan pragmatis bukan edukatif.

Sosialisasi dan pendidikan bagi segmen pemilih pemula harus dilakukan secara masif dan sustainable agar narasi pelaksanaan Pemilu sebagai bagian dari pendekatan politik kewarganegaraan tidak terdistorsi dalam konotasi busuk dan sesat yang bisa mereduksi nilai-nilai luhur hakikat kedaulatan rakyat.

Pola sosialisasi dan edukasi harus adaptif dengan kondisi dan karakter pemilih pemula. Pemamfaatan dan penguasaan teknologi informasi dapat menentukan tingkat keberhasilan dari proses sosialisasi dan pendidikan pemilih. Jika hal tersebut dapat dilakukan maka pemilih pemula di Indonesia akan semakin baik dari segi kuantitas dan kualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun