Ada benarnya juga. Namun apakah dia tahu seberapa besar yang akan diberikan Allah jika dia mampu menahan diri dan mematuhi kebijakan pemerintah yang dilegitimasi oleh para ulama?Â
Allah Yang Maha Melihat pasti tak luput dalam menilai niat, keikhlasan dan rasa kehilangan yang ada di hati setiap muslim. Serahkan tanggung jawab dalam 'menyepikan masjid' untuk sementara waktu kepada para pengambil keputusan terutama di MUI. Mereka pasti berpijak pada dalil baik naql maupun aql.
Kita yang awam ilmu ini kadang mengedepankan nafsu dalam beribadah sekalipun.Â
Mengenai nafsu, kita ingat pesan Syekh Ibu Atthaillah al-Sakandari dalam al-Hikam yang masyhur itu,Â
Sumber dari semua maksiat, kelalaian dan syahwat itu, karena ingin memuaskan hawa nafsu. Sedangkan sumber segala ketaatan, kesadaran dan budi pekerti ialah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu. [al-Hikam bab 43]
Ibadah dan nafsu terdengar sebagai dua hal yang kontradiktif. Meski kenyataannya tak begitu.Â
Nafsu pun kadang 'berkontribusi' dalam ibadah. Kehadiran nafsu itu akhirnya menimbulkan perbuatan riya' atau ujub bahkan merendahkan orang lain karena menilai semangat ibadah mereka tak semumpuni dirinya. Termasuk menganggap saudara seiman yang mengganti Jum'atnya dengan Dhuhur sebagai orang yang lebih takut kepada corona daripada Allah.
Dan dalam sebuah bait Burdah-nya, Syekh Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri atau lebih lazim dikenal sebagai Imam al-Bushiri menuliskan :
Lawanlah hawa nafsu dan setan durhaka, dan awasilah keduanya.
Jika mereka tulus menasehati, maka engkau harus mencurigainya.
Tapi bukankah setan itu selalu mengajarkan keburukan, mengajak maksiat dan selalu berkata dusta?
Tidak.
Bukankah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari nabi, Abu Hurairah r.a., mendapatkan pelajaran tentang faedah membaca Ayat Kursi dari setan?Â
Dalam hal itu nabi mengatakan bahwa yang dikatakan setan kala itu adalah kebenaran meski pada dasarnya ia adalah pendusta.