Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Rugi Beribadah di Rumah Selama Ramadhan?

18 April 2020   23:57 Diperbarui: 21 April 2020   12:03 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamaah salat bersama keluarga | Foto www.keluarga.my

Ramadhan sepekan lagi. Dan pasti akan berbeda dengan tahun lalu. 

Ramadhan Yang Sama Namun Berbeda

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan selalu hadir setelah Sya'ban. Orang Jawa menyebutnya wulan Ruwah. Dan mengenai wulan Ruwah ini, ada sebuah tradisi yang terjaga hingga kini. Nyadran namanya. 

Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam tradisi itu adalah besik. Besik adalah kegiatan untuk membersihkan makam leluhur, bisa juga orang tua atau keluarga lain. Mertua saya adalah salah satu yang masih menjalankan tradisi itu. Namun tahun ini, kegiatan itu terhalang oleh corona. 

Ramadhan yang sama, namun tak akan terasa sama. Sama, karena bulan itu masih saja penuh bonus dan kemudahan dalam mendapatkan ganjaran. Mudah, karena di bulan itu kaum muslim secara sadar berlomba dalam melakukan kebaikan. Dari menyediakan makanan berbuka hingga bangun di penghujung malam untuk salat malam.

Namun tak akan sama karena kehadirannya bersamaan dengan pandemi global yang disebabkan oleh makhluk berjuluk Covid-19. 

Masjid yang biasa dipenuhi jamaah dari Subuh hingga Isya, nampaknya akan sepi. Buka bersama dan tadarus akan berpindah ke rumah-rumah. 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menyarankan kepada umat Islam untuk beribadah di rumah. Dan menghindari penyebaran virus pun bernilai ibadah. Demikian yang diutarakan Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am saat bertandang ke kantor BNPB (13/4/2020). *

Meski demikian, ada saja sebagian kalangan berpendapat bahwa kehadiran wabah ini harusnya digunakan untuk lebih bermunajat kepada Allah. Salah satunya adalah dengan tetap meramaikan masjid. 

Silakan saja jika berpendapat demikian, asalkan dapat menjamin tak ada madharat yang menjadikan berkumpulnya kaum muslim di masjid sebagai asbab menyebarnya wabah. Yang tentu hal itu adalah kemudaratan yang besar.

Ibadah di Rumah Saat Ramadhan, Tekor Dong!

Mereka yang menentang fatwa atau saran beribadah di rumah saja saat Ramadhan bisa jadi berpikir bahwa rugi besar jika bulan itu dilewatkan tanpa memakmurkan masjid atau musala. Seseorang akan dengan mudah kehilangan keutamaan salat berjamaah di masjid yang pada Ramadhan dilipatgandakan lagi ganjarannya. 

Ada benarnya juga. Namun apakah dia tahu seberapa besar yang akan diberikan Allah jika dia mampu menahan diri dan mematuhi kebijakan pemerintah yang dilegitimasi oleh para ulama? 

Allah Yang Maha Melihat pasti tak luput dalam menilai niat, keikhlasan dan rasa kehilangan yang ada di hati setiap muslim. Serahkan tanggung jawab dalam 'menyepikan masjid' untuk sementara waktu kepada para pengambil keputusan terutama di MUI. Mereka pasti berpijak pada dalil baik naql maupun aql.

Kita yang awam ilmu ini kadang mengedepankan nafsu dalam beribadah sekalipun. 

Mengenai nafsu, kita ingat pesan Syekh Ibu Atthaillah al-Sakandari dalam al-Hikam yang masyhur itu, 

Sumber dari semua maksiat, kelalaian dan syahwat itu, karena ingin memuaskan hawa nafsu. Sedangkan sumber segala ketaatan, kesadaran dan budi pekerti ialah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu. [al-Hikam bab 43]

Ibadah dan nafsu terdengar sebagai dua hal yang kontradiktif. Meski kenyataannya tak begitu. 

Nafsu pun kadang 'berkontribusi' dalam ibadah. Kehadiran nafsu itu akhirnya menimbulkan perbuatan riya' atau ujub bahkan merendahkan orang lain karena menilai semangat ibadah mereka tak semumpuni dirinya. Termasuk menganggap saudara seiman yang mengganti Jum'atnya dengan Dhuhur sebagai orang yang lebih takut kepada corona daripada Allah.

Dan dalam sebuah bait Burdah-nya, Syekh Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri atau lebih lazim dikenal sebagai Imam al-Bushiri menuliskan :

Lawanlah hawa nafsu dan setan durhaka, dan awasilah keduanya.
Jika mereka tulus menasehati, maka engkau harus mencurigainya.

Tapi bukankah setan itu selalu mengajarkan keburukan, mengajak maksiat dan selalu berkata dusta?

Tidak.

Bukankah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari nabi, Abu Hurairah r.a., mendapatkan pelajaran tentang faedah membaca Ayat Kursi dari setan? 

Dalam hal itu nabi mengatakan bahwa yang dikatakan setan kala itu adalah kebenaran meski pada dasarnya ia adalah pendusta.

Bukan tak mungkin, saat kita merasa diri memiliki semangat tinggi dalam beribadah, sejatinya setan sedang membersamai niat itu. Dia tengah bermain cantik dengan menghadang manusia dengan agendanya, kesia-siaan dalam ibadah atau justru kemaksiatan berselubung ibadah.

Allahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun