Menurut dosen Studi Antropologi dan Sejarah Islam New York University, Ismail Fajri Alatas dalam acara Q & A di Metro TV, fenomena hijrah berjamaah bukanlah sebuah hal baru.Â
Di Jawa misalnya, sudah sejak dulu muncul desa-desa perdikan yang masyarakatnya berfokus pada tujuan untuk menjadi muslim yang taat di bawah bimbingan seorang kiai ageng atau ki ageng.Â
Namun yang baru dan berkembang di dunia saat ini adalah sebuah presentasi hijrah sebagai produk gaya hidup yang dijual. Hal itu ditengarai dengan munculnya institusi-institusi ekonomi yang tumbuh dan berkembang di sekitar konsep hijrah diantaranya fashion dan musik islami.Â
Menurut Global Islamic Economy pada tahun 2018/2019, Indonesia menempati peringkat ke-3 dalam konsumsi fashion muslim dengan nilai sekitar USD20 milyar setelah Turki (USD 28 milyar) dan Uni Emirat Arab (USD 22 milyar).Â
Angka itu tak mengherankan mengingat potensi yang ada di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.Â
Termasuk dalam hal konsumsi makanan berlabel halal. Khalayak ada kalanya memiliki kecenderungan untuk memilih produk makanan yang telah melewati setifikasi MUI tersebut.
Fenomena semacam itu bukanlah menjadi masalah karena merupakan ekses positip dari bergeraknya seseorang ke arah positip bukan inti dari hijrah itu sendiri.Â
Hijrah dan EksklusivitasÂ
Menjalani perbaikan diri tak lantas harus dibarengi dengan sikap anti terhadap orang lain yang masih berkutat pada hal-hal yang tak mematuhi norma. Karena sesuatu yang seharusnya dijauhi itu adalah perbuatan buruk bukan individu yang melakukannya.Â