Hijrah, dalam perspektip tahun qamariyah Islam adalah sebuah kata bermuatan historis tinggi karena di dalamnya mengandung kisah seorang utusan Tuhan yang melakukan sebuah perjalanan fisik nan panjang antara 2 kota yang disucikan oleh umat Islam, Makkah dan Madinah yang kala itu masih disebut Yatsrib.Â
Pelaku Sejarah HijrahÂ
Dalam rangka mendukung perjalanan itu, sahabat yang kelak menjadi pengganti rasulullah setelah mangkatnya, Abu Bakar al-Shiddiq rela mendampinginya menempuh ratusan kilometer.Â
Sementara putrinya nan salehah, Asma' binti Abu Bakar rela mengendap-endap menghindari pertemuan dengan kaum kafir Quraisy demi menghantarkan makanan untuk rasul junjungannya dan ayahanda tercinta.Â
Dukungan keluarga Abu Bakar dilengkapi dengan peran putranya, Abdullah, yang menjadi pembaca situasi masyarakat Quraisy selama perjalanan itu berlangsung.Â
Tak kalah heroiknya, sepupu Abul Qasim (Rasulullah S.A.W), Ali bin Abi Thalib pun memberikan sumbangsihnya dengan menjadi pengalih perhatian dengan bersedia menggantikan nabi tidur di atas ranjangnya.Â
Tentu bukan tak menyadari resiko menjadi bulan-bulanan para pengepung, namun pemuda yang suatu saat nanti dibai'at oleh kaum muslimin dan menjadi khalifah rasyidah ke-4 itu gagah-gagah saja dalam menjalankan perannya.Â
Hijrah nabi tersebut pun mencatat nama Abdullah bin Uraiqith yang bertindak sebagai penunjuk jalan dan Amir bin Fuhairah yang menjadi pembantu selama perjalanan menempuh ratusan kilometer itu.Â
Begitu monumentalnya perjalanan itu, sayyidina Umar bin Khaththab yang menjadi amirul mukminin menggantikan sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq menetapkannya sebagai tahunnya umat Islam yang hingga kini diperingati oleh umat Islam tak terkecuali di Indonesia yang kaya akan tradisi.Â
Hijrah Masa KiniÂ
Saat ini kata 'hijrah' kerap digunakan untuk mengidentifikasi perpindahan seseorang dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik yang terkait dengan masalah spiritual. Dari yang tak mengedepankan agama menjadi pribadi yang sibuk akan menggali ilmu agama.Â
Menurut dosen Studi Antropologi dan Sejarah Islam New York University, Ismail Fajri Alatas dalam acara Q & A di Metro TV, fenomena hijrah berjamaah bukanlah sebuah hal baru.Â
Di Jawa misalnya, sudah sejak dulu muncul desa-desa perdikan yang masyarakatnya berfokus pada tujuan untuk menjadi muslim yang taat di bawah bimbingan seorang kiai ageng atau ki ageng.Â
Namun yang baru dan berkembang di dunia saat ini adalah sebuah presentasi hijrah sebagai produk gaya hidup yang dijual. Hal itu ditengarai dengan munculnya institusi-institusi ekonomi yang tumbuh dan berkembang di sekitar konsep hijrah diantaranya fashion dan musik islami.Â
Menurut Global Islamic Economy pada tahun 2018/2019, Indonesia menempati peringkat ke-3 dalam konsumsi fashion muslim dengan nilai sekitar USD20 milyar setelah Turki (USD 28 milyar) dan Uni Emirat Arab (USD 22 milyar).Â
Angka itu tak mengherankan mengingat potensi yang ada di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.Â
Termasuk dalam hal konsumsi makanan berlabel halal. Khalayak ada kalanya memiliki kecenderungan untuk memilih produk makanan yang telah melewati setifikasi MUI tersebut.
Fenomena semacam itu bukanlah menjadi masalah karena merupakan ekses positip dari bergeraknya seseorang ke arah positip bukan inti dari hijrah itu sendiri.Â
Hijrah dan EksklusivitasÂ
Menjalani perbaikan diri tak lantas harus dibarengi dengan sikap anti terhadap orang lain yang masih berkutat pada hal-hal yang tak mematuhi norma. Karena sesuatu yang seharusnya dijauhi itu adalah perbuatan buruk bukan individu yang melakukannya.Â
Yang lebih buruk lagi, jika yang jadi pangkal persoalan bukanlah masalah baik dan buruk namun hanya sekedar ikhtilaf alias beda pendapat antar mazhab ataupun ulama. Ilmu agama sangatlah luas yang di dalamnya terdapat banyak penafsiran dari para ulama yang mu'tabar (otoritatip dalam keilmuannya).Â
Sehingga bersikap eksklusif, merasa benar sendiri apalagi berbekal penafsiran ala kadarnya karena tak memiliki basic keilmuan yang memadai hanyalah menimbulkan perpecahan di antara orang awam yang amat disayangkan.Â
Sekali lagi, semangat hijrah seharusnya tidak hanya diproyeksikan untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain yakni bagaimana mereka yang masih di luar lingkaran dapat bersimpati dan akhirnya mengikuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H