Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala NU dan Salafi "Berkongsi" Hadapi Hizbut Tahrir

12 Agustus 2019   13:14 Diperbarui: 12 Agustus 2019   15:38 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unggahan Felix Siauw dalam Instagramnya | Sumber IG Felix Siauw

Pengangkatan seorang pemimpin atau khalifah di masing-masing wilayah adalah boleh karena sifatnya yang darurat (dlaruri). Sehingga kita tak akan menemukan pernyataan yang bersifat subversip dari 2 golongan ini. 

Salah satu peristiwa yang merekam legitimasi para ulama akan keabsahan sebuah pemerintahan yang didirikan di wilayah Sabang hingga Merauke adalah Konferensi Ulama pada 3 - 6 Maret 1954 di Cipanas Bogor. Salah satu butir yang ditetapkan pada perhelatan itu adalah penetapan Presiden Soekarno sebagai waliy al-amr al-dlaruri bi al-syaukah atau pemegang pemerintahan dalam keadaan darurat. 

Salah satu pendiri NU, KH. Abdulwahhab Hasbullah dalam satu ulasannya di depan parlemen pada 29 Maret 1954 menyebut bahwa seorang Imam al-A'dham (pemimpin umat Islam yang tunggal) haruslah memiliki kemampuan keislaman yang mumpuni bukan sekedar cakap dalam politik. Dan jika tak ditemui orang yang memiliki kualitas demikian, maka wajib bagi umat Islam memilih pemimpin dalam konteks darurat, seperti Soekarno misalnya. 

Pandangan-pandangan seperti itu yang nampak akan dikikis oleh HT. Mereka memasang target untuk menghimpun kembali umat Islam yang kini sudah tersebar di penjuru dunia dalam satu kekuasaan di bawah 1 pemimpin sebagaimana keadaan di masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). 

Termasuk pada masa pemerintahan kerajaan Islam pertama selepas mundurnya sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib -- Dinasti Umayyah --yang kemudian diruntuhkan oleh Bani Abasiyyah hingga akhirnya berdiri dan runtuhnya Dinasti Utsmaniyah yang berpusat di Turki. 

Salah satu dalil yang kerap dimunculkan dalam kampanye pro khilafah adalah "hadits 5 zaman" yang mengetengahkan ramalah nabi tentang masa sepeninggalnya. 

Lima zaman itu meliputi zaman kenabian, khilafah 'ala minhajin nubuwwah (khilafah di atas jalan kenabian), mulkan 'adhan (penguasa yang mengigit), mulkan jabbariyan (penguasa yang memaksakan kehendak) dan kemudian kembali ke zaman khilafah 'ala minhajin nubuwwah. 

Para penggerak khilafah berpendapat bahwa masa kini adalah masa keempat yang diawali dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani. Dan kini mereka tengah giat untuk menggalang kekuatan untuk meraih zaman terakhir, kembalinya khilafah 'ala minhaj nubuwwah. Padahal status hadits tersebut masih dipermasalahkan selain sedikitnya kandungan al-Quran dan kalam rasul yang menyinggung masalah khilafah itu. 

Bahkan kakek dari Syekh Taqiyuddin al-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir sendiri, yakni Syekh Yusuf bin Ismail al-Nabhani pun berpendapat bahwa masa ke-5 sudah berlalu ditandai dengan masa kepemimpinan amirul mu'minin nan saleh, Umar bin Abdul Aziz. 

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah para ulama yang terlibat dalam Ijtima' IV benar-benar menempatkah khilafah sebagai tujuan yang hendak dicapai?

Kita nantikan saja kisah selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun