Tulisan ini saya buat atas apa yang yang saya tonton dalam acara BukaTalks dengan narasumber dr. Jiemy Ardian. Bagi yang ingin mendengarkannya masih bisa ditonton di chanelnya BukaTalks.
Pertolongan Pertama pada Perasaan, dr. Jiemy mengawali pemaparan itu dengan sebuah cerita dari tokoh yang bernama Mei. Dia (Mei) merupakan seorang mahasiswi fakultas kedokteran.Â
Suatu ketika Mei ini datang pada dr. Jiemy dan mengungkapkan perasaannya yang sedih, tidak ada semangat untuk menjalani hidup. Kalimat selanjutnya tentu bisa ditebak, adalah dia ingin mengakhiri hidupya.Â
Setelah dilakukan pemeriksaan dr. Jiemy menjelaskan bahwa tidak ada hal besar yang mencetuskan "Saya ingin mengakhiri hidup" pada Mei. Agaknya susah untuk dipahami orang yang baik-baik saja, keluarganya dalam keadaan baik-baik saja, dan kuliahnya juga baik-baik saja, tapi pada kenyaataanya Mei merasa keadaannya begitu buruk. Apakah Mei sehat?
Definisi sehat!
Sehat merupakan kesejahteraan dimana seseorang dapat menyadari kemampuan diri, mengatasi tekanan hidup, dapat bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi pada lingkungan sekitar
Apakah Mei mampu menyadari kemampuan dirinya? Sulit. Apakah Mei mampu mengatasi tekanan hidup? Tidak. Apakah Mei produkti? Mungkin, karena dia masih kuliah. Apakah Mei memberikan kontribusi ke lingkungan sekitar? Tidak, dia justru menjauh dari lingkungan pergaulannya. Apakah Mei tidak sehat?
Orang yang tidak sakit, belum tentu sehat! Apakah Mei sakit? Dalam hal ini sakit gangguan jiwa. Apakah gangguan jiwa itu?
Ketika pikiran perasaan atau perilaku sudah mengakibatkan stres dan disability secara permanen dalam melakukan aktifitas sehari-hari seperti bekerja, bersosialisai, ataupun belajar itu bisa dikatan sebagai gangguan jiwa.
Apakah Mei menderita? Iya jelas. Kalau tidak dia tentunya tak berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Apakah Mei disability? Iya, dia tidak mampu jadi seperti dirinya. Mei mengalami gangguan jiwa.
Mengapa?Â
Yerkes Dodson Curve, menjelaskan bahwa stres diperlukan untuk manusia berkembang dan berkarya. Kurang stres itu tidak sehat. Akan timbul rasa inactive dan bored. Terlalu stres itu juga tidak baik. Stres yang berlebih akan menimbulakn burnout.
Kurang stres itu tidak baik, terlalu stres juga tidak baik. Lantas apa yang baik? Yang sedang-sedang saja, begitulah lirik sebuah lagu. hehe.Â
Stres yang dialami Mei itu sama, soal kuliah. Tidak ada yang berbeda. Dia tetap kuliah. Dia tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Tapi mengapa responnya berbeda?Kenapa stres yang sama berbeda pada setiap orang?Bahkan stres yang sama bisa direspon dengan reaksi yang beda pada orang yang sama pada waktu yang berbeda? Ternyata stres bukan satu-satu faktor alasan seseorang mengalami gangguan jiwa.Â
Martin Selegmen memeberikan beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Menurutnya kebahagiaan itu 50% berasal dari gen, 10% lingkungan (tingkat stres), dan 40% berasal dari respon kita.
Stres itu sendiri hanya menyumbang 10% saja. Ternyata faktor genetik menyumbang cukup besar faktor kebahagiaan. Sederhananya kita bahagia atau tidak bahagia itu adalah nasib. Tapi, apakah 50% itu isinya tidak  baik semua? Lantas bagaimana dengan yang 40%nya itu? Yang tidak bisa dirubah, biarkanlah.
Kembali ke permasalahan Mei!
Apa yang bisa kita lakukan?Â
Reaksi terhadap kesedihan itu bisa saja sangat keliru. Hal tersebut dapat menyebabkan kesedihan itu bergeser menjadi penderitaan, bahkan penderitaan yang berkepanjangan. Bukan kesedihannya yang jadi masalah, melainkan apa yang kita maknai dalam kesedihan itulah masalahnya.
Anggaplah kita bicara tentang sebuah kesedihan, bagaimana kita memandang kesedihan itu?Â
Ada dua cara pandang dalam kesedihan, yaitu "doing" dan "being". Doing adalah proses pikir yang biasa kita lakukan dalam sehari-hari. Ada keadaan yang kita inginkan, dan ada keadaan kita sekarang. Diantara keduanya ada pilihan untuk sedih dan tidak sedih, (gimana sudah mumet???)
Saya sedih! Kenapa saya sedih? Karena saya gagal. Karena saya tidak layak hidup di dunia ini. Apakah jawabannya membuat kesedihan itu hilang? Tidak, tidak sama sekali. Kenapa pertanyaan alasan sedih itu  tidak pernah terjawab? Kita berusaha menyelesaikan masalah, tapi kita terjebak dalam masalah.Â
Ada satu proses lagi dalam  "doing" , yaitu membicarakan soal masa depan, kita membayangkan dan merencanakan bagaimana menyelesaikan masalah itu sendiri. Sedih itu dirasakan sekarang atau masa depan?Â
Tentu sekarang, bukan! Bagaimana menghilangkan kesedihan yang kita rasakan sekarang dengan membawanya ke masa depan? Tidak makesense!Â
Satu-satunya cara untuk mengatasi kesedihan adalah dengan "being". Adalah kondisi tidak melakukan. Bearti tidak usah ngapa-ngapain? Bentar. Tidak melakukan bukan bearti diam saja.Â
Tidak melakukan artinya menyadari kondisi saat ini. Ada pilihan, ada kesadaran di sana. Ketika kita sedih pikiran itu cenderung  menyempit. Pokoknya saya hanya fokus pada kesedihan, seakan isteri yang baik, teman yang sportif itu hilang begitu saja.Â
Bagaimana melakukannya?Â
Sadarilah kondisi saat ini, tanpa perlu menghakimi apapun. Ketika saya sedih, yang membuat sedih ini bertahan adalah kesedihan itu sendiri atau karena saya menghakimi sedih dan ingin sedih ini berlalu.Â
Sedih akan dengan sendirinya berlalu, jika kita mengizinkannya berlalu. Apakah itu akan berlalu cepat atau lambat? Biarkan kesedihan itu sendiri yang menentukan waktunya. Tapi, semakin kita memikirkan bagaimana menghilangkan kesedihan, kesedihan ini akan semakin kuat dan berada bersama dengan kita seterusnya.Â
Hal itu karena kita memakai doing, dengan membawa kesedihan itu ke masa depan, dengan harapan di masa depan ia akan hilang. Sadarilah secara penuh tanpa perlu melakukan apa-apa saat itu!Â
Bearti saya harus menangis terus menerus? Bukan juga, itu bukan being. Jika itu yang dilakukan bearti kita mengizinkan perasaan mengambil alih kehidupan.Â
Persaan tidak berada di titik ekstrem: harus disangkal atau harus diluapkan apa adanya (menangis, marah), tidak. Keduanya membawa masalah masing-masig.Â
Jawaban selalu ada di tengah.Â
Tidak menyangkal, saya menyadari dan menerima.Â
Tidak pula berteriak dan menangis, saya bertanggung jawab atas emosi saya. Setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan mentalnya masing-masing, atas kebahagiaannya masing-masing, dan saya memilih bertanggung jawab atas kesedihan saya dengan merasakannya dan mengizinkannya berlalu.
Seandainya kita mampu memahami seluruh emosi tidak ada yang bertahan selamanya, untuk apa kita terganggu dengan sesuatu yang tidak selamanya .
Satu hari, satu minggu, bulan, tahun? Tidak selamanya, bukan? Mengapa kita terganggu seakan itu akan bertahan selamanya? Kenapa kita juga sangat ingin mendekati senang, yang itu juga tidak selamanya.Â
Senang, sedih adalah peristiwa mental yang tidak selamanya. Kesadaran akan hal tersebut membawa kita pada perspektif lain bahwa dengan mendiamkannya pun akan baik-baik saja. Tapi, jangan pernah hakimi perasaanmu! Tidak ada perasaan buruk atau pun baik.Â
Berarti tidak melakukan apa-apa? STOP! Di sini masih ada dialektic! Sisi tengah antara doing dan being, dengan tidak diam saja, dan akhirnya membiarkan perasaan hadir.Â
Tapi, tidak juga dengan bekerja saja. Kesehatan selalu ada di tengah. Yaitu apa yang ada di batin (doing) dan apa yang ada di dalam batin (being). Kunci kesehatan mental adalah keseimbangan.
dr. Jiemi Ardian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H