Tidak pula berteriak dan menangis, saya bertanggung jawab atas emosi saya. Setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan mentalnya masing-masing, atas kebahagiaannya masing-masing, dan saya memilih bertanggung jawab atas kesedihan saya dengan merasakannya dan mengizinkannya berlalu.
Seandainya kita mampu memahami seluruh emosi tidak ada yang bertahan selamanya, untuk apa kita terganggu dengan sesuatu yang tidak selamanya .
Satu hari, satu minggu, bulan, tahun? Tidak selamanya, bukan? Mengapa kita terganggu seakan itu akan bertahan selamanya? Kenapa kita juga sangat ingin mendekati senang, yang itu juga tidak selamanya.Â
Senang, sedih adalah peristiwa mental yang tidak selamanya. Kesadaran akan hal tersebut membawa kita pada perspektif lain bahwa dengan mendiamkannya pun akan baik-baik saja. Tapi, jangan pernah hakimi perasaanmu! Tidak ada perasaan buruk atau pun baik.Â
Berarti tidak melakukan apa-apa? STOP! Di sini masih ada dialektic! Sisi tengah antara doing dan being, dengan tidak diam saja, dan akhirnya membiarkan perasaan hadir.Â
Tapi, tidak juga dengan bekerja saja. Kesehatan selalu ada di tengah. Yaitu apa yang ada di batin (doing) dan apa yang ada di dalam batin (being). Kunci kesehatan mental adalah keseimbangan.
dr. Jiemi Ardian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H