Mohon tunggu...
Tri Muhammad Hani
Tri Muhammad Hani Mohon Tunggu... -

Sekedar menulis pemikiran yang terkadang aneh, nyeleneh dan melawan arus...Serta selalu menjaga liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

RSUD Akan Berada Dibawah Dinas Kesehatan?

3 Mei 2015   02:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 9101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430643644333804046

Ilustrasi RSUD/Kompas.com

Sampai dengan saat ini saya masih memimpikan bahwa urusan kesehatan menjadi urusan absolute yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Era desentralisasi atau otonomi daerah diberlakukan di Indonesia pada Tahun 1999 sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui pada tahun 2004 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sejak saat itu, urusan kesehatan diserahkan kepada pemerinta daerah sampai dengan saat ini. Dari awal pelaksanaan desentralisasi kesehatan, saya pribadi sudah seringkali menentang dan bersikap kritis.

Harapan saya bertumpu pada revisi terakhir terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 yang disahkan tahun lalu. Namun ternyata harapan tinggal harapan, jauh panggang dari api dan kembali harus menelan asa dan menyimpan mimpi itu lagi. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 10 Ayat (1) seolah menjadi palu godam yang memupuskan harapan bahwa urusan kesehatan bisa dikembalikan lagi menjadi urusan pemerintah pusat yang ter-sentralisasi.

Di negara Indonesia, urusan pemerintah itu dibagi menjadi tiga, yaitu  urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan kongruen, serta urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konguren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konguren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. (UU 23/2014 Pasal 9 Ayat (1) sampai Ayat (5) ).

Pasal 10 Ayat (1) UU 23/2014 menjabarkan bahwa urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sementara urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Di manakah kedudukan urusan tentang kesehatan? Terdapat pada Pasal 12 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi : pendidikan, KESEHATAN, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat serta sosial. Di pasal inilah semakin menegaskan bahwa urusan kesehatan MASIH menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Sehingga harapan akan dikembalikannya urusan kesehatan menjadi dibawah kewenangan pemerintah pusat telah sirna.

Urusan Kesehatan Di Era Otonomi Daerah

Perbedaan yang paling mencolok pada sektor kesehatan sejak era otonomi adalah berubahnya status kepegawaian PNS pada sektor kesehatan (Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit) dari PNS Depkes (kala itu) menjadi PNS Daerah. Namun secara substansial bahwa desentralisasi urusan kesehatan ini telah menyisakan beberapa persoalan yang menurut saya pribadi perlu untuk dikaji dan dianalisa lebih dalam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Urusan kesehatan menjadi kental dengan kepentingan politik lokal pemerintah daerah setempat. Isu-isu tentang kesehatan selalu menjadi "dagangan" politik menjelang Pilkada dan tetap laris manis diterima oleh masyarakat.

2. Penunjukan pimpinan lembaga yang bergerak di sektor kesehatan (Dinas Kesehatan dan RSUD) kerap kali lebih mengedepankan pertimbangan politis ketimbang analisis kompetensi, persyaratan minimal jabatan dan tanpa melalui proses fit and proper test. Sebelum UU Rumah Sakit berlaku, banyak dijumpai direktur rumah sakit BUKAN seorang dokter sebagaimana terdapat seorang Kepala Dinas Kesehatan yang berlatar pendidikan Sarjana Agama (S.Ag), hal ini terjadi karena pemilihan lebih ke arah loyalitas ketimbang profesionalitas.

3. Munculnya isue bahwa RSUD menjadi "sapi perahan" pemerintah daerah (terutama sebelum adanya aturan RSUD harus menjalankan PPK-BLUD), Dinas Kesehatan menjadi salah satu unit penghasil (Revenue Center) yang berperan penting dalam menyumbang PAD sebuah daerah.

4. Adanya kebingungan para pemangku kepentingan sektor kesehatan di daerah dengan adanya "dua induk" yang harus berpijak pada dua kaki di alam yang berbeda. Satu kaki terkait dengan aturan-aturan birokrasi aparatur pemerintah harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sementara satu kaki lagi harus tetap mempedomani standar, aturan dan ketentuan dari kementerian teknis sektor kesehatan yaitu Kementrian Kesehatan (Kemenkes).

5. Banyaknya aturan-aturan yang secara tidak sengaja saling "bertabrakan" dan "berbenturan" antara produk hukum Kemendagri yang harus dipatuhi dan aturan hukum dari Kemenkes yang juga wajib dipedomani. Bahkan aturan dari kementrian yang samapun bisa berbenturan manakala aturan tersebut mengatur hal yang bersifat khusus. Sebagai contoh adanya Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD yang agak sedikit bertentangan dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Permendari 61/2007 dikenal istilah RBA (Rencana Bisnis Anggaran) sementara Permendagri 13/2006 tetap menggunakan istilah RKA (Rencana Kegiatan dan Anggaran) dan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran). Begitu juga dengan standar akuntansi keuangan yang digunakan di Pemendagri 13/2006 masih tetap menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang bersifat cash-based sementara Permendagri 61/2007 telah menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang bersfiat accrual-based. Dampaknya adalah bagi RSUD yang sudah menerapkan PPK-BLUD maka harus membuat RBA dan juga membuat DPA, harus menggunkan SAK dan juga SAP yang seringkali harus dilakukan rekonsiliasi karena adanya perbedaan data keuangan rumah sakit.

6. Meskipun standar SDM dan standar kompetensi telah diatur oleh Kemenkes, namun persoalan krusial menyangkut standar penghasilan (salary) tenaga kesehatan masih diserahkan kepada kemampuan pemerintah daerah masing-masing. Akibatnya apa? Terjadinya disparitas yang terlalu jauh terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan terkait reward antara daerah yang kaya (PAD tinggi) dengan daerah yang masih tertinggal (PAD rendah). Begitu juga dengan standar kebutuhan SDM yang masih bervariasi antar daerah satu dengan yang lainnya menjadi persoalan tersendiri sehingga jika kita melihat sebaran (distribusi) tenaga dokter khususnya dokter spesialis di Indonesia pada hari ini yang tidak merata, maka inilah salah satu faktor penyebabnya.

7. Kemenkes selaku regulator bidang kesehatan sebetulnya telah banyak mengeluarkan aturan, ketentuan, pedoman dan standarisasi dengan tujuan agar pelayanan kesehatan akan dirasakan sama dan merata oleh masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Namun fakta di lapangan, banyak hal yag berbenturan dengan aturan-aturan lokal daerah seperti Perda, Perbup dan Kepbup (PERKADA). Fungsi pengawasan dan kontrol oleh Dinas Kesehatan masih lemah karena meskipun memiliki instrumen yang jelas dari Kemenkes namun tetap sulit karena berbenturan dengan kepentingan politis lokal.

UU 23/2014 Dan "Lenyapnya" Kedudukan RSUD

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) jelas disebutkan bahwa perangkat daerah terdiri dari : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, BAPPEDA, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (LTD) dan Kecamatan. Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk Badan, Kantor dan RUMAH SAKIT. Sehingga jelas kedudukan RSUD adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah yang dipimpin oleh seorang direktur yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah (PP 41/2007 Pasal 8 dan Pasal 15).

Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 209 Ayat (2) yang berbunyi bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan. Hilanglah sudah Lembaga Teknis Daerah (LTD) sebagai induk lembaga RSUD sebagaimana tercantum pada PP 41 Tahun 2007.

Satu-satunya tafsiran sebagai pintu masuk terhadap entitas RSUD adalah pada Pasal 219 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi : perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan dan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hanya pada poin terakhir yaitu menjalankan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang memungkinkan sebagai pintu masuk UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit karena berlaku azas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Jika kita menganggap ini adalah pintu masuk terhadap legalitas badan hukum rumah sakit, maka kedepan rumah sakit akan menjadi sebuah Badan dengan dipimpin oleh seorang Kepala Badan.

RSUD Menjadi UPTD Dinas Kesehatan ?

Dalam UU 23 Tahun 2014 tidak disebutkan adanya kewenangan Dinas membentuk Unit Pelaksana Teknis sebagaimana pada PP 41 Tahun 2007 Pasal 14 Ayat (6) yang secara tegas menyatakan bahwa pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan. Substansi pembentukan Unit Pelaksan Teknis Dinas (UPTD) adalah untuk melakukan koordinasi dinas yang memiliki rentang kendali dengan unit kerjanyanya. Sehingga Puskesmas memang betul menjadi UPTD Dinas Kesehatan.

Mari melihat tinjauan kedudukan rumah sakit dalam Undang-Undang 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pasal 7 Ayat (3) UU RS 44/2009 menyebutkan bahwa Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah HARUS berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu, ATAU Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dapat ditafsirkan bahwa pilihan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan adalah Rumah Sakit vertikal milik Pemerintah  melalui Kementerian Kesehatan. Pada kenyataannya, memang RSUP-RSUP yang ada di Indonesia adalah merupakan UPT nya Kementerian Kesehatan dibawah Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan (BUK) seperti RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan lain-lainnya. UPT yang dimaksud disini adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP), sedangkan instansi di bidang kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Harap dicermati bahwa tidak ada pilihan menjadi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas), bedakan antara UPTD dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis).

Sehingga jika fakta bahwa RSUP Dr. Cipto Mangungkusumo (RSCM) sebagai UPT nya Ditjen BUK Kemenkes kemudian menjadikan sebagai dasar pemikiran bahwa RSUD sebagai UPTD nya Dinas Kesehatan adalah kekeliruan dalam meng-analogi-kan. Membandingkan sesuatu tidak secara apple-to-apple.

Kembali ke UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 terkait kedudukan rumah sakit, terdapat pilihan ATAU menjadi Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan pengelolaan secara BLU atau BLUD. Jadi kesimpulan atas tafsiran Pasal 7 Ayat (3) tersebut adalah jika rumah sakit milik Pemerintah Pusat maka HARUS dalam bentuk UPT yang berada dibawah Ditjen BUK Kemenkes dengan pengelolaan secara Badan Layanan Umum (BLU), sedangkan jika rumah sakit milik Pemerintah Daerah maka HARUS dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan secara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ini sejalan dengan PP 41 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa rumah sakit daerah berbentuk Lembaga Teknis Daerah dibawah kepala daerah langsung. Lembaga Teknis Daerah (LTD) sangat berbeda dengan UPTD karena Lembaga Teknis Daerah (LTD) berada dibawah kepala daerah langsung dan bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, sementara UPTD adalah dibawah Dinas dan bertanggungjawab langsung kepada kepala dinas.

Sempat mendapatkan informasi bahwa akan terbit Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2015 yang masih dalam bentuk RUU (Rancangan tapi sudah ada nomernya ?) yang akan mengatur secara rinci fungsi dan kedudukan rumah sakit umum daerah dimana informasi tersebut menyatakan bahwasanya RSUD akan menjadi lembaga fungsional murni (non eselon) berbentuk UPTD dibawah Dinas Kesehatan. Dasar pemikirannya adalah karena tidak boleh ada "matahari kembar" yang membidangi urusan kesehatan di satu daerah, selain itu juga untuk memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan RSUD oleh Dinas Kesehatan yang dirasakan masih belum optimal. Juga untuk meningkatkan fungsi koordinasi kebijakan dan teknis antara RSUD dengan Dinas Kesehatan.

Sampai detik ini saya sudah mencoba mencari-cari draft RUU yang belum diketahui "tema" nya tersebut, namun saya belum menemukan draft atau minimal Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU-nya yang biasanya menjadi proses lazim setiap penyusunan sebuah produk hukum.

Persoalan yang pasti akan mengikuti adalah seperti pendapat akademisi Prof. Laksono Trisnantoro dari UGM dalam sebuah seminar nasional tentang Kedudukan Rumah Sakit dalam UU 23/2014 di Semarang baru-baru ini yang menyatakan bahwasanya antara regulator dan operator tidak bisa dijadikan satu dalam sebuah kelembagaan. Dinas Kesehatan akan menjalankan DWI FUNGSI yaitu sebagai Regulator dan sebagai Operator sehingga akan sangat memberatkan karena akan membidangi urusan kesehatan dari hulu sampai ke hilir. Sebuah contoh menarik adalah hubungan antara Kementerian Perhubungan dengan Maskapai Penerbangan. Kementerian Perhubungan adalah sebagai Regulator yang menyusun dan menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) tentang angkutan udara dan keselamatan penumpang. Sementara Maskapai Garuda Indonesia, Lion Air, Air Asia dan sebagainya adalah berfungsi sebagai operator di lapangan yang menjalankan regulasi dari Kementerian Perhubungan. Jadi antara regulator dan operator memang tidak bisa disatukan karena masing-masing memiliki tupoksi dan ranah tanggungjawabnya sendiri-sendiri.

Persoalan yang pasti akan segera muncul ketika memang benar bahwa RSUD akan menjadi UPTD nya Dinas Kesehatan adalah :

1. Bagaimana dengan status BLUD sebuah RSUD ? Ada kemungkinan akan batal demi hukum apabila belum ada Peraturan Kepala Daerah (PERKADA) tentang BLUD secara umum karena berubahnya status badan hukum rumah sakit dari sebelumnya adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).

2. Bagaimana dengan RSUD yang kebetulan saat ini masih menjadi pusat pendidikan kedokteran ? Perlu dipahami bahwa kondisi saat ini di Indonesia tidak semua rumah sakit yang digunakan sebagai pusat pendidikan kedokteran adalah milik Kementerian Kesehatan atau RSUP. Sebagi contoh RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang menjadi pusat pendidikan klinis FK UNS dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang menjadi pusat pendidikan klinis FK UNAIR. Meskipun saat ini sudah didorong setiap Fakultas Kedokteran sebuah unversitas harus memiliki rumah sakit pendidikan (Teaching Hospital) sendiri yang terpisah dengan rumah sakit pelayanan (Services Hospital), namun faktanya contoh kedua rumah sakit daerah tersebut diatas sampai saat ini masih dipergunakan sebagai pusat pendidikan dokter khususnya Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Saya pribadi meyakini bahwa akan timbul banyak persoalan tentang perubahan status dan badan hukum kedua rumah sakit tersebut.

Jadi... alih-alih adanya reformasi bidang kesehatan yang mengembalikan urusan kesehatan sebagai urusan pemerintah yang bersifat absolute dibawah kendali penuh pemerintah pusat, yang terjadi malahan kedudukan RSUD menjadi "lenyap" tak berbekas berdasarkan UU 23 Tahun 2014 ini. Dari dokumen notulensi hasil rapat pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Tanggal 13 Oktober 2014 di Semarang terdapat beberapa persamaan pandangan dan pola pikir dengan tulisan ini. Sedikit berbeda dalam hal pengambilan rujukan dasar hukumnya, jika kajian ARSADA lebih banyak mengambil referensi dari PP Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah namun dalam tulisan ini saya banyak mengambil rujukan dari PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Yang menarik juga adalah menunggu sikap dan langkah selanjutnya dari ARSADA terkait hal ini. Bagaimana juga dengan nasib perjuangan anggaran kesehatan seperti amanat UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ? Nampaknya mimpi ini harus dibawa tidur kembali sembari berharap akan adanya sebuah gerakan besar merubah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia. Wallahu'alam.

Sekian,

Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun