Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 16

13 Agustus 2016   21:08 Diperbarui: 13 Agustus 2016   21:14 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SELENDANG MAYANG

Suasana sore itu sedikit mendung. Aku dan ayah akan segera menikmati ikan bakar yang baru saja selesai dibakar didepan kami. Posisiku dengan ayah berjarak satu meter. Ada beberapa piring dan sendok disekitar kami. Ada juga sebuah sabuk silat berwarna merah didekat ayah. Disamping ayah, kira-kira berjarak dua meter ada sebuah pohon yang agak besar dan rimbun. Ikan bakar buatan ayah hanya diracik dengan sedikit bumbu, garam, dan kecap namun rasanya tidak kalah dengan ikan bakar restoran berbintang. Ayahku sangat jago dalam memasak. Hampir semua jenis masakan ayah bisa buat. Dari mulai yang sederhana hingga yang kompleks. Kata ayah, memasak itu sama dengan silat dan silat itu sama dengan memasak.

"Memasak itu, merupakan jenis keterampilan seni yang tinggi. Sebuah masakan tersusun atas bahan-bahan yang itu-itu saja pada umumnya. Namun kemampuan meracik dan meramu bahan-bahan itulah yang menjadi kekuatan terhebat seorang pemasak.

Silatpun demikian. Gerakanmu ya nampak begitu-begitu saja. Namun kemampuanmu merancang gerak, mengaplikasikan gerak, menerapkan dalam kejadian yang sesungguhnya itulah yang akan menjadi kekuatan terhebatnya. Lebih jauh lagi, ia bisa memahami hakekat dibalik gerakan atau jurusnya itu. Maka tidak heran kita akan menjumpai suatu seni memasak atau menghadirkan minum dari suatu tradisi tertentu yang sangat khas dan harus seperti itu adanya baik pada teknik penyajian, cara meracik dan meramu, dan sejenis itu.

Silat, pada hakekatnya sama dengan memasak..."

Ucapan ayah terngiang dalam ingatanku.

Namun ucapan itu seketika buyar saat hidungku mencium aroma ikan bakar yang luar biasa sedap. Seketika perutku langsung bereaksi dan berbunyi. Tanpa sadar aku mengelus perutku sambil tersenyum.

"Sudah lapar?", tanya ayah.

"Iya Yah. Ikan bakar ini baunya enak sekali...", jawabku dengan perasaan senang gembira. Aku langsung mengambil piring. Sementara ayah masih membolak-balik ikan bakar yang ada didepan kami.

"Nampaknya yang ini sudah matang. Sini piringnya...", ucap ayah.

Dengan sendok yang berukuran agak besar kemudian ayah mengambil satu buah ikan yang ukurannya paling besar dan diletakkan diatas piringku. Ikan bakar itu memenuhi hampir sepenuh piringku. Kulihat ayah mengambil ikan bakar yang berukuran lebih kecil. Kami berdua kemudian menikmati sajian ikan bakar dengan nikmat.

Belum habis ikan bakar ini kumakan, aku pandanganku melihat ada gerakan yang aneh pada pohon disamping ayah. Nampaknya ada sesuatu yang bergerak-gerak sedang turun dari dahan atas dan merayap kebawah. Warnanya hijau terang.

Aku terkejut. Itu seperti seekor ular!

"Ayah...itu ada ular hijau dipohon!", ucapku perlahan pada ayah.

Ayah kemudian menoleh kearah pohon disampingnya. Ular hijau itu kini terlihat makin jelas. Aku melihat ayah mengambil sabuk berwarna merah yang ada didekat kaki ayah. Lalu secepat kilat ayah menyabetkan sabuk itu ke arah ular hijau itu.

JLEBBB!!

Ujung sabuk berwarna merah itu tepat sekali mengenai ujung kepala ular dan memutus langsung kepala ular. Seketika kepala ular itu jatuh ke tanah dan mati. Sementara badan ular terlihat jatuh sebentar mengenai sabuk merah ayah dan kemudian jatuh ke tanah. Sabuk merah ayah masih terlihat menancap dengan kuat ke pohon. Menancap, tembus masuk sedalam kurang lebih satu ruas jari.

"He... hebat sekali yah...", gumamku dalam hati.

Aku tidak habis pikir, bagaimana sabuk silat yang hanya terbuat dari kain bisa melesat sedemikian rupa, cepat, dan tajam menghunjam pohon hingga mampu menembusi kulit pohon yang keras. Jujur, aku baru melihat kemampuan seperti itu. Apa yang barusan ayah lakukan? Ilmu apa yang dikeluarkan ayah? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam hatiku.

Ayah kemudian menarik kembali sabuk merah tersebut dan meletakkannya di dekat kakinya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ayah kemudian meneruskan kegiatan memakan ikan bakarnya. Tidak berapa lama ikan bakar di piring ayah habis disantap. Ayah lalu mengambil air dan mencuci tangannya hingga bersih. Sementara aku masih tertegun melihat kejadian barusan.

"Lho, kenapa bengong?", ucap ayah sambil tersenyum.

"Anu... itu bagaimana caranya yah?", ucapku sekenanya.

"Apanya? Masak ikan bakarnya?", jawab ayah.

"Bukan... Tapi itu bagaimana caranya sabuk merah ayah bisa melesat dan menancap di pohon itu. Apalagi sampai memutuskan kepala ular itu...", tanyaku dengan penasaran.

"Oooh itu... Kirain apaan. Itu namanya ilmu Selendang Mayang...", jawab ayah.

"Selendang Mayang? Aa baru dengar ilmu itu Yah...", ucapku.

"Ilmu Selendang Mayang itu memiliki karakteristik untuk menguatkan obyek yang lunak menjadi keras luar biasa... Sederhananya seperti itu.", jawab ayah.

"Coba Aa ambil 'jagrak' dan beberapa besi dragon yang ada dibelakang mobil... Tapi sebelumnya bersihkan dulu tanganmu. Cuci bersih dulu setelah makan ikan bakar tadi...", pinta ayah.

"Eh iya yah... Baiklah yah...", jawabku.

Aku baru sadar kalau sedari tadi tanganku belum kucuci bersih. Tidak menunggu lama, segera kuambil air untuk mencuci bersih tanganku dan kemudian berlari kecil menuju mobil untuk mengambil sepasang 'jagrak' dan sepuluh buah besi dragon.

'Jagrak' yang ada di mobil adalah sepasang dudukan kayu yang biasa dipergunakan untuk menahan suatu obyek yang sering dijadikan medium pematahan benda keras. Ia bisa terbuat dari kayu, juga bisa terbuat dari besi. Sementara besi dragon merupakan besi yang sering dipergunakan untuk melakukan ujian atau atraksi pematahan benda keras. Ia berbentuk seperti gagang pompa air. Kenapa disebut 'dragon' adalah karena memang dulu gagang pompa air itu bermerk 'Dragon' sehingga kemudian dikenal dengan istilah 'besi dragon'. Ia merupakan jenis besi yang 'getas' atau bisa dipatahkan. Meski jenis bisa yang bisa dipatahkan, namun ia memiliki tingkat ketebalan yang berbeda. Istilah ketebalan besi dragon ini dikenal dengan nama 'R'. Dimulai dari R 1/2, lalu R1, R2, R3, dan R4.

Sepasang 'jagrak' kayu dan sepuluh besi dragon sudah kuletakkan didepan ayah. Aku mengangkatnya dengan sekali bawa. 'Jagrak' kayu kuangkat dengan tangan kiriku, sementara sepuluh besi dragon kuangkat dengan tangan kananku.

"Letakkan disitu... Susun jagraknya, lalu pasang satu besi dragon diatasnya...", pinta ayah.

Aku menurut. Kuatur posisi jagrak kayu dan kuletakkan satu buah besi dragon diatasnya. Aku melihat ayah mengambil sabuk silat warna merah dan memberikannya kepadaku.

"Lipat dulu sabuk itu, lalu kamu gunakan untuk mematahkan besi itu...", ucap ayah.

Aku menurut. Sabuk silat merah itu kalau kulipat akan menjadi delapan bagian. Panjangnya kini hanya sepanjang lengan orang dewasa. Rasanya agak berat. Dengan berat seperti ini dan tebalnya lipatan ini aku yakin akan dengan mudah mematahkan besi dragon didepanku.

Segera kuambil posisi pemukulan, kemudian kusabetkan sabuk itu dengan kuat kearah besi dragon didepanku.

TRAANG!

Besi dragon itu patah dua.

"Bagus... Sekarang kamu pasang lagi satu dragon diatasnya...", pinta ayah.

Aku menurut. Kupasang lagi satu dragon diatas jagrak kayu.

"Sabuk merah itu yang lipat delapan itu kamu buka lipatannya hingga hanya lipat empat saja...", ucap ayah.

Aku menurut. Sabuk merah yang kupegang kemudian kurentangkan lagi sehingga kehilangan lipatan tengahnya dan kini mennjadi hanya lipat empat saja. Sementara bagian lainnya kulilitkan dipergelangan tanganku.

"Patahkan lagi besi dragon itu...", pinta ayah.

Sabuk merah ini masih cukup tebal dan masih agak berat karena empat lipatan. Kupasang posisi pemukulan, lalu dengan cepat kusabetkan sabuk merah ini ke besi dragon yang ada didepanku.

TRAAANG!

Besi dragon itu kembali putus jadi dua.

"Bagus! Sekarang kamu ambil lagi satu dragon dan pasang diatas jagrak kayu lagi.", pinta ayah.

Aku melaksanakan yang ayah perintahkan. Satu besi dragon utuh kini sudah ada lagi diatas jagrak kayu.

"Sekarang, kamu buka lagi empat lipatan itu hingga jadi hanya dua lipatan saja...", ucap ayah.

Aku menurut. Sabuk merah itu kemudian kulepaskan hingga hanya terdiri dari dua lipatan saja dengan panjang yang sama yakni sepanjang lengan orang dewasa. Sementara lipatan lainnya yang lebih panjang kulilitkan di pergelangan tanganku.

"Coba kamu patahkan lagi besi dragon itu...", pinta ayah.

Rasanya sabuk ini menjadi semakin ringan dan makin tipis. Aku mulai menjadi kurang yakin jika sabetanku dapat mematahkan besi dragon itu. Namun aku tidak berani membantah. Kusiapkan posisi serang dan secepatnya kusabetkan sabuk merah dengan hanya dua lapisan itu kearah besi dragon.

TRAANG!

Besi dragon itu terlontar, namun tidak patah. Aku sangat terkejut.

"Letakkan lagi... Lalu kamu pukul lagi...", pinta ayah.

Kembali kuletakkan besi dragon itu dan kucoba lagi dengan sabetan yang lebih keras.

TRAANGGG!

Besi dragon itu terlontar, dan patah. Aku hampir saja melompat kegirangan.

"Bagus sekali! Sekarang ambil lagi satu besi dragon lalu letakkan kembali diatas jagrak kayu itu...", pinta ayah.

Aku memasang kembali besi dragon yang masih utuh keatas jagrak.

"Dari dua lipatan sabuk itu, sekarang kamu lepaskan hingga hanya ada satu lembaran sabuk saja. Sisanya lilitkan di tanganmu...", pinta ayah.

Aku menurut. Kubuka sabuk merah itu, lalu kusisakan hanya selembar sepanjang lengan orang dewasa. Sisa panjanganya kulilitkan di pergelangan tanganku. Rasanya kini sabuk itu menjadi sangat ringan karena hanya selembar sabuk saja tanpa dilipat apapun. Keyakinanku untuk mematahkan besi dragon itu menjadi berkurang drastis.

"Patahkan besi dragonnya...", ucap ayah.

Aku menurut. Kuatur napasku, kusiapkan gerakan untuk menyabetkan selembar sabuk itu dengan kuat.

TAAANG!

Besi dragon itu hanya terangkat kecil saja. Lalu ia kembali ke posisi semula.

"Eh..!", aku sangat terkejut. Besi dragon itu sama sekali tidak patah. Jangankan patah, terlontarpun tidak. Padahal sudah kusabetkan dengan kecepatan dan kekuatan penuh. Penasaran, kuperbaiki ancang-ancang seranganku lalu kusabetkan kembali dengan lebih cepat dan lebih kuat.

TAANG!

Besi dragon itu kembali hanya terangkat kecil saja lalu kembali ke posisi semua.

"Kok bisa begini...?", gumamku penasaran. Aku memandang ke arah ayah yang kulihat sedang tersenyum.

Kucoba lagi hingga tiga kali, empat kali, hasilnya sama. Besi dragon itu sama sekali tidak patah. Selembar sabuk silat berwarna merah ini tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik.

"Kenapa? Kok gagal dalam mematahkan besi dragonnya? Bukankah itu masih sabuk merah yang sama yang kamu pegang?", ucap ayah.

Sabuk silat merah itu masih sabuk yang sama yang kupegang. Namun ketebalannya yang berbeda. Mula-mula saat kulipat menjadi delapan lipatan, kurasakan ia menjadi berat sehingga aku yakin momentum tumbukan dengan besi akan mampu membuat besi dragon itu patah. Dan nyatanya berhasil. Lalu ketika kubuka delapan lipatan itu dan kukurangi hingga empat lipatan saja, aku masih merasakan ketebalan dan berat dari sabuk ini yang apabila kusabetkan dengan keras maka aku yakin akan mampu mematahkan besi dragon ini. Nyatanya bisa. Namun ketika kukurangi dari empat lapisan menjadi dua lapisan lipatan saja, kepercayaan diriku mulai berkurang. Bobot sabuk silat merah ini mulai berkurang drastis. Meskipun saat itu berhasil kugunakan untuk mematahkan besi dragon, namun aku merasa itu hanya kebetulan saja. Apalagi manakala dua lapisan sabuk ini kemudian dilepaskan lagi hingga hanya satu selembar sabuk sepanjang lengan orang dewasa dengan ujung panjangnya kulilitkan di pergelangan tanganku. Sabuk silat merah ini menjadi sangat ringan adanya. Berkurang drastislah keyakinanku untuk mematahkan besi dragon itu. Dan kenyataannya memang gagal.

"Hei... jangan melamun...!", ucap ayah sambil tersenyum.

"Apa kamu heran dengan kejadian barusan?", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Yang kamu lakukan barusan hanyalah mengandalkan momentum dari sabuk merah itu. Memang itu akan berhasil pada satu sisi namun ketika makin lama tingkat 'kemustahilan' ditingkatkan yakni dengan cara mengurangi lipatan-lipatan sabuk hingga tidak dilipat dan hanya selembar sabuk saja maka pada saat itu ayah yakin kamu sudah mulai tidak yakin pada dirimu..."

DHEEG!

Ucapan ayah sangat tepat. Aku memang tidak yakin ketika selembar sabuk silat merah ini dipergunakan untuk mematahkan besi dragon.

"Disitulah nanti Selendang Mayang mengambil peranan. Sini, berikan pada ayah sabuk merah yang ada ditanganmu...", pinta ayah.

Tanpa menunggu lama, aku langsung memberikan sabuk silat merah itu ke tangan ayah. Ayah lalu melilitkan banyak dan hanya menyisakan selembar sabuk sepanjang lengan ayah. Dengan santainya kulihat ayah menyabetkan selembar sabuk itu pada besi dragon.

TRAAANG!

Besi dragon itu patah berhamburan. Tidak hanya dua, tiga, melainkan empat patahan!

"Silat yang ayah pelajari ini, sesungguhnya berisi pengetahuan mengenai bagaimana kamu mensikapi kemustahilan di dunia. Mustahil itu sesungguhnya dipahami hanya karena kita belum paham ilmunya saja. Apabila ilmunya sudah kamu pahami dan kuasai, maka kemustahilan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak mustahi.

Seperti halnya dengan sabuk silat merah dan besi dragon ini.

Nampaknya mustahil sabuk tipis ini akan bisa mematahkan besi yang lumayan tebal itu. Nalarmu menolak. Dan ketika itu terjadi, maka 'blocking' pikiranmu ikut terbentuk. Padahal, dengan izinNya tidak ada sesuatupun didunia ini yang mustahil untuk dilakukan. Hanya masalah apakah sudah jatuh hukumnya atau tidak itu terjadi padamu...", jelas ayah.

"Maksudnya bagaimana yah?", tanyaku penasaran.

"Maksud ayah begini, bahwa seseorang belum dikaruniai kemampuan suatu keilmuan itu bukan berarti orang itu bodoh atau tidak berbakat atau semata-mata tidak berjodoh. Melainkan karena memang sesungguhnya belum jatuh hukumnya ia menguasai ilmu itu. Yang dipelajarinya bukan menjadi tidak berarti. Tetap berarti dan memiliki manfaat. Hanya saja, belum jatuhnya hukumnya ia diberikan amanat ilmu tersebut. Karena belum jatuh hukumnya, maka belumlah ia akan dikaruniakan tanggungjawab keilmuan tersebut.", jawab ayah.

"Maka janganlah kamu berkecil hati atau bersedih manakala kok sudah mencoba melatih sekian lama namun belum berhasil dan gagal terus. Jangan menyerah, tetap latih sebaik-baiknya. Tunggulah hingga nanti hukum itu jatuh atasmu. Namun ketika hukum itu jatuh atasmu, itu artinya kamu memiliki tanggung jawab yang lebih besar.

Dikaruniakan satu jenis atau berbagai jenis keilmuan itu sungguh sangat berat beban dan pertanggungjawabannya.

Selendang Mayang, sesungguhnya bisa dikembangkan menjadi seperti ini... Ambil lima besi dragon itu lalu lemparkan ke arah ayah secara acak...", lanjut ayah.

Aku menurut. Kuambil segera lima buah besi dragon lalu satu persatu kulemparkan ke arah ayah.

Ayah menggerakkan selembar sabuk silat warna merah kesana kemari ke arah besi dragon yang mengarah ke ayah.

TRAANG! TRRRAANG! TRANG! TRAAANG! TRRAAANG!

Besi-besi dragon yang terlempar diudara mendadak seperti terkena benturan tajam dan patah di udara. Bunyi patahnya sangat nyaring terdengar. Ujung sabuk silat merah ayah mengenai besi-besi itu lalu membuatnya patah berhamburan. Dimataku hal itu sangat hebat sekali. Namun anehnya, kulihat raut wajah ayah sama sekali tidak menyiratkan kebahagiaan.

"Kamu tahu... ketika ilmu Selendang Mayang ini sudah jatuh hukumnya kepada ayah, artinya ayah diberikan tanggung jawab yang lebih besar. Dan ini berarti resikonya juga menjadi semakin besar. Ayah mampu mengganti selembar sabuk silat merah ini dengan yang lebih tipis. Mediumnya bisa apa saja. Dan itu akan bisa menjadi senjata bagi ayah. Daun, rumput, bahkan sehelai rambut.

Segala kemampuan seperti ini, apabila tidak disikapi dengan bijasana maka hanya akan menyebabkan hatimu makin berpaling dariNya. Karena ada kecenderungan munculnya kesombongan seperti 'langkah semut hitam diatas batu hitam di malam gelap gulita'. Halus, hampir tidak terasa...", ucap ayah.

Aku mendengarkan dengan seksama.

"Ayah ingin nanti kamu memahami ilmu ini beserta dengan segenap nilai-nilai dan filosofi luhur yang ada didalamnya saat mulai mempelajarinya. Tidak hanya memahami kulit ilmunya saja yang cenderung melenakanmu...

Belajar silat berarti belajar ilmu kebijaksanaan yang ada dibaliknya..."

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun