Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 15

9 Agustus 2016   15:56 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:16 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PAHAMI DIATAS ITU

Aku jatuh terduduk. Napasku terengah-engah. Latihan Sosro Birowo ini sungguh sangat menguras tenagaku. Latihannya nampak sederhana, jurusnya pun tidak banyak. Namun ketika Bab Tenaga dan Bab Jurus harus digabung maka terjadilah lonjakan tenaga yang tinggi yang seringkali belum mampu kukendalikan. Hal ini menyebabkan terjadinya kelelahan yang amat sangat. Aku harus menguasai diri, mengatur napas dengan baik, menjaga agar setiap lonjakan-lonjakan tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan yang sedang kupelajari. Saat ini aku sedang masuk pada tahap terakhir dari Sosro Birowo. Sebuah batu kali sebesar kepala orang dewasa sudah tersedia dihadapanku.

Ilmu ini, dalam pengembaraanku, merupakan ilmu dasar yang umum diketahui oleh khasanah tanah Jawa. Banyak perguruan-perguruan silat tradisional yang memiliki ilmu ini. Kata ayah, keilmuan silatku ini bukanlah ilmu yang satu-satunya di dunia ini. Bahwa ia didasarkan keilmuan tanah Jawa memang benar adanya. Maka untuk mempelajari keilmuan ini janganlah berpedoman pada satu informasi saja.

"Ayah dulu berkelana kesana kemari untuk mencari tahu mengenai suatu keilmuan. Ayah mengembara untuk mendapati sedikit informasi, mencoba merangkai sepotong demi sepotong hingga kemudian mulai terlihat gambarannya secara lebih utuh dan detail...", ucapan ayah terngiang dalam ingatanku.

Saat itu aku bertanya pada ayah kenapa perjalanannya seperti itu? Dijawab oleh ayah karena pada zaman ayah dulu sudah mulai sulit mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Semua saling mengklaim paling benar ilmunya, paling benar ajarannya, dan "paling benar-paling benar" yang lainnya. 'Wolak waliking zaman' atau 'zaman yang sedang terbolak-balik'.

"Merasa diri paling benar, adalah cikal bakal dari kesombongan. Hal itu dikarenakan ilmu-ilmu ini bukanlah jenis ilmu agama melainkan hanya ilmu dunia saja, dan sesuatu yang memang harus sudah dilewati manakala sudah mencapainya. Ditempat lain, ada orang-orang yang juga memiliki pengetahuan yang sama yang bisa jadi lebih baik dari pengetahuan ayah. Maka ketika kamu sudah merasa ilmumu paling baik, paling hebat, paling sakti, maka sesungguhnya pada saat itu kamu mengalami kemunduran yang cukup jauh... 

Pengetahuan inipun bisa jadi diluar sana ada yang lebih baik dari yang ayah miliki. Kamupun boleh belajar dari guru yang kelak akan kamu temukan dalam kehidupanmu.

Nasehat ayah, tetaplah rendah hati dihadapan manusia, dan selalu rendahkan dirimu di hadapan Allah. Mudah-mudahan nanti cahaya itu akan menghampirimu dan memberikanmu penerang jalan keilmuan ini...", ucapan ayah lagi-lagi terngiang dalam ingatanku.

Aku duduk bersila, mengatur napas dengan perlahan. Kedua tanganku berada diatas lutut. Perlahan kututup mataku dan mulai tenggelam dalam semestaku sendiri.

"Cobalah memahami bagaimana hatimu bergerak dan bagaimana pikiranmu bergerak hingga ia dapat mempengaruhi gerakan semesta kecil dalam dirimu. Tenaga menyatu dengan gerak, gerak menyatu dengan tenaga. Semua dipusatkan pada sisi telapak tangan. Cipta, rasa, karsa yang selaras lalu dipusatkan pada sisi telapak tangan untuk kemudian dilepaskan menjadi Sosro Birowo. Terdengar mudah, namun Cipta punya kaidahnya, Rasa punya kaidahnya, dan Karsa juga punya kaidahnya. Ada unsur-unsur pembentuk yang harus bisa kau susun terlebih dahulu sebelum disatukan menjadi Sosro Birowo...

Jalanmu sedang menuju Sosro Birowo, maka janganlah menoleh pada yang lain seberapapun ia nampak indah adanya.

Jalanmu sedang menuju Sosro Birowo, maka janganlah berpaling pada yang lain seberapapun ia nampak mempesona adanya.

Jalanmu sedang menuju Sosro Birowo, maka janganlah kembali seberapapun ia nampak menakutkan adanya.

Ingat-ingatlah itu... "

Aku tenggelam dalam ingatanku. Saat sedang melakukan seperti ini, seluruh tubuhku seperti dialiri listrik halus. Seperti ada rambatan-rambatan semut yang berjalan didalam aliran darahku. Kalau tidak pas dalam mengaturnya, maka rambatan ini buyar.

"Cipta, punya kaidahnya sendiri...

Rasa, punya kaidahnya sendiri...

Karsa, punya kaidahnya sendiri...", gumamku dalam hati.

Mendadak bagian bawah pusarku menghangat. Kubiarkan. Lalu tidak begitu lama, menyusul bagian dadaku juga menghangat. Kubiarkan juga. Rasanya seperti 'tersambung'. Lalu perlahan ia seperti 'naik' ke bagian tengah kepalaku yang mulai berasa ikut menghangat. Kubiarkan saja sambil kukenali rasanya. Perlahan juga mulai 'tersambung' seperti sebuah saluran. Rasa hangat ini perlahan mulai menguat, mulai memanas. Kubiarkan juga.

Dulu, ketika aku merasakan seperti itu, aku langsung merasakan nikmatnya sensasi energi yang ada. Dan justru disitulah titik awal kegagalanku dalam memahami Sosro Birowo. Berkali-kali aku selalu merasa takjub dan terpesona dengan rasa energi yang terjadi saat melatih ilmu ini, dan berkali-kali pula aku gagal. Aku mulai mengerti maksud ayah pada saat itu agar jangan menoleh pada yang lain seberapapun ia nampak indah adanya. Aku gagal karena dulu aku selalu 'menoleh' pada rasa yang terjadi diantaranya. Saat ini, semua kubiarkan dengan tetap tujuanku pada Sosro Birowo.

Setelah semua rasa terhubung, aku langsung berdiri lalu membuka mataku. Pandanganku menatap pada batu kali sebesar kepala orang dewasa yang ada dihadapanku. Batu itu diletakkan diatas batu yang lebih besar. Kulakukan gerakan pembuka Sosro Birowo tahap akhir sambil kuangkat tangan kananku tinggi-tinggi.

"Sosro Birowo, ia mengalir melalui kehendak. Kehendak, mengalir dari cipta, rasa, dan karsa yang selaras..."

Mendadak telapak tanganku menjadi berasa sangat berat dan 'tebal'. Saatnya kulepaskan Sosro Birowo pada batu kali didepanku.

PLAAKKKK!

Tanganku sedikit bergetar. Batu kali itu tetap utuh adanya. Terasa sedikit nyeri pada sisi telapak tanganku saat terjadi benturan, namun langsung hilang seketika. Secepat itu kuatur napas dan tenagaku agar kembali normal. Aku mundur dua langkah. Pandanganku masih tak percaya. Sudah kulakukan semua yang kumengerti pada lembaran Sosro Birowo, semua rasa yang ada juga nampaknya sudah kulewati, tapi mengapa batu ini masih belum hancur juga. Apakah ada sesuatu yang kulewatkan? Aku hanya bergumam dalam hati.

Aku duduk bersila. Kupejamkan mataku sambil kuatur napasku.

"Ini sudah... itu sudah... kenapa masih belum berhasil ya? Apakah ada sesuatu yang kurang yang belum kupahami?", gumamku dalam hati.

"Nak, menembusi lapisan keilmuan ini bukanlah hal yang mudah. Kalaupun kau bisa menembusi lapisan dasarnya, kau masih harus menembusi lapisan hikmahnya. Dan ini sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Kau butuh bukan sekedar petunjuk. Ingat, semua aspek keilmuan tersusun atas aspek horizontal dan aspek vertikal. Dengannya keilmuan itu menjadi lengkap, dan latihannya membawa kebaikan bagimu..."

Kuingat-ingat kembali setiap gambar dan lembaran Sosro Birowo dengan detail. Tanganku bergerak kekanan dan ke kiri, sesekali kedepan, sesekali memutar pergelangan tangan, sesekali menekuk sikut.

Aku masuk pada tahap 'Bulan dalam Cangkir', tahap yang dulu kudapatkan saat belajar getaran bersama ayah. Saat itu terang bulan, lalu aku melihat bulan pada air didalam cangkir. Ketika cangkir bergoyang, maka bentuk bulan menjadi tidak beraturan di dalam air cangkir. Namun setelah cangkirnya kutenangkan dan riak gelombang airnya mulai tenang, perlahan wajah bulan terlihat jelas. Makin riak gelombang air itu tidak ada, makin jelaslah bulan terlihat dari cangkirku. Makin tenang air didalam cangkir, maka makin jelaslah bulan itu terlihat.

Aku kembali teringat ucapan ayah.

"Riak gelombang air itu bisa apa saja. Bisa keinginanmu, bisa ketakutanmu, bisa ambisimu, yang semuanya adalah nafsumu. Maka tenangkanlah dirimu. Karena hanya hati yang tenanglah yang dapat mengenali ilmuNya. Semua bahan tersusun atas pembentuk-pembentuknya. Seperti memasak, perbedaan meracik menghasilkan perbedaan hasil dan rasanya. Maka memahami unsur-unsur pembentuknya adalah suatu keharusan.

Jika ia tanah, maka biarkanlah tetap menjadi tanah. Jika ia angin, maka biarkanlah tetap menjadi angin. Jika ia air, maka biarkanlah tetap menjadi air. Jika ia api, maka biarkanlah tetap menjadi api. Semua itu ada di hati manusia...", ucap ayah dalam ingatanku.

Setelah itu, rasa yang tadi muncul kini kembali dan makin menguat. Perlahan aku kembali berdiri, lalu kuangkat satu kaki yang ditekuk ke depan, tangan kiriku kusilangkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kuangkat tinggi-tinggi. Semua rasa kini sudah menyatu dan hanya satu. Tak ada yang lain. Konsentrasi yang satu. Keyakinan yang satu. Pandanganku tajam menatap batu kali didepanku. Kuhirup napas dengan halus lalu secepatnya kulepaskan Sosro Birowo kepada batu kali itu.

"Sosro Birowoo...!", gumamku perlahan dengan penuh keyakinan.

BRAAKKK!

Batu kali itu pecah berhamburan ke segala arah saat terkena sisi telapak tangan kananku.

Segera kutarik kembali tanganku dan mengatur tenaga. Getaran tenaga di tanganku masih begitu terasa. Nampaknya aku belum mampu melakukan pengaturan tenaga yang tepat. Aku hanya melontarkan secara maksimal. Untuk tahap pertama, ini sudah suatu kemajuan yang sangat berarti setelah sebelumnya kegagalan demi kegagalan kulalui. Keberhasilan inipun sebenarnya masih sangat. Kupandangi pecahan batu kali yang tersisa didepanku. Kemudian kuangkat tanganku sedikit, kupandangi telapak tanganku. Masih ada sedikit bergetar. Tangan yang tersusun dari tulang dan daging ini ternyata bisa digunakan untuk merontokkan batu kali sebesar kepala orang dewasa dengan tanpa cedera sedikitpun.

Aku kembali duduk bersila dan memejamkan mata. Entah tiba-tiba aku teringat lagi ucapan ayah.

"Nak, ketika kamu sudah berhasil mencapai tahap keilmuan yang diharapkan. Selalu ingatlah bahwa diatas ilmu itu ada hikmah dan kebijaksanaan.

Ketika dulu ayah katakan bahwa saat belajar Sosro Birowo itu artinya jalanmu sedang menuju Sosro Birowo. Saat berjalan, janganlah menoleh pada yang lain seberapapun ia nampak indah dan mempesona bagimu. Itu adalah tahapan pemahaman akan ilmunya.

Sama halnya apabila kamu sedang berjalan menuju kepadaNya. Kamu mesti akan melihat atau mendapati hal-hal yang mempesonamu, atau menyenangkanmu, membanggakanmu, atau bisa saja menakutkanmu. Jika saat itu kamu menengok pada segala keindahan itu, maka sesungguhnya jalanmu sedang tertahan. Manakala kamu justru berpaling dan berbelok menuju jalan keindahan itu, maka sesungguhnya kamu sudah keluar dari jalanNya.

Makin kamu terpesona dengan keindahan itu, yang mungkin saja membuatmu menjadi seakan nampak begitu 'indah', begitu 'hebat', begitu 'sakti', maka jalanmu akan makin menjauh dari jalanNya yang awalnya sedang berusaha kamu lalui.", ucap ayah begitu jelas terngiang dalam memoriku.

Saat itu aku bertanya pada ayah, "Lalu apa yang harus kulakukan?".

Ayah menjawab, "Kembalilah ke jalanNya... Sebab sesungguhnya siapapun yang sedang berusaha berjalan di jalanNya, akan mendapatkan banyak sekali ujian... Pahamilah itu sebagai bagian dari pendewasaan pemahamanmu akan ilmu.

Ingatlah, diatas ilmu masih ada hikmah dan kebijaksanaan..."

Aku menundukkan kepala dalam-dalam.

"Ayah, aku mulai mengerti..."

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun