Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 13

25 Juli 2016   12:17 Diperbarui: 25 Juli 2016   12:35 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KIJANG YANG MENURUT

Aku menikmati nasi Jamblang yang sudah mulai dingin. Selepas kedatangan laki-laki bernama Bawono yang menantang ayah lalu berhasil dikalahkan, pikiranku justru menjadi tidak tenang. Aku memakan nasi Jamblang ini dengan tidak berkonsentrasi pada aktivitas makan.

"Hei.. jangan melamun... ayo dimakan dulu.. .habiskan...", ucap ayah menyadarkan lamunanku sambil tersenyum.

"Eh.. iya Yah, ini dimakan...", jawabku sekenanya.

Tidak berapa lama, kami semua sudah selesai menghabiskan nasi Jamblang yang ada. Kuteguk air minum yang ada di botol yang ayah bawa. Rasanya segar sekali tenggorokan ini. Aku bersyukur pada Allah atas nikmatnya makanan dan aktivitas memakan yang telah kulakukan. Kata ayah, ada makanan yang enak dan nikmat namun tidak bisa dinikmati. Hal itu disebabkan karena masalah fisik dan masalah perasaan. Misalnya, saat seseorang menderita suatu penyakit berat maka apapun makanan yang sebelumnya nampak enak dan nikmat menjadi hilang semua kenikmatannya. Juga saat seseorang sedang dilanda masalah non fisik seperti misalnya stress, banyak pikiran, atau yang sejens itu maka makanan yang paling enak dan nikmatpun berasa hambar saja. Maka ketika seseorang dapat melakukan aktivitas makan dengan baik, saat itu ia sedang diberikan nikmat yang banyak dari Allah. Hal itu harus disyukuri.

"Siapapun yang mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambahkanlah nikmatNya...", aku terngiang ucapan ayah.

Selesai makan, keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku. Rasanya tubuh ini sangat bertenaga.

"Ayah, apakah laki-laki bernama Bawono itu nanti akan datang lagi?", tanyaku penasaran.

"Ayah tidak tahu nak. Tapi untuk saat ini, dan dalam waktu dekat, ayah yakin dia tidak akan datang menemui kita lagi...", jawab ayah sambil tersenyum.

"Ayo kita mulai latihan...", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

Kami berdua berdiri lalu keluar dari gubuk. Aku berjalan dibelakang ayah. Sesekali pandangan mataku menyempatkan melihat pohon yang terkena pukulan Sapto Dahono miliki Bawono.

Kami lalu berdiri berjejer dengan pandangan ke arah sawah, khususnya pematang. Dengan tangannya, ayah memintaku berdiri di salah satu ujung gubuk. Aku menurut, lalu berjalan menuju ujung gubuk. Aku menghitung langkahku, yakni sepuluh langkah jarakku dengan jarak ayah saat ini.

"Kita mulai dasar-dasar dari Kidang Telangkat... Kamu harus belajar bergerak melangkah dengan landasan pemahaman Kidang Telangkat. Nanti itu akan memudahkanmu dalam mengaplikasikan jenis langkah yang lain seperti misalnya Langkah Rajah, atau Langkah Angin. Yang harus dilakukan pada tahap dasar ini membuat tubuhmu beradaptasi terhadap sebaran energi yang dihasilkan dari pola napas Kering. Yang harus dilakukan adalah keluarkan napasmu sampai habis, setelah itu berlarilah dengan cepat kesini dengan jarak setengah langkah. Setelah sampai disini, lalu segera tarik napas dan atur napasmu setelahnya...", pinta ayah.

Aku menurut, kulakukan apa yang ayah minta. Aku membuang napas secara halus sampai habis, lalu segera berlari cepat menuju ayah. Sesampainya diujung gubuk satunya, napasku menjadi begitu tersengal-sengal. Aku mengatur napas hingga kembali normal. Keringatku mulai membasahi bajuku.

"Bagus... Lakukan lagi dengan cara yang sama kesana, lalu kemari lagi... Sekarang menjadi dua puluh langkah dalam satu hembusan napas...", ucap ayah sambil menggerakkan telunjuknya.

Aku melakukan apa yang ayah perintahkan. Segera kuhembuskan napas, lalu berlari cepat ke posisiku semula dan kembali lagi ke dekat ayah.

Napasku rasanya tidak karuan. Selain tersengal-sengal, aku merasa pandanganku menjadi lebih berwarna kuning. Semua yang kulihat nampaknya berubah menjadi warna kuning. Lututku mendadak menjadi lebih lemas hingga tanganku terpaksa harus bersandar pada tiang gubuk. Keringatku keluar sebesar bulir-bulir jagung.

"Jangan tundukkan kepala atau badanmu, sebab itu hanya akan membuat jadi lebih lemah. Tegakkan punggungmu, angkat dagumu sambil atur napasmu!", ucap ayah dengan tegas.

Aku menurut. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Mungkin karena masih baru berlatih dengan pola seperti ini, maka lutut ini rasanya makin lemas hingga aku terpaksa harus jatuh terduduk dan bersandar pada salah satu tiang gubuk. Pandanganku makin berwarna kuning, mulutku berasa pahit sekarang. Badanku terasa memanas. Ini seperti tanda-tanda orang ingin pingsan.

"Tidak... aku tidak boleh pingsan!", gumamku dalam hati.

"Atur napasmu dengan konsentrasi di bawah pusar. Setiap kali tarik napas, arahkan kebawah pusar. Lakukan terus seperti itu. Nikmati..."

Aku mengikuti apa yang ayah instruksikan. Kupejamkan mataku, lalu kuatur napasku dan kupusatkan dibawah pusar. Perlahan muncul rasa hangat yang khas disana. Entah sudah berapa kali tarikan napas aku melakukan itu. Yang kutahu, kini aku merasakan tubuhku mulai kembali nyaman. Setelah kurasa cukup, kemudian kubuka kedua mataku. Warna kuning dominan sudah menghilang. Aku paham benar, ketika warna kuning itu sudah muncul dan mulai memenuhi seluruh pandanganku maka hanya perlu waktu sebentar saja untuk berubah menjadi warna hitam gelap. Itu artinya aku dipastikan sudah dekat sekali dengan pingsan.

"Bagus... kamu sudah mulai belajar memulihkan dirimu sendiri. Tidak apa-apa. Asalkan menurut, maka nanti kamu akan bisa memahami Kidang Telangkat ini dengan baik...", ucap ayah. Aku melihat ia duduk didekatku.

"...asalkan menurut...", ucapan itu terngingang ditelingaku.

Rasanya ingatanku terbawa kembali beberapa tahun silam ketika aku dan adik perempuanku, Ayu, sedang berlatih bersama ayah. Saat itu, disebuah tempat dekat hutan yang memiliki pepohonan yang rindang, ayah membawa kami berlibur untuk latihan di alam terbuka. Ingatanku segera memunculkan kejadian dimana aku dan adikku belajar sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.

***

 

"Ayah, kenapa aku sulit sekali menguasai ilmu ini sedangkan kakak bisa begitu mudah?", tanya adikku. Nampaknya ia sedikit kesal.

Aku hanya tersenyum.

"Kamu ingin tahu nak?", tanya ayah.

Aku melihat adikku mengangguk.

"Baiklah, sekarang kalian berdua berdiri dan panjat pohon kelapa itu masing-masing. Semampunya. Kalau bisa sampai puncak itu lebih baik." , ucap ayah.

Aku langsung berdiri. Kemudian diikuti oleh adikku. Kami berjalan menuju dua pohon kelapa di dekat ayah. Aku berjalan disebelah kanan sementara adik berjalan disebelah kiri.

Perlahan-lahan, kami berdua menaiki pohon kelapa masing-masing. Dari sudut mata, aku melihat ayah memperhatikan kami berdua. Adikku ini sedikit tomboy. Ia tidak pernah ragu untuk naik pohon yang cukup tinggi.

Tidak perlu waktu lama, aku dan adikku sudah sampai ke puncak. Aku memandang pada tubuh ayah. Aku melihat adikku diseberang pohon juga melakukan hal yang sama.

"Bagus! Sekarang loncatlah dari pohon itu!", teriak ayah lantang.

Tanpa berpikir, aku langsung melompat dari puncak pohon kelapa yang kupanjat. Sekilas aku melihat keterkejutan yang amat sangat terpancar dari wajah adik. Ia nampaknya ragu.

Tubuhku meluncur deras. Aku pasrah saja. Bahkan apabila tubuhku menghantam tanah dengan keraspun aku tidak peduli. Tanpa sadar aku memejamkan mata. Jujur, saat itu aku takut sekali.

Aku menunggu detik-detik tubuhku menghantam tanah dengan keras. Tapi sekejap aku merasa ada sebuah tangan yang kokoh tapi lembut menahan laju tubuhku. Eh, aku tidak merasa terjadi benturan keras. Sebaliknya, aku merasa dibaringkan ke tanah dengan lembut. Sangat lembut.

Aku membuka mata. Tidak percaya yang kualami tadi.

"Cukup! Semua kembali kesini", pinta ayah.

Aku bergegas bangun, sementara adikku segera meluncur turun dari pohon kelapa. Kami kemudian kembali duduk di tempat semula.

"Inilah salah satu sebab utama dari keberhasilan kakakmu", ucap ayah tenang.

"Maksud ayah?", tanya adikku.

"Ayah tanya, apa yang kalian rasakan saat mendengar perintah ayah untuk melompat tadi?", tanya ayah kepada adikku.

"Ngeri yah. Kalau jatuh dari ketinggian bisa cedera", jawab adikku.

"Kalau Aa?", tanya ayah kepadaku.

"Aa jalankan apapun perintah ayah. Meski tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.", jawabku.

Ayah tersenyum.

"Disitulah bedanya nak. Kakakmu tidak mikir saat menerima perintah. Ia manut saja. Dan sesungguhnya ilmu manut inilah yang membuat ia berhasil.", jawab ayah kepada adikku.

"Saat kamu, nalarmu belum mencapai pemahaman keilmuan yang ada maka manut saja terhadap perintah gurumu. Lakukan saja, jalani tanpa banyak bertanya.

Itu sesuatu yang Ayu belum miliki...", jelas ayah kepada adikku.

"Sesuatu itu bernama ... Ilmu manut, atau ilmu nurut. Sebab tidak mungkin seorang guru akan mencelakai muridnya, apalagi kalian anak kandungku.".

Aku menunduk terdiam. Demikian juga dengan adikku.

"Namun, di zaman sekarang, mencari seorang guru sungguhan sangatlah sulit. Ayahpun belum tentu bisa menjadi guru yang baik...

Saat nanti kalian sudah mewarisi banyak ilmuku dan kebijaksanaanku, ketahuilah bahwa diluar sana ada lebih banyak lagi ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang jauh lebih baik dari yang kalian dapatkan dari ayah. Maka ayah meminta kalian untuk kelak berguru pada orang-orang yang dirasa baik dalam penilaian kalian.

Hikmah itu berserakan dimana-mana, tugas kita adalah mengumpulkannya dan menjadikan kebaikan bagi diri kita sendiri...", ucap ayah sambil menghela napas panjang.

Aku dan adikku duduk mendengarkan ayah dengan seksama.

"Ingatlah ini baik-baik, kelak suatu hari nanti, saat kalian mulai bertemu dengan dunia luar yang sesungguhnya dan ada keinginan kalian ingin mencari seorang guru, maka lihatlah benar-benar bagaimana tindak tanduknya. Apabila kalian merasa sreg dan nyaman dengan tindak tanduknya, kemampuannya, maka ikutilah. Jika tidak, jangan ikuti.", lanjut ayah.

"Bagaimana dengan isi hatinya Yah?", tanyaku.

"Urusan isi hatinya adalah urusannya dengan Allah. Kalian tidak akan tahu. Urusan kalian adalah melihat perilaku dan tindak tanduknya yang dirasa sreg bagi kalian. Kalian tidak bisa menerka isi hati, termasuk ayah. Namun kalian bisa menilai dari perilaku dan tindakan. Bisa juga dari buku-buku yang dikarangnya, bisa juga dari isi ucapan atau lisannya...", jawab ayah.

***

"Hoi... bangun.. bangun! Jangan malah tidur...", ucapan ayah menyadarkanku kembali dari kenangan memoriku bersama adikku saat berlibur bersama ayah dahulu. Secara reflek aku langsung bangun dari posisi dudukku.

"Ayo, lanjutkan latihannya... lakukan tiga kali. Setiap satu adalah dari sana kesini", pinta ayah sambil menggerakkan telunjuknya.

"Baiklah Yah... akan kulakukan apapun keinginan Ayah...", ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun