Aku mengikuti apa yang ayah instruksikan. Kupejamkan mataku, lalu kuatur napasku dan kupusatkan dibawah pusar. Perlahan muncul rasa hangat yang khas disana. Entah sudah berapa kali tarikan napas aku melakukan itu. Yang kutahu, kini aku merasakan tubuhku mulai kembali nyaman. Setelah kurasa cukup, kemudian kubuka kedua mataku. Warna kuning dominan sudah menghilang. Aku paham benar, ketika warna kuning itu sudah muncul dan mulai memenuhi seluruh pandanganku maka hanya perlu waktu sebentar saja untuk berubah menjadi warna hitam gelap. Itu artinya aku dipastikan sudah dekat sekali dengan pingsan.
"Bagus... kamu sudah mulai belajar memulihkan dirimu sendiri. Tidak apa-apa. Asalkan menurut, maka nanti kamu akan bisa memahami Kidang Telangkat ini dengan baik...", ucap ayah. Aku melihat ia duduk didekatku.
"...asalkan menurut...", ucapan itu terngingang ditelingaku.
Rasanya ingatanku terbawa kembali beberapa tahun silam ketika aku dan adik perempuanku, Ayu, sedang berlatih bersama ayah. Saat itu, disebuah tempat dekat hutan yang memiliki pepohonan yang rindang, ayah membawa kami berlibur untuk latihan di alam terbuka. Ingatanku segera memunculkan kejadian dimana aku dan adikku belajar sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
***
Â
"Ayah, kenapa aku sulit sekali menguasai ilmu ini sedangkan kakak bisa begitu mudah?", tanya adikku. Nampaknya ia sedikit kesal.
Aku hanya tersenyum.
"Kamu ingin tahu nak?", tanya ayah.
Aku melihat adikku mengangguk.
"Baiklah, sekarang kalian berdua berdiri dan panjat pohon kelapa itu masing-masing. Semampunya. Kalau bisa sampai puncak itu lebih baik." , ucap ayah.