"Namun, di zaman sekarang, mencari seorang guru sungguhan sangatlah sulit. Ayahpun belum tentu bisa menjadi guru yang baik...
Saat nanti kalian sudah mewarisi banyak ilmuku dan kebijaksanaanku, ketahuilah bahwa diluar sana ada lebih banyak lagi ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang jauh lebih baik dari yang kalian dapatkan dari ayah. Maka ayah meminta kalian untuk kelak berguru pada orang-orang yang dirasa baik dalam penilaian kalian.
Hikmah itu berserakan dimana-mana, tugas kita adalah mengumpulkannya dan menjadikan kebaikan bagi diri kita sendiri...", ucap ayah sambil menghela napas panjang.
Aku dan adikku duduk mendengarkan ayah dengan seksama.
"Ingatlah ini baik-baik, kelak suatu hari nanti, saat kalian mulai bertemu dengan dunia luar yang sesungguhnya dan ada keinginan kalian ingin mencari seorang guru, maka lihatlah benar-benar bagaimana tindak tanduknya. Apabila kalian merasa sreg dan nyaman dengan tindak tanduknya, kemampuannya, maka ikutilah. Jika tidak, jangan ikuti.", lanjut ayah.
"Bagaimana dengan isi hatinya Yah?", tanyaku.
"Urusan isi hatinya adalah urusannya dengan Allah. Kalian tidak akan tahu. Urusan kalian adalah melihat perilaku dan tindak tanduknya yang dirasa sreg bagi kalian. Kalian tidak bisa menerka isi hati, termasuk ayah. Namun kalian bisa menilai dari perilaku dan tindakan. Bisa juga dari buku-buku yang dikarangnya, bisa juga dari isi ucapan atau lisannya...", jawab ayah.
***
"Hoi... bangun.. bangun! Jangan malah tidur...", ucapan ayah menyadarkanku kembali dari kenangan memoriku bersama adikku saat berlibur bersama ayah dahulu. Secara reflek aku langsung bangun dari posisi dudukku.
"Ayo, lanjutkan latihannya... lakukan tiga kali. Setiap satu adalah dari sana kesini", pinta ayah sambil menggerakkan telunjuknya.
"Baiklah Yah... akan kulakukan apapun keinginan Ayah...", ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan.