Kami berdua berdiri lalu keluar dari gubuk. Aku berjalan dibelakang ayah. Sesekali pandangan mataku menyempatkan melihat pohon yang terkena pukulan Sapto Dahono miliki Bawono.
Kami lalu berdiri berjejer dengan pandangan ke arah sawah, khususnya pematang. Dengan tangannya, ayah memintaku berdiri di salah satu ujung gubuk. Aku menurut, lalu berjalan menuju ujung gubuk. Aku menghitung langkahku, yakni sepuluh langkah jarakku dengan jarak ayah saat ini.
"Kita mulai dasar-dasar dari Kidang Telangkat... Kamu harus belajar bergerak melangkah dengan landasan pemahaman Kidang Telangkat. Nanti itu akan memudahkanmu dalam mengaplikasikan jenis langkah yang lain seperti misalnya Langkah Rajah, atau Langkah Angin. Yang harus dilakukan pada tahap dasar ini membuat tubuhmu beradaptasi terhadap sebaran energi yang dihasilkan dari pola napas Kering. Yang harus dilakukan adalah keluarkan napasmu sampai habis, setelah itu berlarilah dengan cepat kesini dengan jarak setengah langkah. Setelah sampai disini, lalu segera tarik napas dan atur napasmu setelahnya...", pinta ayah.
Aku menurut, kulakukan apa yang ayah minta. Aku membuang napas secara halus sampai habis, lalu segera berlari cepat menuju ayah. Sesampainya diujung gubuk satunya, napasku menjadi begitu tersengal-sengal. Aku mengatur napas hingga kembali normal. Keringatku mulai membasahi bajuku.
"Bagus... Lakukan lagi dengan cara yang sama kesana, lalu kemari lagi... Sekarang menjadi dua puluh langkah dalam satu hembusan napas...", ucap ayah sambil menggerakkan telunjuknya.
Aku melakukan apa yang ayah perintahkan. Segera kuhembuskan napas, lalu berlari cepat ke posisiku semula dan kembali lagi ke dekat ayah.
Napasku rasanya tidak karuan. Selain tersengal-sengal, aku merasa pandanganku menjadi lebih berwarna kuning. Semua yang kulihat nampaknya berubah menjadi warna kuning. Lututku mendadak menjadi lebih lemas hingga tanganku terpaksa harus bersandar pada tiang gubuk. Keringatku keluar sebesar bulir-bulir jagung.
"Jangan tundukkan kepala atau badanmu, sebab itu hanya akan membuat jadi lebih lemah. Tegakkan punggungmu, angkat dagumu sambil atur napasmu!", ucap ayah dengan tegas.
Aku menurut. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Mungkin karena masih baru berlatih dengan pola seperti ini, maka lutut ini rasanya makin lemas hingga aku terpaksa harus jatuh terduduk dan bersandar pada salah satu tiang gubuk. Pandanganku makin berwarna kuning, mulutku berasa pahit sekarang. Badanku terasa memanas. Ini seperti tanda-tanda orang ingin pingsan.
"Tidak... aku tidak boleh pingsan!", gumamku dalam hati.
"Atur napasmu dengan konsentrasi di bawah pusar. Setiap kali tarik napas, arahkan kebawah pusar. Lakukan terus seperti itu. Nikmati..."