Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Menakar Harga Diri Bangsa Melalui Film

24 November 2018   10:35 Diperbarui: 26 November 2018   12:20 1586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : vidio.com

Tema inilah yang menjadi kekuatan film-film Jepang. Lewat film, Jepang hendak menegaskan bahwa dirinya berbeda dengan bangsa lain.

Siapa yang tidak kenal dengan anime dari Jepang. Seluruh dunia sepertinya berkiblat t pada Jepang jika menilik pada film Anime. Pada tahun 90-an saya gandrung dengan film Ultraman Seven, Saint Seiya, Satria Baja Hitam, dan Dragon Ball.

Anime ini akhirnya merangsek pada kebudayaan di Indonesia. Hampir seluruh anak-anak Indonesia menyukai film Anime dari Jepang.

Saat sekarang sudah bisa menonton online, Anime Jepang masih mendominasi dunia. Sebut saja film Naruto, Boruto, One Piece, dan Dragon Ball Super. Semua film ini menjadi representasi hargai diri Jepang terhadap bangsa lain. Jepang tidak mau bergeser untuk memproduksi film yang sama dengan bangsa lain. Misalnya, Tiongkok popular kungfu, Jepang tidak lantas ikutan latah membuat film dengan kultur kungfu.

Jepang ingin menegaskan, bangsanya adalah kekuatan anime yang berbeda dengan bangsa lain. Bangsa yang lebih mencintai budaya Samurai dan Anime sebagai jati diri masyarakatnya. Mereka adalah bangsa yang merdeka dari intervensi kebudayaan bangsa lain. Dengan kata lain, biarlah Amerika populer dengan film Super Hero dan Tiongkok populer dengan Taichi, Jepang ingin tetap menjadi bangsa yang mencintai budaya Samurai dalam kultur film-film Anime.

Kekuatan Bangsa Indonesia dalam Film Beranak dalam Kubur

sumber foto : vidio.com
sumber foto : vidio.com
Film Indonesia tentu berbeda dengan Tiongkok dan Jepang dalam kultur film. Jika Tiongkok dan Jepang setia dengan budayanya sendiri, Indonesia juga setia dan bangga dengan budayanya sendiri. Budaya itu dapat dibaca pada film kita yang tetap gandrung dengan tema horror dan mitos. Zaman yang berubah ke arah teknologi yang sifatnya empiris, tontonan kita malahan tidak pernah berubah menjadi lebih baik.

Tadi pagi saya sempat membaca sedikit headline di Koran Tempo. Koran ini mengangkat film Bernafas dalam Kubur yang diproduksi ulang dari film yang dibintangi oleh Suzanna dalam Film Beranak dalam Kubur.

Koran Tempo memberikan informasi bahwa Film Beranak dalam Kubur ini sangat disukai oleh penonton. Film ini mendapatkan sambutan meriah oleh masyarakat penonton di Indonesia.

Nampaknya, memang itulah harga diri dan kekuatan bangsa Indonesia. Mencintai budaya mitos yang tidak masuk dalam akal pikiran. Sejak zaman televisi masih hitam putih hingga saat ini sudah ada internet, otak kita doktrin dengan film yang tidak masuk akal. Faktanya, film-film kita laku di pasaran jika tema yang dibuat adalah mitos, cabul, horror, kekerasan, dan lain-lain.

Dalam dunia nyata adakah orang yang beranak dalam kubur atau adakah orang yang masih bernafas dalam kubur? Apakah kita pernah melihat dalam dunia nyata hantu Suster Ngesot? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, sebab memang kita tidak akan pernah menemukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun