Kekuatan Bangsa Tiongkok dalam Film Kungfu
Pada tulisan sebelumnya saya telah menuliskan tentang budaya bela diri Tiongkok melalui film. Tulisan kali ini saya juga akan menuliskan tentang film yang bagaimana bisa menjadi representasi harga diri sebuah bangsa.
Sebuah film mencerminkan budaya menjaga warisan kebudayaan sebuah bangsa. Film bukan hadir menjadi tonton, tapi di sana akan disajikan kedaulatan sebuah bangsa. Tidak ketinggalan film-film yang sekarang diproduksi oleh anak bangsa.
Dua bangsa yang menjadi representasi film dunia menurut pengalaman saya pribadi adalah China dan Jepang. Selain bersaing secara teknologi dan ekonomi, dua negara ini bersaing melalui dominasi film.
Dua negara ini memiliki kekuatan budaya dalam film tetapi dengan kultur yang berbeda. Tiongkok sangat bangga dengan kultur Kungfu, Taichi, dan Shaolin. Sepanjang sejarah film Tiongkok yang dibuat, tidak lepas dari tiga termin tersebut.
Meskipun zaman telah berubah, kultur film yang diproduksi oleh Tiongkok tidak pernah berubah. Film yang dibuat tidak mau membebek kultur yang diperankan oleh bangsa lain.
Misalnya begini, Jepang sangat populer dengan film-film Anime, atau Amerika dengan film-film Super Hero (Spiderman, Aquaman, dan lain-lain). Semua film itu tidak membuat Tiongkok bergeser dari kultur film yang menjadi legenda.
Selama ini Tiongkok tidak pernah ikutan-ikutan membuat film Anime. Bangsa ini juga tidak latah membuat film super hero seperti produksi Amerika dan lain-lain. Kungfu atau bela diri tetap menjadi kultur yang menarik dalam film-film buatan Tiongkok.
Kesetiaan terhadap budaya kungfu ini justru membuat film Tiongkok tetap menarik ditonton. Sejak Zaman Film Drunken Master, Return of the Condor Heroes, hingga sekarang Body Guard From Hell, kultur kungfu sebagai harga diri bangsa Tiongkok tetap melekat. Tiongkok dengan budaya filmnya merupakan bangsa yang ingin dihargai lewat budayanya sendiri.
Kekuatan Bangsa Jepang dalam Film Anime
Jepang agak berbeda dengan Tiongkok dalam kultur film dari Zaman belum ada televisi hingga sekarang sudah bisa menonton lewat media online. Film yang diproduksi oleh Jepang memiliki kultur Samurai dan Anime. Film-film anime inipun tidak lekang dari kultur samurai dan seluruh kebudayaan Jepang.
Tema inilah yang menjadi kekuatan film-film Jepang. Lewat film, Jepang hendak menegaskan bahwa dirinya berbeda dengan bangsa lain.
Siapa yang tidak kenal dengan anime dari Jepang. Seluruh dunia sepertinya berkiblat t pada Jepang jika menilik pada film Anime. Pada tahun 90-an saya gandrung dengan film Ultraman Seven, Saint Seiya, Satria Baja Hitam, dan Dragon Ball.
Anime ini akhirnya merangsek pada kebudayaan di Indonesia. Hampir seluruh anak-anak Indonesia menyukai film Anime dari Jepang.
Saat sekarang sudah bisa menonton online, Anime Jepang masih mendominasi dunia. Sebut saja film Naruto, Boruto, One Piece, dan Dragon Ball Super. Semua film ini menjadi representasi hargai diri Jepang terhadap bangsa lain. Jepang tidak mau bergeser untuk memproduksi film yang sama dengan bangsa lain. Misalnya, Tiongkok popular kungfu, Jepang tidak lantas ikutan latah membuat film dengan kultur kungfu.
Jepang ingin menegaskan, bangsanya adalah kekuatan anime yang berbeda dengan bangsa lain. Bangsa yang lebih mencintai budaya Samurai dan Anime sebagai jati diri masyarakatnya. Mereka adalah bangsa yang merdeka dari intervensi kebudayaan bangsa lain. Dengan kata lain, biarlah Amerika populer dengan film Super Hero dan Tiongkok populer dengan Taichi, Jepang ingin tetap menjadi bangsa yang mencintai budaya Samurai dalam kultur film-film Anime.
Kekuatan Bangsa Indonesia dalam Film Beranak dalam Kubur
Tadi pagi saya sempat membaca sedikit headline di Koran Tempo. Koran ini mengangkat film Bernafas dalam Kubur yang diproduksi ulang dari film yang dibintangi oleh Suzanna dalam Film Beranak dalam Kubur.
Koran Tempo memberikan informasi bahwa Film Beranak dalam Kubur ini sangat disukai oleh penonton. Film ini mendapatkan sambutan meriah oleh masyarakat penonton di Indonesia.
Nampaknya, memang itulah harga diri dan kekuatan bangsa Indonesia. Mencintai budaya mitos yang tidak masuk dalam akal pikiran. Sejak zaman televisi masih hitam putih hingga saat ini sudah ada internet, otak kita doktrin dengan film yang tidak masuk akal. Faktanya, film-film kita laku di pasaran jika tema yang dibuat adalah mitos, cabul, horror, kekerasan, dan lain-lain.
Dalam dunia nyata adakah orang yang beranak dalam kubur atau adakah orang yang masih bernafas dalam kubur? Apakah kita pernah melihat dalam dunia nyata hantu Suster Ngesot? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, sebab memang kita tidak akan pernah menemukannya.
Kita merindukan film-film yang lebih realistis dan dapat diterima oleh akal. Misalnya, film yang mengangkat tema kebudayaan bangsa kita sendiri. Bisa juga film yang bertema perkembangan teknologi yang lebih empiris. Bukan film yang hanya mitos dan tidak bisa diterima oleh akal pikiran.
Dulu saya pernah gandrung dengan "Film Sengsara Membawa Nikmat"Â dan "Film Siti Nurbaya". Dua dua film ini mengangkat tema kebudayaan suku bangsa kita sendiri. Sengsara Membawa Nikmat misalnya, film ini menjadi representasi bahasa dan silat dari Minang.
Semoga ke depan kita lebih mencintai bangsa kita melalui film. Dengan film itulah harga diri dan kekuatan bangsa diakui oleh bangsa lain. Menjadi bangsa yang merdeka dengan mencintai budayanya sendiri melalui film-film yang bermutu. Indonesia merupakan bangsa yang terdiri lebih ribuan suku-suku. Dengannya, tentu terbuka peluang membuat film yang mengangkat budaya tersebut. Agar kelak, kita meninggalkan warisan budaya bangsa terhadap anak dan cuku kita.
Salam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H