Hampir tiga tahun saya menyelesaikan studi Magister di UIN Jakarta. Jalan sepanjang Mampang ke Lebak Bulus tentu memiliki kenangan tersendiri bagi pribadi saya. Kenangan sepanjang jalan waktu belum ada Bus Way dan hanya ada Kopaja P 20. Jakarta berbenah pada mengikuti wajah postmodernisme.Â
Pada era postmodern ini sudut-sudut jalan Jakarta dan sepanjang jalan Mampang ke Lebak Bulus telah berubah bentuk phisiknya. Kopaja P20 juga sudah mati digantikan dengan armada Trans Jakarta yang digdaya. Meminjam pendapat Baudrllard sang tokoh postmodern, pembangunan jalan-jalan dan transportai Jakarta hanya simulacra. Hanya mementingkan citra dan menihilkan makna tentang manfaat yang akan dinikmati oleh masyarakat.
Bagaimanapun juga, petapi perubahan phisik dari Kopaja P2o ke TransJakarta masih menyisakan pekerjaan rumah bagi DKI. Perubahan itu hanya pada bentuknya tapi tidak pada substansinya. Saat naik TransJakarta kami masih harus berdesak-desakan dan menunggu jadwal kedatangan yang agak lambat.Â
Dan, dalam setiap perjalan itu  saya ingin mencatat sesuatu yang mungkin menarik untuk dijadikan pelajaran. Menuliskannya, meskipun secara sederhana, semoga Pak Gubernur dan Pak Presiden, serta pejabat lainnya tergugah untuk melakukan perubahan. Sebab, kondisi masyarakat kita ini sudah sangat nerimo atas apa saja yang diberikan oleh pemerintah dan negaranya.
"Mau kemana mas.....?" Pada sebuah pagi menjelang siang. Seperti biasa saya hendak menuju Kampus UIN Jakarta. Berdesakan orang di bus Trans Jakarta menjadi patologis sosial yang harus dinikmati.
"Ke Ciputat Mas..." Lelaki itu menjawab. Berdiri dengan tangan memegang pengaman di busway. Bajunya telah basah oleh keringat. Dan, tentu saja ada sedikit bau tidak sedap dari tubuhnya. Keringat bercampur desak-desakan, pasti menimbulkan bau yang tidak enak.
"Ke Ciputat ada pekerjaan atau...?"
Saya bertanya lebih lanjut. Pak Sopir memutar lagu Ebit G Ade dengan judul "Berita Kepada Kawan". Suasana dalam bus yang berdesakan jadi semakin syahdu dengan adanya tembang dari Ebit. Beberapa orang tampak komat kamit menirukan tembang dari speaker yang dipasang di bus Trans Jakarta.
"Kerja mas, saya kerja di toko bangunan..." Ia tersenyum pada saya.Â
Saya mengambil nafas panjang. Merenungi tentang keikhlasan rakyat kecil terhadap negaranya. Mereka rakyat kecil tidak pernah marah terhadap kebijakan negaranya. Dalam istilah bahasa Jawa mereka "nerimo ing pandom". Meskipun hidup mereka sangat miskin. Sekedar untuk menikmati transportasi yang nyaman saja sangat sulit.
Sudah berapa kali berganti kepemimpinan, masalah transportasi di Jakarta belum juga selesai. Pembangunan hanya pada bentuk phisik saja. Masalah nyaman atau tidak, berdesak-desakan atau tidak, negara mungkin tidak mau perduli.
Lelaki dengan basahan keringat itu menjawab pelan. "Saya sudah biasa berdesak-desakan di bus ini mas. Pindah transportasi lain juga belum bisa kan....?"
Wajahnya penuh lelah sebab berdesak-desakan. Pengamatan saya, rata-rata penumpang adalah orang-orang pinggiran. Termasuk saya, dan orang-orang yang berdesak-desakan.
"Semoga pemerintah segera memberikan transportasi yang nyaman buat kita mas. Saya juga berharap negara ini selalu dalam lindungan Allah swt. Biarlah sementara saya berdesakan di sini. Yang penting pemerintah telah berusaha memperbaiki nasib kami..." Lelaki itu menatap saya. Dalam kondisi seperti, masih saja ia mendoakan negaranya. Meskipun negara tidak pernah berdoa untuk perubahan nasibnya.
"Semoga saja begitu mas...." Jawab saya antara ikhlas dan tidak ikhlas.
Saya berharap Pak Presiden atau Pak Gubernur sesekali ikut berdesakan di busway ini. Tujuannya adalah agar dapat merasakan apa yang rakyat kecil rasakan. Tapi, kedatangan para pejabat ini bisa ditebak, hanya datang pada saat musim politik.
Mereka datang hanya untuk sekedar mencuri suara rakyat marginal. Politik pencitraan itulah yang sering terjadi. Mereka datang kepada kami orang-orang miskin dengan seribu janji perubahan. Setelah musim pemilu selesai, rakyat kecil ditinggalkan begitu saja.
Mata saya terus memandang ke luar jalan Jakarta. BusTrans Jakarta Mampang-Lebak Bulus terus bergerak. Sampai kapan transportasi ini akan benar-benar dinikmati rakyat kecil? Negara besar ini, sekedar untuk memberikan transportasi nyaman saja sangat susah.
Salam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H