Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Postmodern Trans Jakarta dan Lelaki Berkeringat yang Berdoa untuk Negaranya

12 September 2018   18:50 Diperbarui: 12 September 2018   19:58 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasanan di Trans Jakarta Mampang Lebak Bulus, Photo diambil dengan kamera HP Infinix

Hampir tiga tahun saya menyelesaikan studi Magister di UIN Jakarta. Jalan sepanjang Mampang ke Lebak Bulus tentu memiliki kenangan tersendiri bagi pribadi saya. Kenangan sepanjang jalan waktu belum ada Bus Way dan hanya ada Kopaja P 20. Jakarta berbenah pada mengikuti wajah postmodernisme. 

Pada era postmodern ini sudut-sudut jalan Jakarta dan sepanjang jalan Mampang ke Lebak Bulus telah berubah bentuk phisiknya. Kopaja P20 juga sudah mati digantikan dengan armada Trans Jakarta yang digdaya. Meminjam pendapat Baudrllard sang tokoh postmodern, pembangunan jalan-jalan dan transportai Jakarta hanya simulacra. Hanya mementingkan citra dan menihilkan makna tentang manfaat yang akan dinikmati oleh masyarakat.

Bagaimanapun juga, petapi perubahan phisik dari Kopaja P2o ke TransJakarta masih menyisakan pekerjaan rumah bagi DKI. Perubahan itu hanya pada bentuknya tapi tidak pada substansinya. Saat naik TransJakarta kami masih harus berdesak-desakan dan menunggu jadwal kedatangan yang agak lambat. 

Dan, dalam setiap perjalan itu  saya ingin mencatat sesuatu yang mungkin menarik untuk dijadikan pelajaran. Menuliskannya, meskipun secara sederhana, semoga Pak Gubernur dan Pak Presiden, serta pejabat lainnya tergugah untuk melakukan perubahan. Sebab, kondisi masyarakat kita ini sudah sangat nerimo atas apa saja yang diberikan oleh pemerintah dan negaranya.

"Mau kemana mas.....?" Pada sebuah pagi menjelang siang. Seperti biasa saya hendak menuju Kampus UIN Jakarta. Berdesakan orang di bus Trans Jakarta menjadi patologis sosial yang harus dinikmati.

"Ke Ciputat Mas..." Lelaki itu menjawab. Berdiri dengan tangan memegang pengaman di busway. Bajunya telah basah oleh keringat. Dan, tentu saja ada sedikit bau tidak sedap dari tubuhnya. Keringat bercampur desak-desakan, pasti menimbulkan bau yang tidak enak.

"Ke Ciputat ada pekerjaan atau...?"

Saya bertanya lebih lanjut. Pak Sopir memutar lagu Ebit G Ade dengan judul "Berita Kepada Kawan". Suasana dalam bus yang berdesakan jadi semakin syahdu dengan adanya tembang dari Ebit. Beberapa orang tampak komat kamit menirukan tembang dari speaker yang dipasang di bus Trans Jakarta.

"Kerja mas, saya kerja di toko bangunan..." Ia tersenyum pada saya. 

Saya mengambil nafas panjang. Merenungi tentang keikhlasan rakyat kecil terhadap negaranya. Mereka rakyat kecil tidak pernah marah terhadap kebijakan negaranya. Dalam istilah bahasa Jawa mereka "nerimo ing pandom". Meskipun hidup mereka sangat miskin. Sekedar untuk menikmati transportasi yang nyaman saja sangat sulit.

Sudah berapa kali berganti kepemimpinan, masalah transportasi di Jakarta belum juga selesai. Pembangunan hanya pada bentuk phisik saja. Masalah nyaman atau tidak, berdesak-desakan atau tidak, negara mungkin tidak mau perduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun