Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berbagi, Melepaskan Seorang Pedagang Kecil dari “Jeratan” Rentenir

14 September 2016   13:08 Diperbarui: 14 September 2016   13:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kadang abang sama kakak ada simpanan sedikit, kalau bisa kupinjam sebentar untuk melunasi utangku sama untuk modalku kedepan” kak Ijah mulai memberanikan diri meminta bantuan kami, saya memandang kearah isteriku, dia kembali mengangguk.

“Sebenarnya ada lah sedikit uangku kak, tapi lusa abang mau mengantar anak kami ke Surabaya” begitu kata isteriku “Tapi kalau memang kakak butuh, ya nggak apa-apa lah saya ambil sebagian u ntuk kakak” lanjut isteriku.

“O jangan kak, kalian kan masih perlu, lain kali saja” kak Ijah berusaha mengelak, tapi kami sudah bertekad untuk membantunya, karena dia memang sedang sangat butuh bantuan, apalagi mendengar dia saat ini sedang “terjerat” rentenir, saya semakin tidak tega membiarkannya tanpa berbuat apa-apa. Spontan kukeluarkan uang dua juta rupiah dari kantongku kemudian kuserahkan pada isteriku, sejatinya uang itu mau saya pakai untuk membayar harga tiket pesawat yang sudah kupesan beberapa hari sebelumnya..

“Ini kak, ada dua juta, yang sejuta pakai saja dulu untuk membayar utang kakak, sisanya bisa kakak pakai buat modal jualan lagi” kata isteriku sambil menyerahkan uang dari saya tadi, agak ragu kak Ijah menerimanya,

“Sudahlah kak, ambil saja, kakak kan memang lagi perlu” timpalku, akhirnya dia mengambil uang itu,

“Terima kasih bang, kak, tapi mungkin aku belum bisa bayar dalam waktu dekat” katanya terbata, kami hanya mengangguk. Meski dia menganggap itu sebagai utang, tapi dalam hati kami tidak terbersit untuk membebani perempuan yang sudah kami anggap seperti saudara itu sebagai utang, kami sudah menginkhlaskannya. Kalaupun kami mengiyakan itu sebagai utang, semata-mata untuk memicu semangat berusahanya saja.

“Ya nggak apa-apa kak, bayar saja nanti kapan kakak ada kelapangan” jawabku membesarkan hatinya, kulihat air mata mulai meleleh di pipinya, kamipun segera pamit setelah membayar lontong dan es campur kepada pemilik warung.

Alhamdulillah, semua urusanku di Surabaya berjalan lancar, meski harus melalui tes ulang, anak kami akhirnya resmi tercatat sebagai mahasiswa di universitas terbaik ke empat di Indonesia itu. Meski budget kami sudah berkurang untuk membantu kak Ijah, tapi sampai kembali ke Takengon, kota tempat tinggal kami, tidak ada kekurangan satu apapun, apalagi setelah tiket keberangkatan ke Surabaya kemudian juga diganti oleh Kementerian Agama melalui kampus Unair.

Beberapa bulan setelah itu, kulihat ada perubahan pada diri kak Ijah, setiap kali melintas di pasar tempat dia mangkal, meski dari kejauhan bisa kulihat wajahnya yang sudah kembali ceria, mungkin karena dia sudah bisa melepaskan diri dari jeratan sang rentenir, sayapun ikut bersyukur. Saya sengaja berpesan kepada isteriku, agar jangan sering-sering bertemu kak Ijah, saya takut akan jadi beban baginya karena akan mengingatkan dia akan “utang”nya. Meski dagangannya nyaris tidak bertambah, tapi setidaknya sedikit keuntungan yang dia peroleh, sekarang bisa dia manfaatkan untuk membantu beban keluarganya, itu yang selalu membuat saya bersyukur bisa membantunya..

Beberapa bulan yang lalu, bertepatan dengan selesainya kuliah putra sulung kami, ada berita duka sampai ke telinga saya, kak Ijah telah berpulang menghadap sang Khalik, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Saya bergegas mengajak isteri saya untuk melayat ke rumah duka, sebuah rumah kecil berdinding kayu berlantai semen kasar, seperti teriris hati kami melihatnya. Saat jasad kak Ijah masih terbujur di atas tikar, kudekati pak Suliaman atau yang biasa kuapanggil bang Leman, suaminya yang masih terlihat berduka dengan kepergian isterinya. Kuajak dia ke tempat yang tidak begitu ramai di sudut rumah itu,

“Maaf ya bang, mungkin bang Leman juga sudah tau, beberapa tahun lalu kami pernah membantu almarhumah modal berjualan, mungkin almarhumah tetap menganggap itu sebagai utang sampai akhir hayatnya” saya membuka pembicaraan, pak Sulaiman hanya mengangguk sambil menyeka matanya yang basah “Tapi kami tidak menganggap itu sebagai utang, karena kami memang ikhlas membantu” lanjutku,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun