Sebenarnya saya agak sungkan berbagi pengalaman ini, karena saya tidak ingin dianggap “riya” atau mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah saya lakukan kepada orang lain. Tapi tidak ada salahnya saya men share pengalaman ini, siapa tau ini bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, tapi sebelumnya saya mohon maaf, tidak ada sedikitpun maksud untuk menggurui apalagi membanggakan diri.
Kisah ini terjadi pada pertengahan tahun 2011 yang lalu, waktu itu putra sulung kami baru saja menyelesaikan pendidikan SLTAnya di sebuah Pondok Pesantren Terpadu. Alhamdulilah, putra pertama kami mendapatkan peluang beasiswa penuh dari Kementerian Agama melalui Program Beasiswa Satri Berprestasi (PBSB) setelah melalui seleksi yang sangat ketat di tingkat Provinsi Aceh. Dari sekitar 600an peserta seleksi dari semua pondok pesantren se Aceh, hanya 5 orang santri saja yang lolos seleksi beasiswa ke berbagai perguruan tinggi ternama di negeri ini. Putra sulung kami, Arief Rahman Hakim, kebetulan diterima di Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya pada program study Kimia.
Meski sudah dipastikan bisa kuliah dengan fasiltas beasiswa penuh, kami sebagai orang tuanya tentu tidak bisa begitu saja “lepas tangan”. Ya minimal meski menyiapkan anggaran untuk mengantar keberangkatan anak kami itu serta mencarikan rumah kos baginya di Surabaya. Tentunya butuh biaya yang tidak sedikit, dan bagi pegawai kecil seperti saya, lumayan membebani, tapi Alhamdulillah, semuanya bisa teratasi berkat kemudahan yang diberikan Allah SWT. Tidak tega melepaskan anak sendirian ke Surabaya, akhirnya saya “turun tangan” untuk mengantarkannya untuk daftar ulang sekaligus mencarikan rumah kos untuk anak kami itu. Tidak melulu untuk mengantarkan anak, momentum itu sekaligus saya mamfaatkan untuk silaturrahmi kepada sanak famili yang ada di Jawa dan Madura, karena kebetulan saya sudah cukup lama tidak mengunjungi mereka., ibaratnya “sambil menyelam minum air”.
Karena memang ada rencana mengunjungi sanak famili, tentunya harus saya siapkan sekedar oleh-oleh buat mereka, dan Kopi Gayo menjadi pilihan oleh-oleh yang cukup berkesan, karena kopi Gayo memang sudah terkenal dimana-mana. Memang setiap kali saya berkunjung ke Jawa, kopi Gayo seolah sudah menjadi oleh-oleh “wajib”, karena familiku di Bangkalan, Magelang, Jogja, Wonosobu dan beberapa kota di Jawa Tengah sangat suka dengan aroma dan rasa kopi yang sangat khas itu.
Dua hari menjelang keberangkatan ke Surabaya, saya menemani isteri untuk mencari oleh-oleh buat sanak famili yang rencananya akan saya kunjungi selepas menyelesaikan urusan perkuliahan anak kami. Di pasar, kami bertemu dengan bu Hadijah, perempuan setengah baya yang sehari-hari berjualan sayuran di pasar itu, kebetulan kami sudah lama mengenal perempuan itu karena salah satu putra bu Hadijah adalah teman anak kami di pesantren. Seperti biasa kami bertegur sapa, tapi hari itu ada yang terlihat berbeda dengan perempuan itu, wajahnya murung, seperti ada sesuatu yang membebani fikirannya. Kami memang tau persis keadaan ekonomi keluarga bu Hadijah, suaminya yang bernama Sulaiman hanyalah seorang petani kecil yang juga merangkap sebagai nelayan pencari ikan di Danau Laut Tawar yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Sementara ibu Hadijah sendiri, membantu suaminya mencari nafkah dengan berjaualan sayur-sayuran kecil-kecilan di pasar. Melihat wajahnya yang tidak ceria seperti biasanya, akhirnya saya memberanikan diri bertanya,
“Kak, sepertinya ada yang sedang kakak fikirkan”, pancingku, saya biasa memanggilnya kakak, meskipun usianya masih dibawahku, tapi raut wajahnya terlihat lebih tua dariku, mungkin karena beban hidupnya yang cukup berat, dia tidak segera menjawab, sepertinya dia agak risih kalau harus bercerita di keramaian pasar itu, saya segera memakluminya. Saya menyuruh isteri saya mengajak bu Hadijah ke warung lontong yang tak jauh dari tempat itu, kulihat bu Hadijah mengangguk tanda menyetujuinya, saya segera memesan tiga piring lontong sayur dan tiga es cendol,
Bu Hadijah sudah terlihat agak santai, saya kembali bertanya padanya,
“Kak, kalau ada masalah coba ceritakan sama kami, barangkali saja kami bisa membantu” begitu kataku membuka pembicaraan,
“Begini bang, kak, selama ini aku jaualan sayur ini kan ngambil modal dari rentenir, jadi setiap hari keuntunganku berjualan hanya habis untuk menutup bunga dari uang yang kupinjam” Kak Ijah, begitu kami biasa memanggilnya memulai curhatnya, saya merasa trenyuh mendengarnya begitu juga isteriku.
“Memangnya berapa utang kakak sama rentenir itu” tanyaku ingin tau,
“Sejuta bang, tapi aku belum bisa mengembalikan pokoknya, jadi tiap hari aku harus membayar bunganya” jawabnya lirih, saya jadi semakin trenyuh. Kudekati isteriku, kubisikkan sesuatu padanya, dia mengangguk setuju.
“Kadang abang sama kakak ada simpanan sedikit, kalau bisa kupinjam sebentar untuk melunasi utangku sama untuk modalku kedepan” kak Ijah mulai memberanikan diri meminta bantuan kami, saya memandang kearah isteriku, dia kembali mengangguk.
“Sebenarnya ada lah sedikit uangku kak, tapi lusa abang mau mengantar anak kami ke Surabaya” begitu kata isteriku “Tapi kalau memang kakak butuh, ya nggak apa-apa lah saya ambil sebagian u ntuk kakak” lanjut isteriku.
“O jangan kak, kalian kan masih perlu, lain kali saja” kak Ijah berusaha mengelak, tapi kami sudah bertekad untuk membantunya, karena dia memang sedang sangat butuh bantuan, apalagi mendengar dia saat ini sedang “terjerat” rentenir, saya semakin tidak tega membiarkannya tanpa berbuat apa-apa. Spontan kukeluarkan uang dua juta rupiah dari kantongku kemudian kuserahkan pada isteriku, sejatinya uang itu mau saya pakai untuk membayar harga tiket pesawat yang sudah kupesan beberapa hari sebelumnya..
“Ini kak, ada dua juta, yang sejuta pakai saja dulu untuk membayar utang kakak, sisanya bisa kakak pakai buat modal jualan lagi” kata isteriku sambil menyerahkan uang dari saya tadi, agak ragu kak Ijah menerimanya,
“Sudahlah kak, ambil saja, kakak kan memang lagi perlu” timpalku, akhirnya dia mengambil uang itu,
“Terima kasih bang, kak, tapi mungkin aku belum bisa bayar dalam waktu dekat” katanya terbata, kami hanya mengangguk. Meski dia menganggap itu sebagai utang, tapi dalam hati kami tidak terbersit untuk membebani perempuan yang sudah kami anggap seperti saudara itu sebagai utang, kami sudah menginkhlaskannya. Kalaupun kami mengiyakan itu sebagai utang, semata-mata untuk memicu semangat berusahanya saja.
“Ya nggak apa-apa kak, bayar saja nanti kapan kakak ada kelapangan” jawabku membesarkan hatinya, kulihat air mata mulai meleleh di pipinya, kamipun segera pamit setelah membayar lontong dan es campur kepada pemilik warung.
Alhamdulillah, semua urusanku di Surabaya berjalan lancar, meski harus melalui tes ulang, anak kami akhirnya resmi tercatat sebagai mahasiswa di universitas terbaik ke empat di Indonesia itu. Meski budget kami sudah berkurang untuk membantu kak Ijah, tapi sampai kembali ke Takengon, kota tempat tinggal kami, tidak ada kekurangan satu apapun, apalagi setelah tiket keberangkatan ke Surabaya kemudian juga diganti oleh Kementerian Agama melalui kampus Unair.
Beberapa bulan setelah itu, kulihat ada perubahan pada diri kak Ijah, setiap kali melintas di pasar tempat dia mangkal, meski dari kejauhan bisa kulihat wajahnya yang sudah kembali ceria, mungkin karena dia sudah bisa melepaskan diri dari jeratan sang rentenir, sayapun ikut bersyukur. Saya sengaja berpesan kepada isteriku, agar jangan sering-sering bertemu kak Ijah, saya takut akan jadi beban baginya karena akan mengingatkan dia akan “utang”nya. Meski dagangannya nyaris tidak bertambah, tapi setidaknya sedikit keuntungan yang dia peroleh, sekarang bisa dia manfaatkan untuk membantu beban keluarganya, itu yang selalu membuat saya bersyukur bisa membantunya..
Beberapa bulan yang lalu, bertepatan dengan selesainya kuliah putra sulung kami, ada berita duka sampai ke telinga saya, kak Ijah telah berpulang menghadap sang Khalik, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Saya bergegas mengajak isteri saya untuk melayat ke rumah duka, sebuah rumah kecil berdinding kayu berlantai semen kasar, seperti teriris hati kami melihatnya. Saat jasad kak Ijah masih terbujur di atas tikar, kudekati pak Suliaman atau yang biasa kuapanggil bang Leman, suaminya yang masih terlihat berduka dengan kepergian isterinya. Kuajak dia ke tempat yang tidak begitu ramai di sudut rumah itu,
“Maaf ya bang, mungkin bang Leman juga sudah tau, beberapa tahun lalu kami pernah membantu almarhumah modal berjualan, mungkin almarhumah tetap menganggap itu sebagai utang sampai akhir hayatnya” saya membuka pembicaraan, pak Sulaiman hanya mengangguk sambil menyeka matanya yang basah “Tapi kami tidak menganggap itu sebagai utang, karena kami memang ikhlas membantu” lanjutku,
“Terus bagaimana selanjutnya bang?” tanya pak Leman, mungkin dia mengira kami akan menagih utang isterinya “Kalau untuk saat ini kami belum bisa bayar”, saya merangkul pak Leman, dia terlihat bingung,
“Begini bang, seperti kata saya tadi, itu bukan utang, kami ikhlas membantu keluarga abang” kataku kemudian ”Tapi supaya tidak jadi beban almarhumah, sebelum dia di shalatkan saya harus ikrarkan bahwa utang almarhumah sudah saya anggap lunas”, pak Leman langsung memelukku, air matanya berhamburan membasahi bajuku,
“Terima kasih bang, terima kasih, semoga Allah membalas kebaikan abang dan kakak” itulah ucapan yang keluar dari mulutnya disela isak tangis yang sudah tidak tertahan, kulihat isteriku juga ikut-ikutan menangis. Tapi dibalik itu ada kesejukan mengalir dalam dada saya, meski kehidupan keluarga kami belum bisa dikatakan berkecukupan, tapi setidaknya kami sudah pernah berbagai kepada orang lain yang lebih membutuhkan, meski tak seberapa jumlahnya, tapi mungkin bisa memberi manfaat bagi keluarga pak Leman dan kak Ijah selama beberapa tahun belakangan ini, atau setidaknya kami sudah bisa melepaskan dia dari jeratan renternir yang selama ini membuat hidupnya sangat menderita, sebelum akhirnya Allah “mengakhiri” derita hidup kak Ijah dengan memanggilnya ke pangkuanNya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI