Lewat buku ini, Syukri yang juga dikenal sebagai seorang Kompasianer senior ini, seakan ingin mengajak pembaca menjelajah dunia imajinasi lewat tulisan tentang berbagai hal yang terkait dengan kopi, khususnya kopi Gayo yang dikemas apik, sehingga begitu nikmat untuk disimak, senikmat aroma dan rasa kopi Gayo yang sudah mendunia itu.
Dibuka dengan pengantar dari seorang wartawan senior Harian Kompas, Pepih Nugraha, pembaca langsung dibuat penasaran untuk segera “melumat” keseluruhan isi buku ini. Apalagi dalam pengantarnya, Kang Pepih, hanya sedikit sekali “menguak tabir” yang tersimpan dalam buku ini, dan selanjutnya dia mempersilahkan para pembaca untuk “larut” dalam kisah-kisah tentang kopi yang tersaji dengan sangat runtun dan menarik, yang tentunya belum pernah diangkat oleh penulis lainnya.
Pepih hanya sedikit sekali memberikan “klu”nya, yaitu hanya mengulas sedikit tentang sejarah, gaya hidup, manfaat, keunggulan, tardisi, budaya dan aspek sosial ekonomi serta realita kekinian Kopi Gayo, ini yang membuat pembaca semakin “kebelet” untuk segera menyimak lembar demi lembar buku ini.
Dari pengantarnya saja, Pepih Nugraha sudah mampu membuat pembaca penasaran, dan Kang Pepih memang tidak berlebihan, karena buku ini memang sangat layak dibaca oleh siapa saja, terutama buat mereka yang selama ini sudah mengaku sebagai pecinta, pengemar dan penikmat kopi.
Membuka lembar demi lembar buku ini, pembaca seakan diposisikan sebagai “tamu negara” yang sedang diajak oleh penguasa negeri kopi untuk menyimak berbagai kisah tentang negeri itu. Dan di “negeri” berjuluk Negeri Kopi ini, tak salah rasanya kalau menyebut Muhammad Syukri sebagai “presiden”nya, karena dia mampu bertutur fasih tentang apa saja yang terkait dengan negerinya ini secara universal dan general tidak hanya sepenggal-sepenggal.
Dibuka dengan rubrik gaya hidup (Lifestyle), Syukri mulai berkisah tentang warung kopi yang kemudian kini banyak yang telah berubah mengikuti tren menjadi kafe. Dalam rubrik pembuka ini, Syukri menceritakan bagaimana sekarang fungsi warung kopi atau kafe kopi sudah bergeser fungsinya, bukan lagi sekedar tempat minum kopi, tapi sudah berubah menjadi ruang publik, ruang yang menjadi milik semua elemen masyarakat.
Dari sekadar tempat minum kopi, kini kafe-kafe itu kini berubah sebaga wahana berekspresi bagi siapa saja, baik untuk sekedar bercengkerama dengan sahabat maupun untuk tempat berbincang tentang hal-hal yang serius seperti politik, ekonomi, pemerintahan dan sebagainya, bahkan tidak jarang menjadi tempat terjadinya bargaining dan deal-deal bisnis (halaman 3).
Membaca tulisan di halaman-halaman pertama ini saja, begitu kuatnya “magnet” di halaman awal buku ini, sampai-sampai pembaca seakan mulai “terhipnotis” untuk terus menyimak sampai halaman terakhir.
Masih dalam rubrik pembuka ini, Syukri juga berkisah tentang bagaimana seorang bupati bisa memimpin rapat dari warung kopi, tak perlu dengan nuansa formal dengan aturan protokoler yang kaku, sang bupati cukup membuka gadgetnya sambil menikmati secangkir kopi kemudian memberikan arahan-arahan atau perintah kepada semua pejabat di daerah itu melalui jejaring sosial yang sudah disetting sedemikian rupa sehingga hanya bisa dibuka oleh para pejabat pada satuan kerja perangkat daerah yang ada di daerah itu.
Tidak seperti rapat biasa, para pejabat pun tidak perlu merapat ke warung kopi, cukup menyimak arahan dan perintah sang pimpinan melalui gadget mereka dari mana saja ( halaman 11).
Dalam scene gaya hidup ini, Syukri juga bertutur tentang keunikan kafe-kafe yang ada di seputran kota tempat tinggalnya, sebut saja Bayakmi Kupi, sebauah tempat ngopi yang menyediakan berbagai buku bacaan berkualitas bagi para pengunjung, di tempat ini penikmat kopi bisa menikmati espresso atau black coffee sambil menyimak aneka novel atau bacaan lainnya (halaman 5).