Keterbukaan informasi publik sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008, memberi makna bahwa setiap instansi dan lembaga pemerintah dan orang=orang yang terlibat didalamnya, memiliki kewajiban untuk membuka akses informasi kepada publik, sehingga apa yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh instansi atau lembaga tersebut dapat diketahui oleh publik, bahkan Undang-undang tersebut juga memuat sanksi pidana bagi instansi atau lembaga yang dengan sengaja menyembunyikan informasi yang mestinya harus diketahui oleh publik.
Untuk membuka akses informasi kepada publik, tentu sangat membutuhkan keberadaaan media, baik media elektronik, media cetak maupun media online. Itulah sebabnya sekarang banyak instansi atau lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah sudah memiliki media sendiri, sekurang-kurangnya dalam bentuk media online atau website.
Saat ini semua kemeterian, lembaga pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sudah memiliki website sendiri dan sebagian sudah memiliki media baik cetak maupun online. Kementerian Pertanian misalnya, punya website : www.deptan.go.id, bahkan dari tahun 1990an sudah memiliki media cetak sendiri berupa koran yang kemudian berubah menjadi tabloid Sinar Tani.
Secara umum keberadaan website maupun media milik Kementerian Pertanian tersebut dapat diakses untuk menyampaikan informasi bagi instansi di daerah yang terkait dengan pertanian secara umum. Keberadaan Tabloid Sinar Tani yang dikelola oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, sering dimanfaatkan oleh instansi lingkup pertanian di daerah untuk menyampaikan informasi tentang kegiatan pertanian yang telah dilaksanakan di daerah mereka. Untuk bisa mengakses media tersebut, tentu saja dibutuhkan tenaga-tenaga skill yang memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menulis atau publikasi.
Namun karena keterbatasan halaman, tentu saja media cetak Sinar Tani yang terbit tiga kali dalam sebulan itu, belum mampu memuat semua informasi dari daerah, hanya berita-berita atau informasi yang dianggap penting dan mempunyai nilai inspiratif saja yang kemudian “lolos” ke media berskala nasional dan diedarkan ke seluruh Indonesia ini.
Itulah sebabnya, sekarang banyak pemerintah daerah yang kemudian membuat media sendiri, untuk menginformasikan kegiatan pembangunan di daerah tersebut, namun untuk level Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), masih sangat sedikit yang sudah memiliki media sendiri bahkan sekedar website pun belum punya.
Salah satu penyebabnya yang selalu dijadikan alasan klasik adalah minimnya sumber daya manusia pada instansi tersebut yang menguasai teknologi informasi maupun ilmu jurnalistik, padahal kalau ada kemauan dan political will dari para pemangku kebijakan, tentu kendala tersebut bisa dicari solusinya. Jadi intinya bukan faktor sumber daya manusia, tapi belum adanya political will dan kepedulian dari sebagian besar pemangku kebijakan terhadap pentingnya peran media dan publikasi.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Aceh Tengah, meski sudah memiliki website resmi yaitu www.acehtengahkab.go.id , namun belum banyak partisipasi Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) untuk memanfaatkan website tersebut untuk membuka akses informasi kepada publik. Kalau ditelisik, hanya beberapa SKPK saja yang aktif menyampaikan informasi melalui website ini, itupun bukan karena adanya kebijakan pimpinan instansi yang memberi dukungan terhadap publikasi dan penyampaian informasi, tapi lebih dari inisiatif dan swadaya individu aparatur yang punya kepedulian terhadap keterbukaan informasi publik ini.
Sebagai daerah yang dominan dengan sektor pertanian, mestinya informasi dan publikasi tentang pertanian, penyuluhan dan ketahanan pangan mampu mendominasi website tersebut, tapi kenyataannya hanya ada segelintir aparatur sipil Negara yang eksis untuk menyampaikan informasi tentang pertanian ini memlaui website resmi Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah ini, itupun hanya karena inisiatif individu dan nyaris tanpa dukungan dari instansinya sendiri. Akibatnya, banyak informasi tentang pertanian di Dataran Tinggi Gayo ini yang terlewatkan dari publikasi media, padahal sector pertanian inilah yang selama ini telah “menghidupi” Aceh Tengah.
Bicara tentang pertanian dan lingkupnya (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perekebunan, Peternakan dan Perikanan) tentu tidak bisa dilepaskan dari peran penyuluhan pertanian, karena pendampingan kepada petani melalui kegiatan pembinaan dan penyuluhan oleh para penyuluh pertanian ini, juga merupakan faktor terpenting dari keberhasilan usaha tani yang dilakukan oleh para petani.
Selama ini sudah banyak kiprah dan kreativitas yang ditunjukkan oleh para penyuluh pertanian ini, tapi nyaris tidak pernah diketahui publik, karena tidak ada yang mengangkatnya ke media. Baru dalam beberapa tahun terakhir, kiprah para penyuluh di Gayo ini mulai terangkat ke berbagai media, atas inisiatif pribadi seorang pegawai Bapeluh yang dengan swadaya, tanpa dukungan fasilitas dari instansinya, terus menulis dan mengangkat kiprah para penyuluh ke berbagai media, termasuk media yang berskala nasional.
“Kami bersyukur, ada sosok idealis seperti pak Fathan, meski tanpa dukungan dan fasilitas dari intansinya, tetap komit untuk mengangkat kiprah teman-teman penyuluh ke berbagai media, kami para penyuluh sangat berterima kasih kepada beliau” ungkap Juanda, saat meninjau persiapan pembuatan embung dan jaringan irigasi pedesaan di wiliayah binaannya, kecamatan Bintang.
Itulah sebabnya dia punya obsesi, penyuluh pertanian yang ada di Dataran Tinggi Gayo ini bisa punya media sendiri, sehingga semua informasi tentang kegiatan penyuluh dalam mendukung dan mensukseskan program pembangunan pertanian dapat terekspose ke media. Sebenarnya gagasan itu sudah muncul beberapa tahun yang lalu, waktu itu Juanda sudah menjajaki kerjasama dengan penerbit dan percetakan untuk penerbitan media bagi penyuluh pertanian di Aceh Tengah, bahkan anggarannya pun sudah di alokasikan melalui APBK, namun kemudian terjadi miskomunikasi dengan pemangku kebijakan dalam pelaksanaannya, sehingga “mimpi” Juanda tidak jadi terwujud.
Kali ini tekadnya sudah bulat, tahun 2017 yang akan datang, penyuluh di Aceh Tengah harus sudah punya media sendiri, tanpa punya media sendiri, para penyuluh akan sulit mengekspos kegiatan-kegiatan yang telah mereka laksanakan di lapangan, begitu yang ada di benak Juanda.
“Kami sedang siapkan proposalnya, tapi kalaupun anggaran yang kami usulkan tidak terakomodir, kami sudah siap untuk berswadaya” lanjut Juanda “Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, peran media sangat penting, termasuk bagi para penyuluh pertanian, karena tanpa publikasi yang seimbang, akan selalu timbul anggapan bahwa penyuluh tidak bekerja” sambungnya.
Menurut Juanda, dengan memiliki media sendiri, para penyuluh akan punya kebebasan berekspresi dan menyalurkan bakat menulisnya, karena dia melihat banyak penyuluh yang sebenarnya punya kemampuan untuk menulis, tapi tidak tersalurkan karena keterbatasan media. Begitu juga dengan kegiatan lapangan yang sudah dilaksanakan oleh para penyuluh, akan terekspose secara maksimal melaui media ini. Untuk mewujudkan obsesinya ini, Juanda akan melibatkan sosok-sosok internal dari kalangan Bapeluh yang sudah familiar dengan media seperti Drs. Muhammad Syukri , MPd dan Fathan,
“Kemampuan kedua orang ini dalam menulis di berbagai media sudah tidak diragukan lagi, kami berharap mereka berdua bersedia membantu untuk mewujudkan impian kami memiliki media sendiri bagi penyuluh” harap Juanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H