Ada ruang kebebasan di situ untuk masyarakat dalam memberikan kritik dan pandangannya sekaligus berpartisipasi dalam pembangunan.
Kebebasan yang ditawarkan demokrasi pada pandangan A. Bakir Ikhsan (2010) mensyaratkan kesantunan.Â
Santun dalam berekspresi dan santun dalam berkompetisi dan berkontestasi. Indikator kesantunan adalah kesediaan untuk mematuhi aturan demi kepentingan publik. Inilah salah satu agenda yang belum terealisir secara utuh dalam kehidupan politik kita.
Di sini pula diperlukan penguatan etika dan logika politik bagi para elite politik. Seluruh gerak politik yang dimainkan oleh para elite dan publik harus berpijak pada dua kerangka tersebut sebagai landasan berbangsa dan bernegara bahkan dalam interaksi global.Â
Ketika dua landasan itu diabaikan, maka akan memunculkan sikap apatisme politik yang menghambat partisipasi masyarakat.
Sehingga urgensitas tentang proses penyadaran etika politik ini menemukan momentumnya agar demokrasi bisa terawat. Jika tidak, persepsi demokrasi akan terus mengalami deviasi akibat ulah politisi dan rakyat semakin teralienasi.
Perilaku koruptip yang diperlihatkan para pemimpin kita misalnya---kemudian ditangkap KPK---telah meniscayakan itu. Ada apatisme di kalangan masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam politik lokal maupun nasional.Â
Karena dalam bahasa KPK (2019) korupsi itu telah melanggar prinsip-prinsip etika profesi, seperti integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan.Â
Nilai-nilai antikorupsi telah diabaikan misalnya jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggungjawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil (KPK: 2019).
Cukuplah sampai di sini, mental kepura-puraan difragmentasikan para elite. Sehingga rakyat betul-betul tidak dipersalahkan keikutsertaannya dalam berdemokrasi---terutama dalam proses pemilihan pemimpin---sebaliknya tindak bermartabat akan menguatkan dan menjadikan demokrasi sebagai alat mensejahterakan rakyat.
Masduki Duryat adalah dosen IAIN Syekh Nurajati Cirebon, tinggal di Indramayu