Dalam bahasa A. Bakir Ihsan, seorang pengamat politik nasional sampai pada kesimpulan; konstitusi yang seharusnya menjadi pijakan dalam perilaku politik berbangsa hanya menjadi mantra-mantra tempat berlindung bagi kepentingan politik masing-masing kelompok.
Pelanggaran terhadap konstitusi menjadi lonceng kematian bagi konsolidasi demokrasi. Apatisme politik dan kemuakan atas demokrasi mulai menggejala akibat ulah para politisi yang hampa etika.
Akibatnya ada jarak  antara elite dan rakyat. Bahkan demokrasi yang sejatinya menjadi ajang perjuangan rakyat ditarik menjadi ajang permainan elite. Efek lebih jauh dari itu demokrasi menjadi begitu eksklusif dan rakyat tidak pernah merasakan manfaatnya.
Partai politik yang sejatinya juga menjadi pilar konsolidasi demokrasi masih tidak mau melepaskan dirinya dari hegemoninya, sehingga mengekang kreasi para wakilnya di parlemen.Â
Partai politik cenderung menjadi ajang transaksi tawar-menawar untuk mendapatkan konsesi politik (posisi) maupun finansial.
Animo hegemoni elite politik yang tanpa memperhatikan etika politik yang baik dan benar akan menuju prahara akbar terhadap eksistensi demokrasi yang sedang berjalan di tengah kehidupan masyarakat.Â
Demokrasi mesti dilihat secara serius oleh publik dan perilaku politik lokal/nasional yang tidak lagi berjalan pada ranah etika politik yang benar.
Etika Politik yang Santun
Demokrasi yang dicita-citakan rakyat adalah pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan elite politik mesti memperhatikan kesejahteraan bersama bukan kepentingan pribadi.
Demokrasi yang ideal atau prospek rakyat adalah pemerintah yang sensibilitas terhadap realitas publik dan aspirasi rakyat yang belum direalisasikan.Â
Di sisi lain, politik yang bermartabat menyata dalam kehadiran abdi negara yang memiliki kesadaran kebangsaan (Max Regus, 2003). Esensialitas demokrasi yang ideal inilah sejauh yang dicita-citakan rakyat.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!