Persis seperti pernyataan gubernur Alabama George Wallace dalam "How Democracies Die", ada satu hal yang lebih berkuasa dari konstitusi ... kehendak rakyat.Â
Apa sih konstitusi itu? Produk rakyat, rakyat adalah sumber utama kekuasaan, dan rakyat bisa membatalkan konstitusi bila berkehendak.
Demokrasi yang kebablasan dan terjebak pada hegemoni kekuasaan telah melahirkan mental hipokrit para pemimpin dan bahkan cenderung korup.Â
Syahwat kekuasaan lebih mengemuka dibandingkan perhatiannya pada kepentingan rakyat. Masing-masing mendewakan ideologi dan konstitusinya tetapi pada saat yang sama menistakannya.
Korupsi adalah realitas dengan menghantarkan tidak sedikit para pemimpin dalam jebakannya.Â
Sehingga pada catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sudah ada 429 kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang terjerat kasus korupsi. Halini juga menegasikan bahwa demokrasi yang ditawarkan tidak terawat dengan baik.
Demokrasi---dalam kasus Indonesia---yang dibangun melalui pemilihan langsung telah melahirkan aktor-aktor yang penuh kepura-puraan mengawal kesejahteraan rakyat. Walau juga harus diakui ada juga pemimpin-pemimpin daerah dan nasional yang handal dan bisa dibanggakan.
High cost dalam pilkada dianggap sebagai pemicu banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi di era demokrasi ini.
Dengan meminjam bahasa Syafii Antonio, sekarang ini terlalu mahal biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk memilih seorang pemimpin, sebagai contoh untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Menurut Muhammad Syafi'i Antonio (2007) dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 milyar rupiahbahkan lebih.Â
Ketika calon bupati/walikota meminjam dari beberapa pengusaha dan rekanan, ia akan langsung menjadi penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya.Â