Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Realitas Moral Anak: Refleksi atas Kasus yang Menimpa Guru dalam Mengawal Moral Anak

13 September 2022   21:59 Diperbarui: 13 September 2022   21:59 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Survei Komnas Anak, (2007) terhadap 4500 anak dari 12 kota, 97% anak menonton film porno, 3,7% ciuman, petting dan oral seks, 62,7% remaja SMP/SMA tidak perjaka/perawan lagi dan 21,3% remaja SMP/SMA pernah melakukan aborsi.

Dari hal di atas, maka eksistensi pendidikan yang mengusung misi mulia memanusiakan manusia harus terus diinternalisasikan. Karena pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat, termasuk anak dan remaja beradab, yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama anak dan remaja. Pendidikan yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (not only as schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (as community networks). 

Guru dan Moralitas Anak

Dengan tugas dan misi yang diemban dunia Pendidikan melalui peran guru yang sedemikian mulia yakni  mengawal moral anak---yang dalam bahasa UNESCO membawa misi pembelajaran, learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together---memang sungguh sangat berat. Apalagi konstruksi moral yang dirancang di sekolah kadang tidak sebangun dengan kondisi di tengah-tengah masyarakat dan keluarga.

Sekarang ini ada semacam kepungan yang laten dan sangat berbahaya---lebih berbahaya daripada Narkoba---bagi kelangsungan moralitas anak yakni pornografi atau Narkotika lewat mata (Narkolema). Pornografi/narkolema ini mudah diakses kapanpun dan di manapun, "Kalau gempa bumi berpotensi tsunami, maka pornografi yang dilihat anak umumnya tanpa sengaja, lewat peralatan teknologi di tangannya berpontesi tsunami jiwa dengan kerusakan otak permanen".

Pada pecandu pornografi, Dr. Mark menjelaskan, otak akan merangsang produksi dopamin dan endorfin yaitu suatu bahan kimia otak yang membuat rasa senang dan merasa lebih baik. Dalam kondisi normal, zat-zat ini akan sangat bermanfaat untuk membuat orang sehat dan menjalankan hidup dengan lebih baik. Tapi dengan pornografi, otak akan mengalami hyper stimulating (rangsangan yang berlebihan), sehingga otak akan bekerja dengan sangat ekstrem dan kemudian mengecil dan rusak.

Candu pornografi membuat orang menjadi dissensitifisasi. Gambar porno yang sudah dilihat tidak akan dilihat ulang karena sudah tidak berpengaruh lagi, yang ingin dilihat lagi adalah gambar porno yang lebih dari gambar sebelumnya, karena rasa senstifnya hilang. Oleh karena itu para pencandu pornografi akan selalu meningkat candunya seperti menaiki tangga, ia ingin lebih, lebih dan lebih lagi.

Ketika anak melihat satu kali pornografi maka dia ingin dua, tiga, empat kali lagi. Ketika gambar pornografi sering melewati PFC, maka bagian yang menyimpan moral dan nilai, membuat perencanaan hidup, akan menciut dan mengecil yang mengakibatkan dorongan seks tidak terkendali.

Serbuan bahaya dari sisi moralitas bagi anak membawa konsekuensi terutama guru untuk menjadi garda terdepan 'mengawal' moralitas anak. Otoritas ini kadang 'diganggu' oleh pihak lain---termasuk orang tua---dengan atas nama HAM. Padahal reward and punishment yang dilakukan guru selalu saja bermuatan edukatif.

Tidak ada guru yang mendidik dengan rasa dendam dan sakit hati tetapi sebaliknya banyak di antara guru yang mendidik berangkat dari cinta---teaching with love, teaching with heart. Ketulusan ini kadang diinterpretasikan yang berbeda oleh orang tua, lalu ketika ada guru yang 'menghukum' anaknya, alih-alih guru dibela dan didukung, malah dipidanakan.

Komentar Prof. Mahfud MD. "Waktu saya sekolah dulu, saya sering datang berterima kasih kepada guru, jika guru menghukum saya. Sekarang moral anak rontok". Seperti yang disampaikan pada awal tulisan ini, Mahfud MD., juga sekaligus memberikan warning jangan sampai guru bersikap apatis, masa bodo, 'pujareng kono', dengan kondisi moralitas anak. Kita tidak ingin guru akan beralih lagi pada paradigma lama, bukan mendidik tetapi hanya mengajar---transfer of knowledge---jelas ini sebuah kemunduran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun