Untuk kepentingan tersebut di atas dengan memperhatikan kajian Pullias dan Young (1988), Manan (1990), serta Yelon and Weinstein (1997) yang diadaptasi kembali oleh E. Mulyasa paling tidak dapat diidentifikasikan sedikitnya 19 peran guru yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaru (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan sebagai kulminator.
Dengan melihat perannya yang sedemikian mulia dan terhormat, maka posisi guru hendaknya benar-benar menjadi profesi yang berangkat dari hati, sehingga dalam melaksanakan tugas tidak hanya menggugurkan kewajiban tapi juga sebagai sebuah kehormatan, amanat Allah dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.
Di sisi lain juga harus ada upaya dari pemegang kebijakan---dalam hal ini pemerintah---supaya tetap 'memuliakan' guru dan ada keberpihakan, baik dari sisi peningkatan mutu dan profesionalismenya, maupun dari sisi finansial.
Sebagai seorang guru, rasulullah dalam sabdanya memberikan penghargaan:"Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut "orang besar" di segala penjuru langit." Dan, "Sebaik-baiknya pemberian dan hadiah ialah kata-kata berhikmat. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim, engkau ajari dia. Perbuatan yang demikian mempunyai ibadat setahun".
Kondisi Moralitas Anak; Memprihatinkan
Harus diakui bahwa banyak di antara peserta didik kita yang berprestasi, kompetitif dan komparatif. Ada yang juara olimpiade, baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Tetapi di sisi lain juga ada yang memprihatinkan, kasus pembunuhan disertai kekerasan dengan berbau asmara dan hubungan seksual yang dilakukan oleh anak yang masih SMP di Tangerang, pemerkosaan disertai dengan pembunuhan sadis terhadap Yuyun, kasus di Surabaya serta kasus-kasus lain adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa ada something wrong dalam perkembangan moralitas---dan lebih luas---pada pendidikan anak.
Penelitian-penelitian terdahulu juga memberikan indikasi tentang kehawatiran perkembangan anak dari sisi moralitas. Tatkala sebagian besar anak dan remaja kita telah mengklaim sebagai remaja modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral belum lagi surut (akumulasi dari problematika yang dialami anak dan remaja). Penggambaran gaya hidup anak dan  remaja yang kontra moralitas kerap kita temui dan bahkan dipandang sebagai kewajaran pada sebuah masyarakat yang tengah mengalami 'kesakitan'.
Hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994 di beberapa SMP, SMA dan SMK di Jakarta dinyatakan bahwa 9,9% dari 558 siswa yang menjadi responden mengaku telah berhubungan seks dengan teman sebaya setelah menonton film porno.
Hasil penelitian Sulistya Eka, pelajar SMPP 10 Yogyakarta  menyebutkan bahwa dari 461 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31.6% melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6% meraba-raba organ tertentu milik pacarnya dan 12,7% mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya. Sementara itu Jawa Pos edisi 25 Mei 2003 mencatat sebuah polling dari 1.522 siswa SMA/SMK di Jakarta dan Surabaya bahwa rata-rata 10,4% pernah berhubungan seks di luar nikah dan 45% pernah wet kissing (ciuman basah).
Survey terhadap 190 siswa SMA/SMK di Bandung tentang alasan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 26% menyalurkan dorongan seks, 17% ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji kemampuan / keperawanan / perjaka, 5% mendapat imbalan, dan 3% mengatasi stress.