Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Realitas Moral Anak: Refleksi atas Kasus yang Menimpa Guru dalam Mengawal Moral Anak

13 September 2022   21:59 Diperbarui: 13 September 2022   21:59 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

GURU DAN REALITAS MORAL ANAK

(Refleksi Atas Kasus yang Menimpa Guru dalam Mengawal Moral Anak)

 Oleh:

Masduki Duryat*)

 

"Waktu saya sekolah dulu, saya sering datang berterima kasih kepada guru, jika guru menghukum saya. Sekarang moral anak rontok". (Mahfud MD., Ketua MK periode 2008-2013)

  

Tahun 2019 pernah viral kasus siswa SD di Surabaya yang melawan gurunya karena dinasihati ketahuan merokok di luar sekolah, atau kasus siswa di Gresik yang memersekusi atau melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap gurunya ketika ditegur saat merokok di kelas. Kemudian di NTB seorang guru dikeroyok oleh orang tua dan dua anaknya karena melerai perkelahian serta beberapa kasus lain yang sungguh miris, jika kita tilik dari sisi moral.

Bahkan kisah yang menimpa ibu Nurmayani Salam, guru SMPN 1 Bantaeng sungguh tragis berbanding terbalik dengan tugas mulianya, medidik anak. Hanya karena mencubit---walaupun menurut pengakuan anak dipukul dan ditampar pipinya---harus berujung dipenjara. Secara kebetulan anak yang dicubit ini, anak dari seorang polisi.

 Guru dan Tugas Mulianya

Menganalisis UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru berkewajiban, paling tidak: a) Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; c) Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d) Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk kepentingan tersebut di atas dengan memperhatikan kajian Pullias dan Young (1988), Manan (1990), serta Yelon and Weinstein (1997) yang diadaptasi kembali oleh E. Mulyasa paling tidak dapat diidentifikasikan sedikitnya 19 peran guru yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaru (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan sebagai kulminator.

Dengan melihat perannya yang sedemikian mulia dan terhormat, maka posisi guru hendaknya benar-benar menjadi profesi yang berangkat dari hati, sehingga dalam melaksanakan tugas tidak hanya menggugurkan kewajiban tapi juga sebagai sebuah kehormatan, amanat Allah dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.

Di sisi lain juga harus ada upaya dari pemegang kebijakan---dalam hal ini pemerintah---supaya tetap 'memuliakan' guru dan ada keberpihakan, baik dari sisi peningkatan mutu dan profesionalismenya, maupun dari sisi finansial.

Sebagai seorang guru, rasulullah dalam sabdanya memberikan penghargaan:"Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut "orang besar" di segala penjuru langit." Dan, "Sebaik-baiknya pemberian dan hadiah ialah kata-kata berhikmat. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim, engkau ajari dia. Perbuatan yang demikian mempunyai ibadat setahun".

Kondisi Moralitas Anak; Memprihatinkan

Harus diakui bahwa banyak di antara peserta didik kita yang berprestasi, kompetitif dan komparatif. Ada yang juara olimpiade, baik di bidang akademik maupun non-akademik.

Tetapi di sisi lain juga ada yang memprihatinkan, kasus pembunuhan disertai kekerasan dengan berbau asmara dan hubungan seksual yang dilakukan oleh anak yang masih SMP di Tangerang, pemerkosaan disertai dengan pembunuhan sadis terhadap Yuyun, kasus di Surabaya serta kasus-kasus lain adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa ada something wrong dalam perkembangan moralitas---dan lebih luas---pada pendidikan anak.

Penelitian-penelitian terdahulu juga memberikan indikasi tentang kehawatiran perkembangan anak dari sisi moralitas. Tatkala sebagian besar anak dan remaja kita telah mengklaim sebagai remaja modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral belum lagi surut (akumulasi dari problematika yang dialami anak dan remaja). Penggambaran gaya hidup anak dan  remaja yang kontra moralitas kerap kita temui dan bahkan dipandang sebagai kewajaran pada sebuah masyarakat yang tengah mengalami 'kesakitan'.

Hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994 di beberapa SMP, SMA dan SMK di Jakarta dinyatakan bahwa 9,9% dari 558 siswa yang menjadi responden mengaku telah berhubungan seks dengan teman sebaya setelah menonton film porno.

Hasil penelitian Sulistya Eka, pelajar SMPP 10 Yogyakarta  menyebutkan bahwa dari 461 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31.6% melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6% meraba-raba organ tertentu milik pacarnya dan 12,7% mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya. Sementara itu Jawa Pos edisi 25 Mei 2003 mencatat sebuah polling dari 1.522 siswa SMA/SMK di Jakarta dan Surabaya bahwa rata-rata 10,4% pernah berhubungan seks di luar nikah dan 45% pernah wet kissing (ciuman basah).

Survey terhadap 190 siswa SMA/SMK di Bandung tentang alasan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 26% menyalurkan dorongan seks, 17% ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji kemampuan / keperawanan / perjaka, 5% mendapat imbalan, dan 3% mengatasi stress.

Survei Komnas Anak, (2007) terhadap 4500 anak dari 12 kota, 97% anak menonton film porno, 3,7% ciuman, petting dan oral seks, 62,7% remaja SMP/SMA tidak perjaka/perawan lagi dan 21,3% remaja SMP/SMA pernah melakukan aborsi.

Dari hal di atas, maka eksistensi pendidikan yang mengusung misi mulia memanusiakan manusia harus terus diinternalisasikan. Karena pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat, termasuk anak dan remaja beradab, yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama anak dan remaja. Pendidikan yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (not only as schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (as community networks). 

Guru dan Moralitas Anak

Dengan tugas dan misi yang diemban dunia Pendidikan melalui peran guru yang sedemikian mulia yakni  mengawal moral anak---yang dalam bahasa UNESCO membawa misi pembelajaran, learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together---memang sungguh sangat berat. Apalagi konstruksi moral yang dirancang di sekolah kadang tidak sebangun dengan kondisi di tengah-tengah masyarakat dan keluarga.

Sekarang ini ada semacam kepungan yang laten dan sangat berbahaya---lebih berbahaya daripada Narkoba---bagi kelangsungan moralitas anak yakni pornografi atau Narkotika lewat mata (Narkolema). Pornografi/narkolema ini mudah diakses kapanpun dan di manapun, "Kalau gempa bumi berpotensi tsunami, maka pornografi yang dilihat anak umumnya tanpa sengaja, lewat peralatan teknologi di tangannya berpontesi tsunami jiwa dengan kerusakan otak permanen".

Pada pecandu pornografi, Dr. Mark menjelaskan, otak akan merangsang produksi dopamin dan endorfin yaitu suatu bahan kimia otak yang membuat rasa senang dan merasa lebih baik. Dalam kondisi normal, zat-zat ini akan sangat bermanfaat untuk membuat orang sehat dan menjalankan hidup dengan lebih baik. Tapi dengan pornografi, otak akan mengalami hyper stimulating (rangsangan yang berlebihan), sehingga otak akan bekerja dengan sangat ekstrem dan kemudian mengecil dan rusak.

Candu pornografi membuat orang menjadi dissensitifisasi. Gambar porno yang sudah dilihat tidak akan dilihat ulang karena sudah tidak berpengaruh lagi, yang ingin dilihat lagi adalah gambar porno yang lebih dari gambar sebelumnya, karena rasa senstifnya hilang. Oleh karena itu para pencandu pornografi akan selalu meningkat candunya seperti menaiki tangga, ia ingin lebih, lebih dan lebih lagi.

Ketika anak melihat satu kali pornografi maka dia ingin dua, tiga, empat kali lagi. Ketika gambar pornografi sering melewati PFC, maka bagian yang menyimpan moral dan nilai, membuat perencanaan hidup, akan menciut dan mengecil yang mengakibatkan dorongan seks tidak terkendali.

Serbuan bahaya dari sisi moralitas bagi anak membawa konsekuensi terutama guru untuk menjadi garda terdepan 'mengawal' moralitas anak. Otoritas ini kadang 'diganggu' oleh pihak lain---termasuk orang tua---dengan atas nama HAM. Padahal reward and punishment yang dilakukan guru selalu saja bermuatan edukatif.

Tidak ada guru yang mendidik dengan rasa dendam dan sakit hati tetapi sebaliknya banyak di antara guru yang mendidik berangkat dari cinta---teaching with love, teaching with heart. Ketulusan ini kadang diinterpretasikan yang berbeda oleh orang tua, lalu ketika ada guru yang 'menghukum' anaknya, alih-alih guru dibela dan didukung, malah dipidanakan.

Komentar Prof. Mahfud MD. "Waktu saya sekolah dulu, saya sering datang berterima kasih kepada guru, jika guru menghukum saya. Sekarang moral anak rontok". Seperti yang disampaikan pada awal tulisan ini, Mahfud MD., juga sekaligus memberikan warning jangan sampai guru bersikap apatis, masa bodo, 'pujareng kono', dengan kondisi moralitas anak. Kita tidak ingin guru akan beralih lagi pada paradigma lama, bukan mendidik tetapi hanya mengajar---transfer of knowledge---jelas ini sebuah kemunduran.

Tentu di sisi lain guru juga harus melakukan muhasabah, sehingga akan selalu meningkatkan kompetensi profesionalnya, di samping kompetensi pribadi, sosial dan pedagogisnya.

Apa yang terjadi pada ibu Nurmayani Salam di Bantaeng misalnya, atau guru-guru lainnya menjadi sebuah pembelajaran dan mudah-mudahan terdapat hikmah yang positif juga bagi guru-guru yang lain, agar selalu melakukan instrospeksi dan bersikap sabar yang tak berbatas.


*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Indramayu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun