Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang diterima umat Islam dahulu, mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat 'keji'nya aksi kezaliman yang kerapkali dilakukan oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan balas dendam pilihan Nabi Muhamamd SAW.
Sebaliknya dengan dasar cinta, beliau memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya, penduduk Mekah disebut sebagai orang-orang yang dibebaskan. Efeknya, mereka pun berbaiat masuk Islam.
Patut disayangkan, ajaran persaudaraan dengan landasan saling mencinta seperti ini seperti hilang dari kesadaran umat Islam Indonesia belakangan ini. Sebagian umat Islam sedemikian mudah terpancing provokasi pihak lain, mudah tersinggung, dan kehilangan nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi ketegangan, perselisihan, dan klaim pembenaran atas interpretasinya, bahkan pembunuhan.
Polarisasi umat Islam terbagi ke dalam segregasi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak bisa menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam.
Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik) adalah bukti faktual dari rentannya persaudaraan atas dasar cinta internal umat Islam. Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi masalah yang ada masih jauh dari yang diharapkan. Kesan emosional subyektif masih sangat kuat di kalangan kita.
*)Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H