Abu Jahim bercerita, ketika perang Yarmuk, saya sedang mencari saudara sepupu yang berada di barisan terdepan. Sambil membawa air untuk membantunya, barangkali kehausan. Tatkala saya menjumpainya dia sudah terbaring berlumuran darah. Dia mengerang kesakitan, dan tipis harapan untu bisa hidup. Melihat keadaannya, saya bergegas untuk menghampirinya dan memberinya minum. Tetapi belum sampai saya memberinya, terdengar seseorang berteriak, "berikanlah saya air". Mendengar suara itu, sepupu saya meberi isyarat agar melayani orang itu terlebih dahulu dan memberikannya air minum. Maka saya menghampirinya, ternyata saya kenal betul, ia adalah Hasyim Ibn Abbas.
Sebelum saya memberikan air minum kepadanya, terdengar orang mengerang dan meminta minum. Hasyim mengisyaratkan agar memberikan air minum kepada orang yang mengerang di dekatnya. Di saat saya hendak menghampirinya, ia pun telah mati syahid. Â Lalu saya buru-buru menemui Hasyim, namun Hasyim pun telah mati syahid. Tanpa menunggu lama, saya buru-buru menemui saudara sepupu. Sungguh tidak tahan rasa hati saya, karena ternyata saya dapati dia juga telah mati syahid.
Apa artinya? Cinta telah membangun kebersamaan, cinta mengajarkan solidaritas tanpa batas. Cinta adalah sharing kata Jalaluddin Rakhmat. Cinta bernilai universal, demikian pula kerjasama atas nama kemanusiaan.
Rasulullah pernah bersabda; "Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat dhalim maupun yang didhalimi. Menolong orang yang berbuat dhalim adalah mencegahnya dari berbuat kedhaliman". (HR. Anas Ibn Malik). Â Menolong orang yang berbuat dhalim juga bentuk cinta. Kerjasama menebar kasih dalam situasi pandemi Covid-19 yang melahirkan tujuan bersama (comman goal) untuk melawannya, tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di tanah air dan di seluruh dunia juga bentuk cinta.
Rasulullah; Cintanya Tak Berbatas
Nilai-nilai bermuatan keluhuran yang diperlihatkan oleh para sahabat nabi adalah buah dari warisan teladan Rasulullah. Teladan indah itu berkesan sangat dalam bagi pengikut dan bahkan orang-orang yang pernah memusuhinya. Tidak ada satupun yang menisbatkan sifat buruk kepada beliau, kecuali atas dasar kebohongan dan dilatarbelakangi rasa benci dan sikap arogansi.
Beliau selalu menebar senyuman, menjenguk sahabat atau tetangganya yang sakit, peduli terhadap orang lain. Cinta kasihnya kepada ummatnya jauh melampaui kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Peristiwa yang sangat fenomenal, di saat beliau mendakwahkan Islam ke kota Thaif. Harapan mendapatkan sambutan hangat, sebaliknya mendapatkan penolakan dan caci maki dari penduduk Thaif. Beliau dilempari batu sepanjang jalan, darah mengucur deras dari tangan dan kakinya. Tapi tidak sedikitpun beliau memperlihatkan rasa marah dan kesal. Sebaliknya dari mulutnya keluar kata-kata mulia saat didatangi Malaikat Jibril dan Malaikat penjaga gunung yang siap untuk menimpakan gunung ke penduduk Thaif sebagai azab atas perlakuan mereka.
Malaikat yang bersama Jibril setelah mengucapkan salam berkata kepada Nabi, "Wahai Muhammad, jika engkau mau, aku bisa menimpakan akhsyabain (dua gunung besar di mekkah, yakni gunung Abu Qubais dan gunung al-Ahmar) kepada mereka".
Rasulullah menjawab, "(tidak) justru aku berharap supaya Allah Azza Wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka, orang yang beribadah kepada Allah semata. Tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua".
Bahkan pada catatan Yunan Nasution, setelah terhindar dari bahaya dan sampai di tempat yang aman di luar kota Thaif. Saat itulah Nabi yang mulia berdoa dengan diliputi jeritan hati yang  mengharukan---tanpa kebencian---tapi penuh harapan: