Oleh:
Masduki Duryat*)
"Engkau adalah manusia yang baik, jika orang lain merasa bahagia saat kau berada di samping mereka".
Dalam buku Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib menulis, tidak seorang manusiapun tidak pernah benar-benar kehilangan cinta. Maka jika ada pembunuhan, sesungguhnya sangat sulit dipahami.
Kecuali jika kita sudah betul-betul menjadi ter-jahat, ter-bandit, ter-penghianat, bahkan ter-binatang dan ter-setan. Kita yang menikamkan pedang pada dada saudara kita mencatat suatu tingkat kebinatangan yang lebih tinggi dari sang mayat.
Membunuh karakter, menjatuhkan harga diri saudaranya, dan bahkan menyingkirkannya hanya untuk sebuah syahwat kekuasaan. Atau untuk mengamankan kekuasaan, menertibkan keadaan, memelihara ketegangan antargolongan, mengadu domba, menstabilkan penindasan---mengatasnamakan rakyat---atau membunuh saudaranya karena tidak dianggap saudara dan dipojokkan oleh kekuasaan dan permusuhan. Menganggap paling benar interpretasinya, memutlakkan pandangannya dan menyalahkan yang tidak sepaham. Seringkali difragmentasikan di tengah-tengah masyarakat kita.
Â
Abu Jahim; Sebuah Cermin