Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Tagar #GerakanMembunuhJogja (1)

19 Maret 2016   15:43 Diperbarui: 19 Maret 2016   16:47 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi perusakan lingkungan dan cagar budaya dilegalkan di Jogja. Persetan RTRW, persetan ruang terbuka hijau. Enyahlah kota ramah anak. Kita butuh uang bukan filosofi dan naskah akademik. Orang Baik hanya diam, orang pintar sibuk festival dan parade, anak-anak muda asik dengan hobi travelling dan kuliner atau ber-socmed alay-alayan. Ya, kota Jogja mati di tangan setan pemodal dan pengembang modernitas. Saatnya uang mengatur segalanya. Jogja ITU masa lalu, sekarang dan masa depan adalah 'kota baru'. Innalillahi Jogjakarta telah sekarat. Semoga husnul khotimah. Amien,"

 

Status facebook di atas merupakan benar postingan saya sendiri di laman facebook pribadi saya (27 Desember 2015). Awalnya saya tak mengira ini menjadi penting dibicarakan atau dishare di8 banyak socmed seperti twitter, instagram, part, dll. Termonitor di laman facebook saya sampai sekarang ada lebih dari 2ooo dibagi. Jadi, apakah ini membantu atau dapat mengedukasi publik pengguna social media khususnya? Tak yakin juga apalah daya ubahnya gerakan berbasis facebook ini. Salah satu keuntungannya adalah saya punya lebih banyak pertemanan, punya banyak bahan bicara karena mahasiswa saya menanyakan hal ini, atau pegiat Rumah Baca Komunitas menganggap gerakan ini ada manfaatnya.

Tak banyak, tapi bisa juga ada manfaat. Kedua, paling gak ada signal baik bahwa kita sesekali perlu berfikir di luar kotak, atau berfikir tanpa kota. Misalnya kata-kata #save...#pray...terlalu banyak sampai tak ada makna menendang kesadaran. Awalnya, kata membunuh jogja juga peyoratif yang aneh dan ngasal. Tapi, satire ini ternyata juga dimengerti publik apalagi sindirian kuat itu terkihat dari kalimat di atas. Bagaimana kita mempersilakan orang cuek melihat kebrutalan pembangunan atas nama rakyat, atas nama pertumbuhan ekonomi. Tulisan ini menyodok juga manusia tak bersalah yang saya sampai sekarang menyesal yaitu penggunaan generasi 'alay' sebagai bagian dari para makluk tuhan yang membiarkan kerusakan terjadi sehari-hari seperti bussiness as usual. 

Ada beberapa tanggapan yang mendukung gerakan satir ala pegiat RBK ini. Ada yang komentar singkat keras, pedas, bernas. Ada yang bijak, ada juga yang sangat memotivasi. Muhammad Fathi memberikan komentar di laman FB nya setelah share status saya (termonitor December 26, 2015). Ia menuliskan pesan untuk pembaca: 

"Pemuda dan masyarakat Jogja, ketahuilah dan sadarilah:

1. Pemda bingung mau ngabisin danais yg besar itu, sehingga sebagian proyek terkesan sekedar menghabiskan danais saja. Selebihnya sama sekali tidak menarik.
2. Grafik investasi di Jogja sedang segar dan subur2nya, sampai-sampai pejabat pemerintah, beserta pemerintah lingkup kecil RTRW saling tolong menolong dalam 'menempatkan' investasi yang kelak akan memberikan kehancuran untuk Jogja.
3. Sekarang boleh berbangga, Jogja punya hotel-hotel baru, mall teresar, waterpark terbesar, dan yang ter- ter- semuanya. Tapi rasakan 5-10 tahun lagi. Ketika air tanah menyusut, ruang untuk sawah berkurang, mau bangun taman nggak ada tempatnya. Bisa apa?
4. Serbuan ratusan ribu mahasiswa baru tiap tahunnya, satu sisi berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi lokal. Tetapi sisi lain, jumlah kendaraan bermotor membengkak. Tipe jalan di Jogja yang kecil-sedang tak muat lagi menampung jumlah kendaraan. Akhirnya, mini Jakarta akan terjadi disini.
5. Pemuda Jogja, seperti di tempat lain, hobinya traveling, instagraman, kulineran, cafe-an, tanpa sadar Jogja sekarang sudah SAKIT. Se-sakit kewarasan kita. cry emoticon
6. Allah, Jogja hari ini tak seramah dulu, tak senyaman dulu, tak seindah dulu.
7. Jika teman-teman sedang menuntut ilmu, nanti pulanglah, bangun Jogja kita. Jika teman-teman sedang mencari rupiah, nanti pulanglah, ikut bangun kampung kita. Semoga kita semua, dengan apa yang kita bisa, dapat mewujudkan Jogja Kembali.

‪#‎JogjaSalahUrus‬ ‪#‎BukanJogjaLagi‬ ‪#‎JogjaSAKIT‬

Itu sangat serius bukan respon personalnya. Tanggapan bijak akun lain: "Dibalik kemajuan , pasti ada sebuah kemunduran. Tinggal kita memilih bagaimana baiknya. Saya senang dengan kemajuan kota jogja dan pariwisatanya. Tinggal Masyarakat memanfaat kemajuan itu, dan Pemerintah juga mengatur sebaik baiknya, agar tidak terjadi bentrok antara Kemajuan pemerintah dan Kebaikan untuk Masyarat kota jogja." Ada yang komentar lainnya; "Jogja oh Jogja... Kembalilah seperti dahulu kala ketika tidak banyak bangunan2 mencakar langit...", Ada pemakluman sambil kecewa, "karena memang seperti ini gambaran jogja mulai 5 tahun yang lalu, dan terus hingga saat ini.." Seorang pemilik akun yang merupakan mahasiswa UGM (dari DP) menuliskan, "Sedih rasanya kalo mengingat jogja sekarang. Kota dihadirkan bukan untuk manusia lagi -,-"ada yang komplain, "Bagi saya ketua RW sedikit tersinggung sumpah. Enggak semua RT RW begitu mas/mbak. Udah kita mengabdi pada masyarakat, bermodalkan dengan dengan keihklasan dan tanggung jawab yg besar. Lalu kami langsung di salahkan?" (dikira RT RW itu kepanjangan dari Rukun Tetangga dan Rukun Warga, padahal di maksudkan untuk kependekan rencana tata ruang wilayah).

Ada lagi komentar asik meminta konfirmasi warga jogja, dengan mangatakan, "Ketika Kejogja an di jadimodern? Jgn kyknya dan jangan terlalu bnyk. Ak suka jogja krn adem dan keTuan "klasik", krn itu yg bikin ak berpikir "besok kejogja lg". Ak suka suasana jogja yg keJawen. Kalo menurut org asli Jogja gmana? Lebih suka yg keJawen apa kemodern?". senada dengannya, "Budaya, bukan hanya retorika berupa hal-hal fisik seperti tari-tarian, rumah adat dan sejanisnya bukan ?lebih dari it, khususnya untuk orang jawa (andap asor, sopan santun, ramah tamah, tolong menolong, dll) juga budaya. Apa dana keistimewaan juga digunakan untuk menjaga budaya yg bersifat karakter manusia itu ?atau budaya itu sudah mulai luntur ? Jawaben dewe..". Pedas lagi, "Udah ndak Istimewa. Udah sama kayak kota2 lain dengan mall, hotel dan gedung2 bertingkat nya". Nada kemarahan bercampur prihatin, "akankah kota yang mengajarkan lukisan kesederhanaan ini bakal menebar kemewahan melalui lukisan2 para kapitalis? ..."; "Setiap balik ke Jogja, memang terasa sudah tak senyaman dulu."; Iya juga kalo di pikir" dan dirasakan memang sepertinya sudah tidak sama seperti dulu. Ini ada yang ngajak kerja penyelamatan, "Jogja bukan hanya bangunantp juga orang orang berbudaya yg ada didalamnya. MARI KITA SELAMATKAN JOGJA."

Masih ada ribuan lagi komentarnya manusia yang tinggal di Jogja maupun yang pernah di tanah air Jogja. banyak yang mencintai jogja, sedikit yang mengutuk karena marah Jogja dijarah kapitalis serakah. Saya tertarik mengutip komentar Luthi alfikri sedikit panjang menanggapi gerakan membunuh jogja. Ia menuliskan di status FB nya(5 Jan 2015):

‪#‎GerakanMembunuhJogja‬
‪#‎JogjaOraDidol‬

Dua gerakan di atas adalah sebuah reaksi dari aksi berbagai kebijakan yang ditempuh oleh kota Jogja. Saya bukan orang yang lahir di Jogja, tetapi keringatku, darahku, serta kakiku telah 21 tahun menginjak bumi Jogja. Maka tak ada lagi alasan saya untuk tidak ikut berpikir mengenai kampung "kecil" halamanku ini.

Saya khawatir terlalu subjektif terhadap permasalahan ini. Sudah banyak kupasan para ahli baik dari kubu pro maupun kontra pembangunan "acak kadut" kota Jogja. Maka saya tidak akan mengomentari hal ini. SIlahkan baca literatur yang sudah banyak beredar.

Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan sederhana

-Dimana tempat warga Jogja pantas untuk mengadu?-

Mungkin kami tidak memiliki data mengenai signifikansi efek permasalahan acak kadut kota Jogja, tapi apalah dengan itu semua

Mata kami, badan kami, telinga kami, hati kami lah yang meronta, memaksa kami untuk berteriak, "Ada yang tidak beres dengan kota ini"

Kota yang dianugerahi oleh Alloh banyak hal, bukan hanya alamnya, bukan hanya lokasinya, tapi tiap-tiap orang yang terkena angin Jogja akan "disapa" oleh "hati"nya orang Jogja. Sederhana, kreatif, pandai menjaga hati, dan juga hegemoni nya dengan alam.

Saat ini bangunan-bangunan congkak berdiri, menutup ruang-ruang kreasi, mendatangkan mereka yang "miskin" hati, dan juga merobek-robek perjanjian dengan alam di sana sini. Maka, dimanakah kami pantas untuk mengadu?

Apakah gerakan ini terus menerus harus menjadi gerakannya akar rumput saja? Maka setelah bergerak dalam bayang-bayang, adakah yang berkenan menanggapi serius hal ini sampai ke meja-meja mereka yang membuat kebijakan?

Atau saya harus percaya sebuah dongeng, bahwa di negeri ini, di negeri dongeng ini, mereka (si pembuat kebijakan) adalah monster-monster yang kita bayar sebagai upeti agar kita tidak dimakan?

Luthfi Alfikri K
Di sebelah perpustakaan baru yang megah
5 Januari 2016

Saya juga setuju pada komentar ini walau sedikit penuh amarah tapi intinya mengajak kita nyengkuyung njejegke ngayogyokarto hadiningrat: "

Pembangunan adalah perubahan terencana. Setiap perubahan pasti ada 'korban'...... apalagi jika tidak direncanakan secara visioner bijaksana pasti nggasruknya lebih banyak.... pasti banyak kesalahan..... pasti banyak korban baik untuk saat ini maupun masa depan. Tujuan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil & beradab, yang namanya sejahtera itu lahir-batin bukan hanya lahiriah dengan indikator-indikator kemajuan ekonomi seperti yang disyaratkan oleh lembaga keuangan internasional. Sejahtera itu ukurannya adalah kesejahteraan batin-lahir sesuai dengan lingkungan tempatnya berada bukan ukuran dari orang lain atau negara lain. Monggo dipenggalih sesarengan lajeng tumandang nyoto mboten namung opini kalih nggambleh wonten sosmed kemawon. 

 

Tak ada yang tak ingin Yogyakarta memburuk kecuali tindakan membabi buta dari kepitalisme berwajah teduh dan sok penolong dengan menggusur sektor ekonomi kerakyatan dan degradasi lingkungan hidup. Hampir semua kita merasakannya, ada badai perubahan yang sangat mencolok sebagaimana salah satu komentar akun, "...setelah mendarat di Jogja sekitar tahun 2004 ,Dan menjadi 'warga' Jogja semenjak 2006 sampai saat ini. Saya yang tinggal di Yogyakarta sejak 2002 juga merasakan ada gempuran keras arus perubahan yang tak sepenuhnya kita kehendaki. Perubahan struktur ekonomi yang timpang, yang tak semua orang jogja menghendaki. Tapi bisa juga, bisa jadi. Perubahan buruk itu dimaklumi lebih banyak orang. [caption caption="poster "Membunuh Jogja" karya @TuturPena (atas izin)"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun