‪#‎GerakanMembunuhJogja‬
‪#‎JogjaOraDidol‬
Dua gerakan di atas adalah sebuah reaksi dari aksi berbagai kebijakan yang ditempuh oleh kota Jogja. Saya bukan orang yang lahir di Jogja, tetapi keringatku, darahku, serta kakiku telah 21 tahun menginjak bumi Jogja. Maka tak ada lagi alasan saya untuk tidak ikut berpikir mengenai kampung "kecil" halamanku ini.
Saya khawatir terlalu subjektif terhadap permasalahan ini. Sudah banyak kupasan para ahli baik dari kubu pro maupun kontra pembangunan "acak kadut" kota Jogja. Maka saya tidak akan mengomentari hal ini. SIlahkan baca literatur yang sudah banyak beredar.
Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan sederhana
-Dimana tempat warga Jogja pantas untuk mengadu?-
Mungkin kami tidak memiliki data mengenai signifikansi efek permasalahan acak kadut kota Jogja, tapi apalah dengan itu semua
Mata kami, badan kami, telinga kami, hati kami lah yang meronta, memaksa kami untuk berteriak, "Ada yang tidak beres dengan kota ini"
Kota yang dianugerahi oleh Alloh banyak hal, bukan hanya alamnya, bukan hanya lokasinya, tapi tiap-tiap orang yang terkena angin Jogja akan "disapa" oleh "hati"nya orang Jogja. Sederhana, kreatif, pandai menjaga hati, dan juga hegemoni nya dengan alam.
Saat ini bangunan-bangunan congkak berdiri, menutup ruang-ruang kreasi, mendatangkan mereka yang "miskin" hati, dan juga merobek-robek perjanjian dengan alam di sana sini. Maka, dimanakah kami pantas untuk mengadu?
Apakah gerakan ini terus menerus harus menjadi gerakannya akar rumput saja? Maka setelah bergerak dalam bayang-bayang, adakah yang berkenan menanggapi serius hal ini sampai ke meja-meja mereka yang membuat kebijakan?
Atau saya harus percaya sebuah dongeng, bahwa di negeri ini, di negeri dongeng ini, mereka (si pembuat kebijakan) adalah monster-monster yang kita bayar sebagai upeti agar kita tidak dimakan?