Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Puasa dan Rumah Makan

14 Juni 2015   17:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 4615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Tahun 2007 yang lalu, saya menghabiskan waktu puasa Ramadlan dalam sebuah perjalanan panjang: Bengkalis-Pekanbaru-Jakarta-Kuala Lumpur-Dubai-Cairo- PP. Sebagai muslim, saya tetap berpuasa dalam perjalanan, walaupun agama memberikan dispensasi untuk meninggalkannya, dan menggantinya di bulan lain, atau membayar fidyah bila sampai Ramadlan berikutnya belum diganti.

Pilihan tetap berpuasa, bersifat pribadi. Karena bagi saya, mengganti puasa di bulan lain -yang orang lain tidak berpuasa, tentunya sangat berat. Begitu pun memberi makan orang miskin, jika belum menggantinya, sementara bulan Ramadlan sudah datang lagi, juga tidak mudah. Ya, sangat berat untuk memberi makan orang miskin bagi saya yang juga miskin.

Lama waktu tinggal di ketiga kota -Jakarta, Kuala lumpur dan Cairo, relatif lama: satu minggu penuh. Sedangkan kota yang lain, seperti Dubai hanya satu hari.

Sarana transportasi yang saya gunakan juga sama: taxi. Begitu pun tempat menginap sama: di pemondokan mahasiswa. Kecuali Kuala Lumpur dan Dubai, di hotel.

Ketika di Jakarta saya tinggal di tempat kost Dr. anshar yang ketika itu sedang menyelesaikan S3 di UIN Ciputat. Sedangkan saat di Cairo saya tinggal di asrama mahasiswa Jawa Timur, karena waktu itu hanya Jatim yang memiliki asrama. Tetapi saya tetap menyempatkan diri bermalam di pemondokan mahasiswa Bengkalis yang terpencar di banyak tempat. Berbeda dengan mahasiswa Malaysia yang diberi fasilitas oleh negara dengan satu flat utuh, untuk semua mahasiswa yang belajar di Cairo.

Pengalaman saya pribadi pada bulan Ramadlan di tiga ibu kota negara muslim -Jakarta, Kuala lumpur dan Cairo- tersebut ternyata berbeda, antara satu dengan yang lain. Tetapi ini hanya pengalaman pribadi di perjalanan, tentunya hal yang saya temui hanya satu kebetulan dan sudah biasa.

Kota Jakarta dan Cairo ketika itu kondisinya relatif sama: semrawut. Tetapi lebih semrawut mesir. Bayangkan! Taksi, kendaraan pribadi, atau kendaraan umum di sana boleh berhenti sembarangan. Sopir dengan sopir lainnya tidak dilarang untuk berhenti sebentar di tengah jalan dan saling berbual, cukup dengan membuka jendela masing-masing. Ukuran waktu kebolehan sangat tergantung kepada pengguna yang lain, khususnya yang berada di belakang, yaitu ketika berbunyi klakson. Anehkan? Berbeda dengan Jakarta, yang tidak pernah terjadi keadaan seperti itu, walaupun kondisi tetap juga semerawut.

Kuala Lumpur memiliki tata ruang kota dan ketaatan para pengendara lebih baik. Di sana peraturan ditegakkan dengan penuh disiplin. Mengadakan perjalanan di kota Kuala Lumpur dengan kendaraan pribadi, taksi, atau angkutan umum lainnya sangat nyaman dan bebas hambatan. Tidak ada sedikit pun perasaan khawatir tertinggal karena macet di perjalanan. Juga tidak takut akan terjadi sesuatu yang tidak diingini. Pokoknya lalu lintas di Kuala Lumpur relatif tertib dan lancar. Berbeda dengan Cairo dan Jakarta.

Adapun kondisi transportasi di Kota Dubai, ibarat bumi dengan langit, jika dibandingkan dengan Jakarta atau Cairo. Jalan di Kota Dubai seperti "dilukis". Demikianlah menurut sahabat yang bersamaku kala itu. Jalan-jalan yang sangat lebar, lurus, dan berlapis. Klakson kendaraan tidak pernah terdengar. Dan kendaraan yang lalu lalang adalah kendaraan mewah dan berlari sangat kencang. Sepertinya tidak ada transportasi umum di sana, selain taksi.

Dari kota-kota di negeri muslim yang saya lewati di bulan puasa, sedikit banyak ada perilaku berbeda pada warga yang berkerumun di pasar dan juga supir taxi yang saya temui.

Warga yang berkerumun di pasar Jakarta, Kuala Lumpur, Cairo dan Dubai relatif sama. Mereka menghormati bulan puasa. Mereka tidak ada yang makan, minum dan merokok di tempat terbuka. Namun di pojok-pojok pasar ada warung yang menjual makanan dan minuman. Tingkat keramaian pengunjung warung di tempat-tempat yang saya kunjungi di negara yang berbeda, relatif sama. Kita tidak tahu persis apa yang dilakukan di dalam warung tertutup itu. Tetapi tidak susah menduga.

Yang agak terbuka dan tanpa rasa malu adalah warga Cairo. Beberapa orang terlihat makan, minum, dan menghisap sisa tanpa peduli dengan orang lewat, meskipun di tempat yang khusus. Bahkan penjual buku loak yang saya kunjungi juga menghisap sisa dengan tanpa beban. Kondisi seperti di Cairo tidak saya temui di Jakarta, Kuala Lumpur, dan Dubai.

Sedangkan supir taxi sedikit berbeda. Sopir taxi di Jakarta tidak ditemui ada yang minum dan merokok di siang hari. Saya tidak menanyakan dia puasa atau tidak. Karena itu urusan privat, kewajiban manusia kepada Tuhan. Dan saya juga tidak berkepentingan menanyakan itu.

Adapun di Kuala Lumpur, Dubai dan Cairo, lebih lima puluh persen supir taxi yang saya tumpangi merokok. Dengan sangat santun mereka meminta izin. Alasannya mengantuk kalau tidak merokok. Saya juga mempersilahkan dan tidak mempermasalahkan perilakunya, walaupun saya sedang berpuasa.

Begitulah cara menjalani bulan puasa bagi orang biasa. Ada yang melaksanakan, ada yang tidak.

Ibadah yang sangat rahasia ini sepenuhnya bersifat pribadi dan rahasia. Hanya diri sendiri dan Tuhanlah yang mengetahuinya. Siapa pun tidak mungkin bisa membuat aturan yang mewajibkan, karena tidak mungkin seseorang diawasi secara terus-menerus selama berpuasa. Jangankan oleh aparat pemerintah, sedangkan di rumah saja tidak akan bisa.

Lebih tepatnya, masalah seseorang itu berpuasa atau tidak, tergantung niat diri sendiri. Godaan dari luar tidak sedikit pun mengganggu orang yang berpuasa, karena kapan pun kalau ingin membatalkan puasa pasti bisa. Makan, minum, serta merokok tanpa diketahui orang sangat mudah dilakukan. Tetapi hal seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki tekad dan niat.

Begitu pun orang-orang yang tidak berpuasa. Persoalannya hanya karena tidak ada niat dan tidak juga memiliki tekad. Bahkan bukan karena lapar dan dahaga, maka ia makan dan minum. Orang-orang yang tidak berpuasa karena memang tidak berniat puasa, bukan karena ada godaan. Orang dewasa atau anak kecil sama saja.

Dengan demikian, tidak ada korelasi yang signifikan antara membuka warung makan dengan orang yang berpuasa. Orang berpuasa tidak membutuhkan penghormatan. Begitu juga orang yang tidak berpuasa. Keduanya berada pada koridor keimanan yang berbeda. Karena puasa atau tidak adalah soal iman di dada. Biarlah diri sendiri menentukan pilihan: nafsu atau Tuhan. Yang mengikut nafsu, pasti tidak melakukan puasa. Sebaliknya yang beriman kepada Tuhan, pasti melakukannya.

Pemilik rumah makan atau pekerjanya, juga tidak berkaitan dengan orang yang berpuasa atau tidak. Karena bukan karena mereka menjual makanan, maka orang itu membatalkan puasanya. Bukan. Orang yang tidak berpuasa akan mencari makanan untuk dimakan. Seandainya tidak ada penjual makanan, mereka tetap juga tidak puasa. Dan berapa banyaknya makanan lain yang ada di luar rumah makan.

Apa gunanya kita bertelagah soal rumah makan, setiap kali datang Ramadlan? Dibuka atau ditutup? Hanya menghabiskan energi sia-sia membahas soal itu. Di Malaysia saja yang jelas-jelas ada sanksi dari kerajaan bagi muslim yang tidak berpuasa, toh sopir taxi tetap juga minum dan merokok. Sebaliknya di Indonesia, sopir taxi lebih sopan. Meskipun kita tidak pernah tahu, mereka berpuasa atau tidak. Karena itu urusan yang sepenuhnya pribadi. Begitu pun Mesir, tempat banyak orang alim dan bumi para nabi, toh warganya masih juga terang-terangan tidak berpuasa.

Banyak masalah besar lain yang bisa sama dipikirkan apabila energi tidak dihabiskan untuk bertelagah soal agama yang bersifat pribadi dan tidak pernah ada solusi. Masih banyak saudara sebangsa dan seagama di negeri ini yang tidak bisa membaca dan menulis. Masih banyak yang setengah kelaparan dan makan asalkan bisa hidup. Merekalah warga negara yang setiap hari sudah berpuasa. Sehingga sakit tidak lagi dirasakan. Merekalah yang masih dalam kondisi jahiliyah. Sehingga kebodohan menjadi kebanggaan untuk mendapat bantuan.

Semoga, Ramadlan ini memberi kita pencerahan untuk menjadi muslim yang sesungguhnya. Islam yang bergerak menyelamatkan saudara kita dari kemiskinan dan kebodohan. Dan alangkah berdosanya kita, jika menjadikan agama yang mulia ini hanya sebatas alat untuk bertengkar, bukan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan kekurangan.

Ya Allah. Ampunilah kami dari kesalahan menggunakan ilmu yang sedikit ini, dan tunjukkanlah kami dari kelalaian mempedulikan mereka yang dalam kebodohan dan kemiskinan. Semoga Ramadlan ini menjadi bulan keberkahan dalam bentuk pengabdian kepada mereka yang serba kekurangan. Amin.

Allah A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun