Pindah atau konversi agama adalah kejadian biasa. Namun, mereka yang mementingkan simbol agama untuk kepentingan di luar agama tidak menyukainya. Dan, menganggap sebagai murtad, atau apostasy. Yakni pembelotan atau pemberontakan terhadap agama yang dianut. Bisa juga berarti sengaja keluar, atau memberontak kebenaran agama lama.
Dikatakan biasa, karena sudah terjadi sejak lama, sejak zaman para nabi, sampailah hari ini, dan tidak pernah akan berakhir. Baik yang pindah agama secara kolektif, maupun individual.
Nenek moyang kita juga melakukan. Dan, karena konversi agama, hari ini Indonesia menjadi negeri muslim terbesar di dunia. Padahal sebelumnya bangsa kita beragama hindu, budha dan agama primitip: animisme dan dinamisme.
Kemurtadan nenek moyang kita dari agama lama, belum lama terjadinya. Menurut Denneys Lombard, peneliti perancis yang menulis buku "Nusa Jawa: Silang Budaya", penduduk Nusantara melakukan konversi agama ke islam secara besar-besaran berlangsung karena bangsa Barat menjajah kerajaan islam Nusantara, pada awal abad ke-16 M.
Ketika itu, masyarakat dihadapkan kepada dua pilihan: membiarkan Barat menjajah atau membantu kerajaan islam yang sedang dijajah. Kedekatan secara fisik dengan kerajaan islam, telah mendorong masyarakat Nusantara memberi bantuan kepada kerajaan islam yang dijajah Barat. Pemberian bantuan itu, bermakna untuk bersama-sama dengan pemimpin muslim dan mengikuti ajaran islam.
Pada abad ke-16 M inilah tercatat dalam sejarah bahwa, telah terjadi percepatan pindah agama dalam jumlah besar. Tidak seperti sebelumnya, islam hanya minoritas, yang dianut oleh kelompok kecil masyarakat. Setelah penjajah Barat datang, islam menjadi mayoritas.
Dennys Lombart tidak menafikan bahwa, secara nyata islam sudah ada semenjak awal abad pertama hijarah, atau abad ke-7 masehi. Karena ada bukti fisik, antaranya batu nisan makam Maimun di gresik, yang dijadikan bukti arkeologis masuknya islam. Penulis sejarah, seperti Buya Hamka dan A. Hasymi, berkesimpulan sama. Islam sudah ada di nusantara sejak abad pertama hijrah.
Pada abad ke-13 M, Marcopolo juga mencatat, ada perkampungan muslim atau kerajaan islam kecil di daerah Perlak, Aceh. Tetapi di daerah pesisir lain yang disinggahi, kebanyakan masih beragama primitip: menyembah pohon kayu dan arwah leluhur. Di samping tentunya ada banyak yang mengkuti ajaran hindu dan budha.
Jejak hindu, budha, animisme dan dinamisme di Indonesia cukup banyak dan masih ada di mana-mana, merata di seluruh nusantara. Bahkan candi, tempat ibadah agama hindu dan budha menjadi simbol kebanggaan bangsa, sampai hari ini. Ada candi Muara Takus, Prambanan, dan yang paling terkenal Borobudur.
Teori Dennys Lombart tentang percepatan islamisasi di nusantara karena masuknya penjajahan Barat, adalah bukti bahwa, bangsa kita murtad dari agama lama ke agama islam karena hal lain di luar agama. Nenek moyang kita menjadi muslim, tidak melalui proses pencarian iman. Mereka pindah agama, bukan karena agama. Melainkan karena penjajahan.
Sampailah kita hari ini, menjadi muslim tanpa melalui proses pencarian iman. Kita menjadi muslim, karena keturunan. Karena terlahir di keluarga muslim, dan bergaul dengan orang-orang islam, maka secara otomatis menjadi muslim.
Bangsa muslim lain juga sama. Bangsa Arab umpamanya. Sejarah yang kita baca, menunjukkan proses islamisasi di sana juga sama. Di Yastrib atau Madinah, sebelum kedatangan nabi ke sana, sesama mereka saling bertikai. Pertikaian terjadi antar suku, dan antar kabilah dalam satu suku. Seperti permusuhan antara bani Aus dan Khazraj, keduanya satu suku dari bangsa Yahudi, di Madinah.
Untuk menyelamatkan diri dan negeri mereka, dan agar tidak terus bertikai, maka diundanglah Muhammad saw. untuk datang ke sana. Mereka megharapkan, nabi Muhammad saw. dapat menyelamatkan mereka dari pertikaian sesama sendiri. Juga agar perang saudara antar mereka dapat diakhiri.
Benar. Mereka berhasil. Kedatangan Muhammad saw. di Yastrib dapat meredakan ketegangan. Lebih dari itu, Nabi telah menyatukan kembali perpecahan sesama mereka. Keberhasilan Nabi mempersatukan mereka, menjadi faktor utama, terjadinya konversi agama di Madinah. Mereka bersama-sama mengkuti dan mempercayai Muhammad saw., baik sebagai pemimpin, maupun Nabi yang membawa ajaran agama baru, islam.
Mekah jauh lebih parah. Para pemimpin suku tempat lahir Nabi saw., pernah akan membunuh pembawa agama baru, yakni Nabi saw. Kemudian mengusir nabi Muhammad saw. dari tanah kelahiran, Mekah. Tetapi usaha mereka untuk menyingkirkan Nabi, hanya berhasil sementara.
Tidak lama setelah terusir ke Yastrib, nabi berhasil menyusun kekuatan dengan mengumpulkan semua suku dan kabilah yang ada di Madinah. Pengikut Nabi menjadi lebih banyak, dibandingkan saat di Mekah. Meskipun lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang Mekah yang memusuhinya.
Meskipun kalah dari segi jumlah dengan Mekah, namun, nabi Muhammad saw. memiliki taktik dan strategi perang lebih baik. Pengikutnya dari Yastrib (Anshar), juga yang mengikuti sejak dari Mekah (Muhajirin), sangat solid, berani dan cerdik dalam berperang. Dengan izin Allah, pasukan Quraisy yang menguasai Mekah dapat dikalahkan oleh Nabi pada saat Fathu Makkah (penaklukan Mekah).
Kemenangan Nabi di Mekah, berarti menjadi penguasa penuh di sana. Tidak ada lagi tempat bagi orang Mekah untuk bertahan, atau bersembunyi. Mekah sudah dikuasai islam.
Begitu juga negeri terdekat Mekah, Yastrib, juga sudah dikuasai islam. Maka satu-satunya jalan menyelamatkan diri dan untuk menjaga aset yang dimiliki, adalah bergabung dan mengakui Muhammad sebagai nabi dan pemimpin, dengan menjadi muslim.
Artinya, penduduk Madinah dan Mekah, menjadi pemeluk islam, bukan karena sebuah upaya yang bersifat agama. Bukan pencarian kebenaran iman dari dalam hati dan jiwanya. Mereka menjadi muslim karena, ingin menyelamatkan diri dan aset mereka. Dengan mengikuti Muhammad, maka selamatlah diri dan semua yang dimiliki.
Kebanyakan manusia sama, mengikuti suatu agama, karena sesuatu yang di luar agama. Dan, hanya sedikit sekali, yang memeluk agama karena upaya pencarian yang bersifat agama. Yang disebabkan jiwa dan hati yang terdorong untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, serta ketentraman yang sejati.
Penyelamatan diri sendiri itulah, yang menjadi latarbelakang paling banyak seseorang pindah atau konversi agama. Seperti yang terjadi sejak zaman nabi-nabi. Sampailah ke hari ini.
Ya. Peristiwa konversi dalam agama tidak pernah berakhir. Ia akan selalu ada dan tidak bisa dihindari, meskipun sebabnya berbeda-beda, tetapi selalunya yang menjadi sebab adalah hal-hal di luar agama itu sendiri.
Tidak tertutup kemungkinan, di antara kita ada yang akan, mungkin juga telah, melakukan konversi agama. Itu biasa dan sangat manusiawi, apapun alasannya. Tidak siapapun dapat menghalangi dan menyalahkan orang untuk melakukannya.
Meskipun, karena keangkuhan iman, para pendakwah agama, selalu menafikan, menghalangi, dan menganggap konversi agama sebagai kejahatan. Bahkan, ada pihak yang menghalalkan darah tertumpah karenanya, dengan hukuman mati bagi yang murtad, namun konversi agama tetap terjadi terus, dan terus. Siapapun tidak dapat mengendalikan, apalagi mencegahnya.
=============
Agama dalam arti iman, memang tidak mudah dipahami, meskipun semua orang merasakan dan sebagian besar membutuhkan.
Iman adalah bagian agama yang tidak kasat mata. Berbeda dengan islam. Islam adalah bagian agama yang kasat mata.
Agama dalam arti islam dapat "dipertontonkan", seperti ritual atau penyembahan.
Tetapi, bagaimanapun juga, ritual agama hanyalah penampakan atau perilaku keagamaan yang bersifat formal dan lahiriyah. Ritual agama hanya merupakan bukti dari iman, yang bersemayam di dada.
Berbicara iman, berarti menjadikan agama bersifat subyektif. Hanya diri sendiri dan Tuhan saja yang mengetahui hakikat keberadaan iman dalam diri manusia.
Sedangkan sistem keimanan yang prinsip, berlaku sama untuk semua agama. Yaitu kepercayaan yang berpusat kepada Tuhan.
Dan, Tuhan yang diimani oleh orang beragama itu tidak kasat mata. Bersifat imanent atau transendent, dan atau keduanya. Semua tergantung teolog yang telah merumuskan. Tidak ada satupun agama yang mempercayai Tuhan yang dapat diindera. Agama orang gila sekalipun tidak memepercayai Tuhan yang benda, yang meruang waktu.
Sebutan untuk yang immanent atau transendent berbeda-beda. Tetapi secara umum sama: Tuhan. Adapun secara spesifik, setiap agama memiliki sebutannya sendiri.
Islam menyebut tuhannya Allah (الله), berasal dari bahasa Arab اله, berarti (t)uhan, dan ditambah ال (alif dan lam ma'rifah), artinya yang tertentu. Dengan demikian Allah adalah tuhan yang tertentu. Untuk membedakan tuhan yang tertentu dengan tuhan yang lain, maka Allah ditulis dalam terjemahan dengan (T)uhan, menggunakan T, kapital.
Contoh sederhana adalah kata كتاب, artinya buku, tidak jelas buku yang mana. Tetapi, jika ditulis الكتاب, berarti buku tertentu, atau buku itu, bukan buku yang lain. Jadi, penambahan ال (alif dan lam) menjadikan kata benda itu ma'rifah (tertentu atau jelas). Dan dengan dijadikan isim ma'rifah (kata benda yang jelas), maka kata benda itu dapat menjadi mubtada, subyek atau pokok kalimat.
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, setiap pokok kalimat harus ditulis dengan huruf kapital. Maka buku yang ditulis Buku (B, kapital), dapat berkedudukan sebagai subyek. Karena sudah jelas atau tertentu yang dimaksudkan, bukan yang selainnya. Terjemahannya menjadi "buku itu", bukan buku yang tanpa kejelasan.
Mereka yang pernah belajar bahasa Arab dengan mudah memahami perubahan (t)uhan menjadi (T)uhan. Karena dalam tata bahasa Arab, jenis kata benda tertentu itu diistilahkan isim ma'rifah. Ia merupakan materi pelajaran sangat penting dan diletakkan di bab pertama setiap buku tata bahasa atau nahwu.
Sekarang semua umat islam Indonesia sudah tidak lagi mempersoalkan istilah Tuhan atau Allah dalam pembicaraan, maupun tulisan. Kedua istilah sudah sama dipahami, dan dapat ditukar ganti. Kecuali dalam ucapan ritual khusus, tetap menggunakan bahasa Arab, Allah.
Berbeda ketika istilah itu pertama kali digunakan oleh Cak Nur, Bapak Pluralisme. Ketika almarhum Nurcholis Madjid memperkenalkan pertama kali, para elit islam heboh memprotes. Dan umat islam di Republik ini juga ikut-ikutan mencerca Cak Nur, dengan tuduhan yang bermacam-macam. Mulai tuduhan sekularisme sampailah mengkafirkan. Tetapi pada hakikatnya, si penuduh sendiri tidak mengetahui hakikat tuduhannya.
Alhamdulillah, ketegaran Cak Nur telah menciptakan zaman pencerahan di masa berikutnya. Generasi sesudah beliau tinggal melanjutkan pemikiran islam progressip. Semua perguruan tinggi islam telah mengajarkan sistem pemikiran islam kontemporer yang beragam dan progressif.
Meskipun rintangan masih tetap ada. Dan tidak semua mahu memahami dan menerima. Tidak sedikit pula yang karena tidak paham, maka menolaknya. Tetapi secara umum, gagasan pembaharuan pemikiran islam yang diawali oleh Cak Nur tetap terus berjalan dan banyak mewarnai.
Dengan penjelasan menggunakan kaidah tata bahasa Arab, kita mengetahui bahwa, Tuhan yang dimaksud pembicara atau penulis memang sama dengan kata Allah. Hanya berbeda penyebutan, sebab bahasa yang berbeda. Allah untuk penyebutan dengan bahasa Arab. Sedangkan Tuhan, penyebutan menggunakan bahasa Indonesia.
Begitu juga agama selain islam. Mereka memiliki penyebutan Tuhan yang berbeda-beda. Orang Yahudi menyebutnya Yahweh. Orang kristen dengan Tri Tunggal yaitu Allah bapa, Allah Putra dan Roh Kudus. Orang hindu menyebutnya Indra, Mitra, Waruna, Agnu, dengan menggunakan nama Dewa. Dst, dst. Maksud dari semua sebutan itu tetap sama, yaitu Tuhan Yang Satu, One God.
...,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H