Di waktu lampau, ketika aku masih seorang bocah ingusan, ibu sangat yakin bahwa, menjadi lebih baik adalah soal taqdir. "Kita hanya menjalani. Putus asa jangan sekali." Itulah kata yang sering diulangi ibu untuk menyemangati kami, anak-anaknya. Tetapi ibu menyampaikan kalimat itu di sela-sela cerita, dan datar-datar saja, tanpa sedikitpun penekanan dalam setiap kosa kata yang terucap.
Sebagai anak kecil, aku hanya mendengar semua yang ibu ceritakan. Seringnya, aku mendengarkan sambil bermain, dan ibu tetap bercerita tanpa memintaku berhenti bermain. Bahkan ibu selalu bercerita sambi bekerja. Bekerja sambil bercerita atau bermain sambil mendengarkan sama mudahnya. Setidaknya bagi ibu dan aku.
Setelah menjadi orang tua, kenangan akan kebersamaan masa kecilku dengan ibu sangat menyenangkan dan mempesona. Jujur, Ibu bagiku adalah manusia luar biasa, meskipun dia biasa-biasa saja. Seperti juga perempuan rumahan lainnya di kampung. Setiap hari ikut bekerja membantu ayah. Pagi hari pergi ke kebun getah, memotong. Sore harinya membantu di ladang, mengurus tanaman sayur-mayur.
Orang rumah, adalah istilah untuk isteri di kampungku. Ya. Semua isteri disebut orang rumah. Walaupun kenyataannya para isteri tidak benar-benar hanya di rumah, atau hanya bekerja di rumah. Melainkan semua isteri juga bekerja di luar rumah, membantu suami mereka mencari nafkah. Tetapi istilah itu diterima begitu saja, tanpa ada yang mempersoalkan. Para isteri juga tidak tersinggung disebut orang rumah, meskipun kenyataannya mereka juga bekerja di luar rumah.
Begitu juga dengan ibuku. Dia adalah orang rumah ayahku, yang juga bekerja di luar rumah, selain tentunya di rumah. Sebagai orang rumah, ibu menjalani hidupnya biasa-biasa saja. Setiap hari bekerja dan bekerja untuk keluarga, demi anak-anaknya.
Dalam keadaan sedih, maupun senang, ibu selalu menampilkan kegembiraan, dengan cara yang sederhana dan apa adanya. Menurut ibu, "terlalu senang, bisa membawa kesedihan, dan perasaan sedih akan merusakkan hati dan pikiran." Di matanya dunia ini benar-benar rata, cukup dijalani seperti apa adanya.
Aku adalah anak ke-2 dari dua bersaudara, yang ketika kecil sering ikut ibu ke kebun. Bukan untuk membantu. Waktu itu, aku hanyalah anak kecil, yang belum bisa berbuat apapun, selain bermain. Ikut ibu ke kebun, hanya karena di rumah tidak ada yang menjaga. Abangku, ketika itu sudah bersekolah. Dan tidak mungkin aku ditinggal di rumah sendirian.
Di kampungku, tidak ada keluarga yang mempekerjakan pembantu. Ketiadaan uang untuk menggaji adalah alasan yang pasti. Seandainya ada uang sekalipun, pastilah akan menjadi cemoohan. "Orang rumah pemalas," kata orang kampung mengejek para isteri yang mempekerjakan orang lain di rumahnya.
Andaikan karena terpaksa, harus juga dibantu oleh orang lain, maka diambillah dari keluarga terdekat untuk tinggal di rumah, biasanya adik isteri atau adik suami. Paling jauh yang bisa dimintai bantuan adalah anak kemanakan. Selain itu tidak ada. Karena dianggap aib oleh orang kampung.
Hampir semua keluarga di kampung, melakukan hal yang sama seperti ibu, ikut bekerja di kebun, dan jika memiliki anak kecil, maka anak dititipkan ke orang tua, atau nenek dari anak. Adapun yang sudah bisa bermain sendiri, adatnya diajak ke kebun untuk menemani. Orang tua takut jika anak kecil ditinggal sendiri di rumah.
Begitulah juga dengan ibuku, sama dengan teman-temannya di kampung. Sama-sama bekerja untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga. Tidak ada yang istimewa, semua serba biasa, dan mengalir begitu saja. Masyarakat menjalani hidup sebatas mengikuti putaran waktu. Jauh berbeda dengan di kota, masyarakat menjalani hidup dengan cara berpacu dengan waktu.