Saat terindah untuk menyambut pagi, di rumahku, ya kopi. Sebelum anak-anak berangkat sekolah dan saya berangkat kerja, kami minum kopi bersama, diwarnai dengan berbagai tingkah polah anak-anak yang terlambat bangun pagi. Terkadang minum kopi sambil berlari, sambil memakai dasi, juga sepatu. Tetapi kopi tetap dinikmati, kala pagi. Seperti juga pagi ini.
"Pak buatkan kopi!" Permintaan anak gadisku, kelas 3 SMP, pagi ini, tidak biasanya. "Kopi buatan Bapak lebih enak." Katanya. Entahlah. Mungkin hanya alasan, agar aku mahu menunjukkan kasih sayang dengan cara yang sangat sederhana. Karena hanya itu yang bisa diminta, dan mudah untuk mendapatkan jawaban: ya, tanda bersedia dan bisa. Seandainya meminta yang lain, tentu mendapat jawaban sebaliknya. Perasaan halus seorang perempuan dewasa, mungkin, sudah mulai mengalir di dirinya, takut untuk mendengar kata tidak. Sebagai orang tua, saya memaklumi.
Meskipun urusan dapur, saya tidak pernah tahu, termasuk membuat kopi. Namun tidak kali ini, demi anak gadisku, yang sudah remaja, saya akan melakukan. Sebagai ayah, bisa memenuhi keinginan anak adalah kebahagiaan. Saya menyadari, banyak keinginan anak, tidak bisa dipenuhi. Meskipun tidak pernah terucapkan, naluri orang tua pasti merasakan. Bagi saya, dapat memenuhi keinginan anak, betapapun sederhana, adalah kehormatan. Dengan senang hati, saya melangkah untuk membuatkan kopi. "Semoga kebahagian diriku, juga kebahagiaan anak gadisku." Harapku dalam hati, tak terucap.
Saya teringat seorang sahabat, Mufarrohah, alumni psikologi UGM Yogya, yang sekarang dosen di STAIN Bengkalis, pernah mengatakan: "Kebahagiaan itu menular, seperti juga penyakit. Ketika kita bahagia, maka orang di dekat kita juga akan bahagia, meskipun dengan kadar yang berbeda." Saya juga sering membuktikan kebenaran kata-katanya. Contoh, ketika saya tersenyum untuk seseorang, maka orang tersebut akan ikut tersenyum. Saya bahagia, dia bahagia. Ya, semua hal yang positip akan menular ke orang terdekat, seperti juga yang negatip, menular juga.
Orang tua lain, mungkin, akan mengejek dengan mengatakan: "Tidak pantas, orang tua diperintah anak," tetapi hal itu tidak berlaku untuk saya. Karena saya melakukannya juga untuk kebahagiaan diri sendiri, dan juga anak. Prinsip kebahagiaan bagi saya juga sederhana dan mudah. Yaitu, ketika bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, tidak kira siapa saja, lebih-lebih keluarga. Itu saja. Seperti pagi ini, dapat membuatkan kopi untuk anak gadisku adalah kebahagiaan, bahkan kehormatan. Dan membahagiakan dengan cara yang sederhana adalah keindahan.
"Bagaimana caranya bisa enak?" Pertanyaan serius dari anak gadisku, sambil mengamati langkahku mengambil cawan batu dan sendoknya yang juga dari batu, yang bersebelahan letaknya dengan tempat gula dan kopi.
"Apa ya?," Saya sengaja menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Cara yang saya pelajari dari orang Yahudi, Eran Katz, dari bukunya: Jerome Becomes A Genius. Menurutnya, cara itu bisa menambah kecerdasan. Karena kebanyakan orang Yahudi cerdas, -seperti Bill Gate, pemilik Microsft yang telah mendermakan 90 persen kekayaannya di bidang kesehatan di seluruh dunia. Atau George Soros, spekulan mata uang yang menggunakan kekayaannya untuk mengembangkan gagasan open society ke seluruh dunia-, maka saya meniru cara orang Yahudi, meskipun saya tidak cerdas. Setidaknya bisa meniru gaya orang cerdas, jadilah.
"Dulu Kakak sering minum kopi buatan Bapak, kan?" Jawabnya dengan pertanyaan yang menuntut jawaban: ya, tidak bisa yang lain. Dan anak gadisku memanggil diri sendiri di rumah dengan kata kakak, karena dia memiliki adik. Tujuannya untuk memberi contoh adiknya, agar memanggilnya dengan panggilan yang sama, kakak. Begitulah kami hidup saling memberi contoh. Dan itulah cara termudah mentranmisikan nilai-nilai budaya dalam pergaulan sehari-hari.
Rupanya anak gadisku yang sedang tumbuh remaja, benar-benar masih ingat enaknya minum kopi buatanku, ayahnya. Saya juga mengingatnya kembali. Dulu, waktu dia masih kecil dan belum sekolah, selalu minum kopi dari cawan saya. Secawan kopi yang saya buat sendiri, ketika ibunya sakit. "Enak," katanya, setiap kali dapat menyeruput kopi yang masih agak panas, buatan ayahnya.
"Lihat, cara membuat kopi ala bapak," kataku meminta agar anak gadisku melihat bagaimana ayahnya membuat kopi yang enak, seperti yang diinginkan dan akan ditiru.
Ditiru, karena tidak ada yang baru di dunia ini. Semua meniru. Seperti hukuman mati untuk penjahat narkoba. Itu meniru anak Adam as., Qobil membunuh Habil, karena ingin menjadi suami adiknya, yang cantik, Iklima. Sementara Ayahnya. menjodohkan Iklima dengan Habil. Demi hasrat, dibunuhlah saudaranya, Habil. Itulah dosa kemanusiaan pertama: membunuh. Di kita, hukum bunuh masih ada, bentuk hukum primitip dan tidak manusiawi dalam UU. Ya, itulah kita, hari ini, hanya meniru, meski sudah tidak relevan dengan zaman. Anak gadis saya juga, ingin meniru cara ayahnya: membuat kopi.
Anak gadisku serius melihat dan mengamati. "Agar bisa melakukan hal yang sama," katanya. Saya, dulu juga meniru. Tetapi bukan dari ibu atau ayah, melainkan La Rose, pengarang novel pavoritku, waktu remaja. Sekarang novel itu entah dimana dan saya lupa judulnya. Novel itu ada bercerita tentang kopi, yang akan saya peragakan. Lupa, sifat buruk saya. Banyak buku novel zaman Aliyah dulu, kini hilang. Tetapi masih beruntung, saya masih mengingat sebagian isinya, khususnya tentang cara membuat kopi, karena dulu, saya sering melakukan.
Hikmah dari itu semua, saya menjadi tahu bahwa, melakukan atau berbuat, sangat bermanfaat. Kata ahli pendidikan: learning by doing. Kata filosofi Cina pula: "Saya membaca, saya lupa. Saya melihat, saya ingat. Dan, saya berbuat saya dapat." Sesuatu yang pernah saya lakukan, niscaya akan bertahan di ingatan, sedangkan melihat atau mendengar, akan segera terlupakan.
Agar lebih mudah untuk anak saya meniru, maka saya minta ia yang melakukan sendiri, mengikut petunjuk dan arahan saya, dan tentunya, saya juga mengawasi langsung apa yang dilakukan.
"Ambil dan pegang cangkir serta sendok, lalu curahkan sedikit air panas ke dalam cangkir, untuk membersihkan kembali bagian dalamnya dari kemungkinan ada debu dan kotoran." kataku mengarahkan, agar ia melakukan dengan persis, sama.
"Kemudian buang air itu dan keringkan dengan kain pengering." kataku selanjutnya. Anak gadisku melakukan dengan seksama dan teliti, karena sudah terbiasa juga membantu ibunya setiap hari di dapur.
"Selanjutnya ambil gula dan kopi secukupnya, mengikuti selera yang akan meminumnya." Walaupun tanpa diberi tahu dia bisa melakukan, tetapi menurut saya hal itu perlu. Agar tidak keliru, arahan harus jelas dan terperinci.
"Mengapa gula dulu, baru kopi?" Anak gadis saya bertanya, kritis. Terpana juga saya dibuatnya. Pertanyaan yang tidak terduga, muncul tiba-tiba. Dan itu penting buat saya. Kata filosof: nilai seseorang adalah pertanyaannya, bukan jawaban. Pertanyaanlah yang membuat orang berfikir dan pertanyaan itu, awal dari sebuah pemikiran kreatif dan inovatif.
"Itu bersifat pilihan," jawabku menutupi kebodohan diri, karena saya belum mendapatkan nilai filosofis dari pilihan mengapa mendahulukan gula dari kopi atau sebaliknya. Padahal beberapa tahun yang lalu, Riza Pahlepi, mantan wakil Bupati Bengkalis, pernah ngopi bareng dan dia bercerita tentang itu, tetapi karena tidak dianggap penting dan perlu, sehingga tidak pernah diingat-ingat, lupa.
"Terus, diapakan?" Pertanyaan anakku, yang sudah selesai meletakkan kopi di atas gula, di dalam cangkir.
"Tuangkan sedikit dulu air panas, untuk melarutkan gula dan kopi. Lalu aduk sampai benar-benar larut," arahanku dengan disertai isyarat ujung jari telunjuk yang diputar dengan agak laju.
"Putarannya ke arah kanan?" Pertanyaan anakku, yang juga membuat aku lebih terkejut lagi. Meskipun saya pernah mendengar dari para penikmat kopi. Bahkan pernah, beberapa tahun yang lalu menyaksikan, ketika pembeli meminta agar sendok diputar ke kiri, ketika melarutkan gula di dalam cawan. Kejadian itu di Muar, ketika kami minum kopi Tiam, bersama beberapa kawan, yang saya masih ingat pak Asraf Saily, dulu Kadis Pendidikan. Dialah yang menunjukkan kedai kopi Tiam ketika itu. Tetapi saya tidak meminta penjelasan atas kejadian itu.
"Biasa saja," jawabku datar, sebagai bentuk menghindari pertanyaan yang tidak mampu dijawab.
"Sudah." Anak gadisku memberitahu, sambil mengetukkan sendok ke cawan. Bunyi kopi terasa sangat padat, dan aromanya begitu terasa. Akupun segera melanjutkan dengan langkah berikutnya.
"Lalu curahkan air panas secara perlahan, sambil diaduk, agar sebaran gula dan kopi merata ke seluruh air." kataku mengarahkan, dikuatkan isyarat jari telunjuk, dan mata yang tetap mengawasi. Setelah cukup sempurna adukan itu, aku tersenyum bangga.
"Siap dihidangkan, untuk diminum. Mudahkan?" aku mengatakan dengan penuh kekaguman. Lalu saya ambil dengan tangan dan kuhirup aroma kopi yang dahyat nikmatnya. "Hmm," bunyi suara tenggorokanku bergetar, sambil mengeluarkan udara yang kuhirup ketika mencium aromanya.
"Terima kasih, pak." ungkapan sayang anak gadisku. Dan ia pun membuat lagi kopi, pada gelas yang lain dengan cara yang sama.
Pagi menjadi sangat bergairah. Sebelum berangkat kerja kuhabiskan kopi buatan anak gadisku. Begitulah tradisi keluargaku turun temurun: kopi pagi pasti tersedia dan wajib diminum. Kalau benar sibuk, rasa barang seteguk, "agar jangan kempunan," istilah yang diucapkan, sebagai bentuk perintah paksa yang disamarkan.
Inilah cerita yang saya bisa bagi pagi ini. Terima kasih yang sudi menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H