Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadisku

22 Januari 2015   19:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:35 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak gadisku serius melihat dan mengamati. "Agar bisa melakukan hal yang sama," katanya. Saya, dulu juga meniru. Tetapi bukan dari ibu atau ayah, melainkan La Rose, pengarang novel pavoritku, waktu remaja. Sekarang novel itu entah dimana dan saya lupa judulnya. Novel itu ada bercerita tentang kopi, yang akan saya peragakan. Lupa, sifat buruk saya. Banyak buku novel zaman Aliyah dulu, kini hilang. Tetapi masih beruntung, saya masih mengingat sebagian isinya, khususnya tentang cara membuat kopi, karena dulu, saya sering melakukan.

Hikmah dari itu semua, saya menjadi tahu bahwa, melakukan atau berbuat, sangat bermanfaat. Kata ahli pendidikan: learning by doing. Kata filosofi Cina pula: "Saya membaca, saya lupa. Saya melihat, saya ingat. Dan, saya berbuat saya dapat." Sesuatu yang pernah saya lakukan, niscaya akan bertahan di ingatan, sedangkan melihat atau mendengar, akan segera terlupakan.

Agar lebih mudah untuk anak saya meniru, maka saya minta ia yang melakukan sendiri, mengikut petunjuk dan arahan saya, dan tentunya, saya juga mengawasi langsung apa yang dilakukan.

"Ambil dan pegang cangkir serta sendok, lalu curahkan sedikit air panas ke dalam cangkir, untuk membersihkan kembali bagian dalamnya dari kemungkinan ada debu dan kotoran." kataku mengarahkan, agar ia melakukan dengan persis, sama.

"Kemudian buang air itu dan keringkan dengan kain pengering." kataku selanjutnya. Anak gadisku melakukan dengan seksama dan teliti, karena sudah terbiasa juga membantu ibunya setiap hari di dapur.

"Selanjutnya ambil gula dan kopi secukupnya, mengikuti selera yang akan meminumnya." Walaupun tanpa diberi tahu dia bisa melakukan, tetapi menurut saya hal itu perlu. Agar tidak keliru, arahan harus jelas dan terperinci.

"Mengapa gula dulu, baru kopi?" Anak gadis saya bertanya, kritis. Terpana juga saya dibuatnya. Pertanyaan yang tidak terduga, muncul tiba-tiba. Dan itu penting buat saya. Kata filosof: nilai seseorang adalah pertanyaannya, bukan jawaban. Pertanyaanlah yang membuat orang berfikir dan pertanyaan itu, awal dari sebuah pemikiran kreatif dan inovatif.

"Itu bersifat pilihan," jawabku menutupi kebodohan diri, karena saya belum mendapatkan nilai filosofis dari pilihan mengapa mendahulukan gula dari kopi atau sebaliknya. Padahal beberapa tahun yang lalu, Riza Pahlepi, mantan wakil Bupati Bengkalis, pernah ngopi bareng dan dia bercerita tentang itu, tetapi karena tidak dianggap penting dan perlu, sehingga tidak pernah diingat-ingat, lupa.

"Terus, diapakan?" Pertanyaan anakku, yang sudah selesai meletakkan kopi di atas gula, di dalam cangkir.

"Tuangkan sedikit dulu air panas, untuk melarutkan gula dan kopi. Lalu aduk sampai benar-benar larut," arahanku dengan disertai isyarat ujung jari telunjuk yang diputar dengan agak laju.

"Putarannya ke arah kanan?" Pertanyaan anakku, yang juga membuat aku lebih terkejut lagi. Meskipun saya pernah mendengar dari para penikmat kopi. Bahkan pernah, beberapa tahun yang lalu menyaksikan, ketika pembeli meminta agar sendok diputar ke kiri, ketika melarutkan gula di dalam cawan. Kejadian itu di Muar, ketika kami minum kopi Tiam, bersama beberapa kawan, yang saya masih ingat pak Asraf Saily, dulu Kadis Pendidikan. Dialah yang menunjukkan kedai kopi Tiam ketika itu. Tetapi saya tidak meminta penjelasan atas kejadian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun