"Biasa saja," jawabku datar, sebagai bentuk menghindari pertanyaan yang tidak mampu dijawab.
"Sudah." Anak gadisku memberitahu, sambil mengetukkan sendok ke cawan. Bunyi kopi terasa sangat padat, dan aromanya begitu terasa. Akupun segera melanjutkan dengan langkah berikutnya.
"Lalu curahkan air panas secara perlahan, sambil diaduk, agar sebaran gula dan kopi merata ke seluruh air." kataku mengarahkan, dikuatkan isyarat jari telunjuk, dan mata yang tetap mengawasi. Setelah cukup sempurna adukan itu, aku tersenyum bangga.
"Siap dihidangkan, untuk diminum. Mudahkan?" aku mengatakan dengan penuh kekaguman. Lalu saya ambil dengan tangan dan kuhirup aroma kopi yang dahyat nikmatnya. "Hmm," bunyi suara tenggorokanku bergetar, sambil mengeluarkan udara yang kuhirup ketika mencium aromanya.
"Terima kasih, pak." ungkapan sayang anak gadisku. Dan ia pun membuat lagi kopi, pada gelas yang lain dengan cara yang sama.
Pagi menjadi sangat bergairah. Sebelum berangkat kerja kuhabiskan kopi buatan anak gadisku. Begitulah tradisi keluargaku turun temurun: kopi pagi pasti tersedia dan wajib diminum. Kalau benar sibuk, rasa barang seteguk, "agar jangan kempunan," istilah yang diucapkan, sebagai bentuk perintah paksa yang disamarkan.
Inilah cerita yang saya bisa bagi pagi ini. Terima kasih yang sudi menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H