Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malahayati

10 Mei 2021   11:45 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:12 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu jahat, mas! Memberi harapan palsu ke siapa saja. Kamu gak mikirin perasaan aku. Sekarang kamu disini, besok disana. Sekarang kamu disana, besok disini. Aku bukan tempat persinggahan yang bisa kamu singgahi kapan saja dan bebas keluar masuk. Tidak, Mas."

***

Matahari menyingsing, sore telah gugur, menuju malam. Aku di dalam gerbong, dari Cikini menuju Jatinegara. Riuh dan ramai keadaan di dalam kereta, beruntung aku dapat posisi untuk berdiri, sehingga aku bisa melihat berbagai ekspresi. Ibukota, ya, dengan segala kerumitannya, sungguh menghadirkan keadaan manusia yang beragam jua; ada yang letih karena pekerjaan, ada yang senang karena tidak pernah merasakan kesusahan, ada yang murung entah bertengkar dengan keluarga atau pekerjaan atau dengan pasangannya, ada yang sayu pandangannya seakan-akan sedang putus asa dan mendekati kekecewaan atas dirinya atas hidupnya, ada pula yang bermata tenang seakan itu adalah cara terbaiknya untuk menyikapi kehidupan didalam ibukota.

'Jika dahulu ku tak cepat berubah, ini maaf ku untuk mu,' Sepenggal lirik dari lagu yang diputar dalam kereta membenak dan terus berputar dalam otak ku. Aku teringat akan Mala, mahasiswi Ilmu Sosial yang sekarang berhubungan dengan ku secara hati ke hati, akal ke akal, menjadi satu frekuensi yang terkadang bergelombang tak beriringan. Dinamika perasaan.

Mala. Aku memanggilnya secara pendek dari nama aslinya, Malahayati. Parasnya manis, bukan gula, buka pula madu, karena Mala lebih dari semua itu. Ia anggun, tidak cantik, tidak pula jelek, karena anggun itu lebih terhormat dari pada cantik yang berawal dari ketidakpercayaan diri lalu memaksa diri untuk tampil cantik, seakan-akan jika tidak cantik maka sama dengan jelek. Ya, Anggun lebih tepat aku sematkan padanya.

"Aku baru pulang dari Taman Ismail Marzuki, La. Kamu lancarkan kegiatan kuliahnya hari ini?", tanya ku pada Mala melalui pesan teks di handphone.

"Iyaaa, Alhamdulillah lancar. Kamu abis ngapain disana?",

"Ketemu kawan lama. Sama kaya aku, pejalan juga. Tenang, laki-laki kok, bukan lawan jenis. Hahahaaa." Jawabku, coba mencandai benaknya.

"Au ahhhhh. Gatau, gatau, gatauuu." jawabnya dengan nada merajuk. Entah karena ia cemburu atau mungkin karena sudah ketebak oleh ku apa yang ia pikirkan.

"Hahaha. Kamu uda makan kan, La? Ada tugaskah malam ini dari kampus?".

"Tugas ada, mas. Belum mood makan. Masih rebahan ini."

"Apakah makan harus ada mood dulu? Atau harus ada mas dulu disana, baru moodnya ada? Hahahahaha." Aku coba menghiburnya.

"Gausah ge-er kamu, Mas. Gausah sok asik, deh. Dari tadi ngetawain mulu." Jawabnya dengan nada yang masih merajuk. Aku mendadak terbahak-bahak, kiri-kanan ku pun sontak melayangkan pandangan padaku. Ya, begitulah keadaan didalam kereta; tegang, kaku, tidak cair, seakan-akan setiap waktu adalah ketegangan sehingga momen istirahat dalam kereta pun harus tegang.

Mala, perempuan yang terkadang serius tapi juga terkadang pemanja; ia tidak mudah ditaklukan hati maupun pikirannya, namun saat ia sudah nyaman justru ia tidak ingin kehilangan kenyamanan itu, sekalipun itu berupa kabar. Butuh berbulan-bulan untuk menaklukan diri dan hatinya, hingga suatu hari ia nyaman dan mengeluh karena aku tidak lagi 'mengganggu hari-harinya', dan karena 'gangguan yang nyaman' itu kami pun 'saling mengganggu kenyamanan'.

Mala, satu sosok yang utuh; matanya, hidungnya, rambutnya, bibirnya, rambutnya, senyumnya, marahnya, egonya, emosinya, manjanya, sedihnya, keceriaanya, kesedihannya, dan semua yang ada pada dirinya, itu semua adalah Mala, dan Mala adalah itu semua, dan aku sebagai yang ada didalam benaknya juga harus menerima itu semua sebagai sebuah warna-warni Mala. Tidak, aku tidak bicara tentang tubuhnya apalagi fisiknya. Tidak. Aku berbicara tentang Mala dan apa-apa saja yang menjadi bagian dari Mala. Karena bagiku, jika kamu ingin memiliki hati seseorang kamu harus siap dengan fisiknya, jika kamu ingin fisiknya kamu juga harus siap dengan hatinya.

"Jika anggun tapi hatinya jahat, terima dan poleslah. Jika tidak anggun tapi hatinya baik, terima dan sinarkanlah ketidakanggunannya. Jadilah pohon yang menyerap karbondioksida lalu mengubahnya menjadi oksigen bagi alam semesta."

***

Laju kereta menuju Stasiun Jatinegara. Gerbong sedikit lengang, karena ternyata semua yang turun di Manggarai adalah para pejuang keluarga; mencari uang untuk anak dan suami atau istri dan mungkin juga untuk ayah dan ibunya, sebuah bentuk sikap atas cinta kasih terhadap apa yang dicintainya, keluarga. Tidak melulu yang harus bekerja adalah laki-laki, bisa saja perempuan bekerja untuk membantu suaminya dengan alasan 'kita sama-sama saling membahu untuk keluarga kita'. Tidak salah juga jika laki-laki mewanti-wanti sang kekasih untuk tidak bekerja, mungkin sang kekasih terlalu berarti baginya atau terlalu bermakna atau mungkin sangat terlalu cintanya sehingga ia tak ingin sang kekasih terluka dan tersakiti oleh dunia pekerjaan. Ya, perempuan punya 1000 alasan untuk menolak kasih sayang pasangannya, dan laki-laki punya 1001 pemahaman untuk menjaga dan melindungi kekasihnya.

"Uhuk, uhuk. Mas uda mau sampe rumah nih. Kamu uda makan kan, La?" tanyaku kembali lewat pesan teks di handphone.

"Udah, Mas. Syukur deh kalo kamu uda mau sampe. Penuh ga keretanya, Mas?"

"Penuh banget, La. Penuh cewek semua. Kok bisa gitu ya?"

"Dempet-dempetan dong sama mereka? Enak ga, Mas?"

"Kamu mau mas jawab serius, atau jawab becanda nih? Hihihi."

"Aku yang nanya, kok malah nanya balik. Tinggal jawab aja, Mas." Balasnya, aku paham nada ini nada mulai bte dan kesal. Mungkin naik level dari merajuk.

"Ga dempet-dempetan, kok. Mas nyari tempat sepi, hehehe." Jawab ku gantung.

"Bagus deh kalo gitu. Dempet-dempetan juga gapapa, Mas. Asalkan jangan nakal."

"Mas nyari tempat sepi kok, walau pun selalu didempetin juga. Hahahahha."

"Ahh gatau ahhh. Dari tadi kamu jawabnya main-main mulu." Jawabnya. "Engga kok hehe. Ga padet keretanya, campur juga penggunanya. Mas paham cemburunya kamu. Cuma satu yang mas ga paham, La."

"Apa itu, Mas?", "Mas ga paham, kenapa kalo kamu ngambek, mas semakin sayang dan kepikiran sama kamu. Hahahahaha."

"Halahhhhh gombal-gembellll. Ga ngaruhhhh, mas. Ga ngaruhhh." Lagi-lagi aku terbahak-bahak membaca pesannya. Ya, tertawa sendiri, bagai orang tak waras yang menikmati waktu tanpa beban.

"Hahahaha. Yauda, nanti sampe dirumah mas kabarin ya, La. Miss you pencemburu. Hahahaha." Ya, aku tak pernah bosan untuk mengganggunya dengan candaan dan sentilan. Mungkin ini yang disebut 'bunga-bunga suatu hubungan'.

***

Sampai dirumah, masuk kamar, ku nyalakan satu lagu andalan pengantar malam berlirik 'Jangan kau pergi dari ku bila waktuku sedikit untukmu, setiap hembusan nafasku kulakukan yang terbaik untukmu' dengan mode repeat track.

"Sayang, mas uda nyampe. Kamu lagi gak ngerjain tugas, kan?",

"Tadinya mau ngerjain, tapi gada mood. Mas uda makan belum?"

"Udah. Tadi makan dulu deket rumah. Kamu ga mood kenapa, sayang? Tadi ga mood makan, sekarang ga mood nugas. Coba cerita."

"Ya gak mood aja, mas. Gatau kenapa bisa gini." Jawaban ini, aku paham, ini adalah kode darinya untuk aku 'memanjanya', mengobati kegelisahannya, hadir merangkul benaknya, mengubah moodnya.

"Mas minta maaf, karena ga kasih kabar dari kemarin malam, karena baru ngabarin kamu malam ini, karena uda bikin kamu kepikiran tentang mas."

"Hmmm..." begitu jawabnya. Aku merasakannya. Ini bukan merajuk bukan pula bte atau kesal, tapi perpaduan antar ketiganya.

"Tiadanya kabar dari mas, itu memang salah. dan terlalu sering ada kabar dari mas, itu juga tidak baik, sayang."

"Tapi harusnya kamu ngabarin aku, jangan timbul tenggelam. Sebentar ada, lalu menghilang lama, lalu ada lagi, menghilang lagi, dan begitu terus. Gak bisa gitu, mas."

"Bukan hanya kamu aja yang gak dapat kabar dari mas, sayang. Semua, semuanya juga gak mas balas pesannya. Karena memang mas gak selalu bisa fulltime dengan handphone."

"Kamu bisa nemuin temen-temen kamu. Tapi kenapa sama aku, engga?"

"Karena mas sayang kamu, Mala." Ujarku singkat.

"Maksudnya gimana, mas?"

"Mudah saja bagi mas untuk memenuhi waktumu 24 jam dengan pesan dari mas. Mudah saja bagi mas untuk seharian penuh memenuhi pikiran dan hatimu dengan semua kenyamanan yang kamu rindukan. Sangat mudah dan sangat bisa. Tapi bukankah itu jahat, sayang?"

"Itu menurut kamu, mas. Kan aku yang membutuhkan, aku yang merasakan dampaknya. Aku juga ingin seperti teman mu, mendapat perhatian mu dan pikiran mu serta keseruan dengan mu, walau sekedar lewat chat atau telpon. Apa kamu merasakan apa yang aku rasakan, mas?"

"Sayang. Mas bukan lelaki pada umumnya. Mas gamau jadi gula yang membuatmu mabuk lalu keracunan lalu ketergantungan. Mas gamau jadi madu yang kamu malah lariut dalam manis yang berlebihan yang mas berikan padamu. Mudah saja bagi mas untuk seperti itu, tapi mas gamau. Kamu masih ingat perkataan kamu tentang perasaan kamu, sayang?"

"Yang mana, mas?"

"Kamu pernah bilang 'Mas, kamu itu cinta pertama aku, walau sebelumnya aku pernah pacaran. Aku menemukan banyak hal dari kamu. Empat kali pacaran, aku gak pernah ngerasain nyaman senyaman bersamamu, mas'. Kata-kata ini yang bikin mas gamau berlebih-lebihan pada mu, sayang."

"Itu kan kata kamu, mas. Kamu deket sama semua cewek, mereka semua kamu asikin. Mereka semua kamu tanggepin. Tapi aku? Masih adakah aku dipikiran kamu, mas?"

"Mereka semua bukanlah kamu, sayang. Bukan. Mereka semua mas tanggepin, tapi kadar mas ke kamu lebih dari kadar mas ke mereka. Coba, apa yang bikin kamu mau bertahan sama mas?"

Lumayan lama ia tak membalas pesanku. Aku bangun dari tempat tidur, ku ganti lagu berlirik 'kau diambang kebimbangan, tebing jurang keraguan, jalan mana yang harus kau tempuh'. Hening suasana kamar. Tenang. Sekian lama menunggu, akhirnya Mala membalas pesanku.

"Kamu dewasa walau ngeselin. Kamu suka bikin aku emosi, tapi setelah aku sadar, aku malah makin sayang dan nyaman sama kamu. Kamu sering banget bikin salah, tapi setelah aku sadar, ternyata aku yang salah tafsir. Kamu sulit ditebak. Kamu misterius. Kamu aneh. Tapi kamu juga selalu membayang dibenak aku. Cowo manapun, belum tentu punya apa yang kamu punya, dan yang kamu punya adalah yang bikin aku nyaman. Ingin aku bongkar hati dan otak kamu, mas. Entah, aku selalu bertanya-tanya sebenarnya kamu ini siapa dan kenapa kamu bisa sangat menggugah perasaan ku, mas. Aku gemas. Aku kesal. Aku marah. Tapi aku juga rindu." Jawabnya panjang kali lebar. Sepertinya Mala lama membalas karena sedang merenungi perasaannya. Ya, Mala butuh waktu untuk merenungi suatu hal, sama seperti manusia lainnya.

"Ah kamu becanda, ga serius jawabnya." Jawabku. Kali ini sepertinya Mala yang bercanda.
"Aku serius kamu anggap becanda. Aku serius kamu becandain. Kenapa sih kamu kaya gini terus? kenapa, mas?!"

Aku sontak kaget dengan kalimat terakhirnya, sepertinya ia marah karena aku tidak mencerna perkataannya."Kaya gini terus gimana, Mala tersayang? kaya gimana?" tanyaku. Langsung saja kuputar lagu berlirik "Semua karena cinta ku menangis, semua karena cinta ku tertawa".

"Ya kaya sekarang ini! Kamu datang cuma bikin kesel emosi dan marah. Nanti abis itu hilang lagi tanpa kabar. Tapi semakin aku emosi semakin juga aku rindu dan kangen sama kamu. Kamu pantas aku omelin, tapi semakin aku omelin semakin juga kamu membayang di pikiranku. Kenapa sih kamu kaya gini terus, mas?"

"Kamu jangan berlebihan deh ahhh. Mas ga cuka yaaaa kamu berlebihan. Mas gak cuu..kaaa." Ujarku coba meredam emosi Mala yang terkadang bikin aku tertawa.

"Kamu jahat, mas! Memberi harapan palsu ke siapa saja. Kamu gak mikirin perasaan aku. Sekarang kamu disini, besok disana. Sekarang kamu disana, besok disini. Aku bukan tempat persinggahan yang bisa kamu singgahi kapan saja dan bebas keluar masuk. Tidak, Mas."

"Kamu itu Malahayati, Kekasihku. Bukan hotel apalagi penginapan tempat bersinggah. Lalu, jahat dibagian mananya, Malaku?" aku coba mengiyakan ritme emosinya, tak ingin menyanggah apalagi berseteru membela diri. Tidak.

"Kamu ini manusia atau bukan sih, mas!! Kok dari tadi ga peka-peka. Sikapmu, caramu, pikiranmu, bikin aku cemburu terus menerus, mas! Aku emosi dan kesel aja, kamu masih mau berusaha nyamanin aku. Aku cemburu mas, cemburu!! Kenapa? Sama aku aja yang begini, kamu masih bisa ngadepinnya. Pasti kamu ke temen-temen kamu yang cewek, juga demikian, dan itu yang bikin aku cemburu, yang bikin aku kepikiran. Aku gamau mereka nyaman dengan sikap kamu, mas! Mungkin mereka hanya teman bagi kamu, tapi bagi mereka kamu pasti spesial mas!! Aku gamau!!" jawabnya dengan nada serius. Kali ini banyak tanda seru pada pesannya.

Sejenak aku diam, tak cepat membalas, agar Mala tenang dulu, memberi jeda padanya untuk rehat dan rileks. Aku teringat kisah wayang dalam Ramayana, tentang perjuangan Rahwana dalam merebut Shinta dari Rama; Rahwana dimabuk asmara, dimabuk cinta, cinta buta, cinta yang tak kenal lelah dan perjuangan, cinta yang tak kenal keputusasaan, cinta yang tak kenal bahaya, Rahwana tak peduli siapa dirinya dan siapa yang akan ia lawan, ia larut tenggelam dalam samudera cinta seperti semut yang tenggelam dan larut dalam lautan madu. Aku diam, ku putar lagu berlirik "Bawalah diri ini ke alam cinta nan abadi, sambutlah kekasih".

Lagu berputar dan hening masih terasa. Dalam kosong terlintas perkataan lama, "Pohon menaungi apa saja dan dimana saja, memberi manfaat pada sekitarnya tanpa kenal pamrih; daun buah bunga tangkai batang akar kulit dan semuanya, ia menjadi kebaikan bagi yang membutuhkan. Ia tidak bisa untuk tidak menjadi kebaikan, karena memang sudah menjadi jalan hidupnya untuk memberi kehidupan pada sekitarnya. Memayu Hayuning Bawana."

"Mala, Malahayati, Perempuan yang mas tak pernah bosan untuk merindukan, mengganggumu, mencandaimu, tidak ada alasan bagimu untuk tidak cemburu pada kekasihmu, tidak ada alasan bagimu untuk tidak kuatir saat perempuan lain nyaman dengan perilaku kekasihmu, tidak ada kewajiban bagimu untuk tidak menyadarkan kekasihmu, karena itu semua caramu mengekspresikan betapa cintanya kamu pada kekasihmu." Jawabku membalas pesannya.

"Terkadang, ada masa dimana kamu harus menjadi air yang tercurahkan, mengalir kemana saja, menemui apa saja, kapan saja, lalu membasahi apapun yang kamu temui sehingga dingin dan mereka merasa nyaman, menghilangan kegersangan pada apa saja yang merasa kekeringan, bak air hujan dan air sungai yang menghidupi apa saja yang ia temui. Jauh sebelum kamu kenal dan berhubungan dengan mas, siapapun itu dan dimanapun itu, selalu mas asikin dan mas hibur, sayang. Teman, sahabat, orang tak dikenal, bahkan yang memusuhi mas pun selalu mas hibur mas akrabi."

"Dan terkadang, ada masa dimana kamu harus menjadi api, sayang. Bukan emosi atau amarah. Melainkan, mereka yang putus asa dan kecewa, letih lesu dan tak semangat menggapai mimpinya atas ujian dan tantangan kehidupan yang begitu banyak, kamu harus menjadi api bagi mereka. Menghangatkan mereka, menyalakan api semangat mereka seperti kamu menaikan api semangatmu, menjaga api cinta mereka terhadap keluarga yang mereka cintai yang ingin mereka bahagiakan dengan segenap perjuangan mereka, melindungi api cinta mereka dari hal-hal yang ingin mematikan semangat cinta mereka, dan kamu harus berbagi api tiada redup yang kamu miliki kepada mereka yang benar-benar membutuhkan dalam menikmati manis pahit kehidupan, sayang. Mas yakin kamu paham dengan air dan api diatas. Mau gamau, kamu harus memahaminya, Malahayati, kasihku yang tak pernah kukurangi rasa sayangku pada mu." Ujar ku padanya, menyambung pesan sebelumnya. Ku harap ia memahaminya dulu, baru membalasnya.

***

Entah, siapa yang awalnya melahirkan istilah "harapan palsu" didunia ini. Apakah berbagi kasih sayang, saling bergotong-royong dalam mencapai saling membantu dengan nilai-nilai kasih sayang, serta berbagai macam bentuk cinta kasih, adalah perbuatan yang jahat? "Harapan palsu", seakan-akan ada "Harapan yang tidak palsu". Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk saling menjaga, menyayangi, mengasihi, mencintai sesama manusia, saling membantu, bahkan kepada binatang pun kita tidak boleh untuk tidak menyayangi mereka. Lalu mengapa ada istilah "Harapan Palsu"? Sedangkan itu semua bukan memberi harapan, tapi wujud kewajiban.

"Mas..?" pesan masuk dari Mala. Singkat dan padat. Begitu mau ku balas, ia mengetik lagi, panjang dan lebar.

"Apa yang kamu katakan itu betul, mas. Dan tidak ada yang salah; Air yang meneduhkan, Api yang menggelorakan dan menghangatkan. Tapi mas, sesuatu yang berlebihan itu juga tidak baik. Maksudku, apakah semuanya harus dilakukan oleh kamu seorang, mas? Apakah orang lain gak boleh melakukan apa yang kamu lakukan? Kamu juga harus peduli sama diri kamu, mas." Jawabnya. Sejenak aku terdiam. Ucapannya mengingatkan ku pada suatu hal.

"Kamu pernah bilang, 'Urip iku Urup, Hidup itu Nyala. Mencari Cahaya, Mendapatkan Cahaya, Menjadi Cahaya, Membagikan Cahaya.', itu benar mas. Namun itu semua juga harus dilakukan oleh teman-teman kamu, bukan kamu seorang. Mereka wajib melakukannya kepada siapapun disekitar mereka. Kamu peduli dengan mereka, tapi mereka juga harus peduli pada dirinya sendiri, melebihi kamu peduli pada mereka mas. Kamu menghormati dan menyayangi mereka, tapi mereka juga harus lebih menyayangi dan menghormati diri mereka sendiri, mas." Mala melanjutkan pesannya.

"Iya, mas minta maaf, Mala. Keterlaluan.. Kelewatan. Mas minta maaf..."

"Tidak ada budaya yang mengajarkan kita menjadi antipati, tidak ada agama yang mengajarkan kita menjadi individualistik. Kalaupun ada, pasti hati dan nurani kita akan bertengkar dengan diri kita. Dan kewajiban peduli sesama, itu bukan hanya kewajiban kamu doang mas. Aku takut. Aku takut banget.." Jawabnya. "Kamu takut kenapa, kasih?", jawabku, coba mengurai pikirannya.

"Tiap manusia punya batasan energinya, termasuk kamu. Ya, aku cemburu, tapi aku juga takut. Takut kamu kecapean, kelelahan. Aku kuatir kamu sakit-sakitan, terlalu banyak energi yang kamu keluarkan untuk menjadi air dan api disana-sini. Aku tidak melarangmu untuk hal itu mas, tapi kalau kamu lupa sama dirimu, jelas aku pasti marah. Kamu harus bisa membagi waktu untuk dirimu, hatimu, dan duniamu, mas, termasuk aku. Aku sayang kamu, mas. Dan kamu, kamu harus lebih sayang pada dirimu, melebihi aku sayang padamu, mas." Jawabnya.

Sejenak aku terdiam. Tak ku respon cepat pesannya. Aku memilih untuk hening sambil ku putar berlirik "Semua karena cinta ku menangis, semua karena cinta ku tertawa". Satu lagu ini ku putar tiada henti. Sama seperti kalimat Mala, yang tiada berhenti melintas dimata ku, ingatanku, benakku, bahkan telinga pun merasa seperti Mala ada didalam kamar hening ini.

***

Mala. Malahayati. Aku bersyukur telah memiliki seorang perempuan yang terkadang serius terkadang pemanja, anggun dengan segala baik maupun kurang baik dari dirinya. Ya, manusia itu mahluk dinamis, sekarang bisa baik esok bisa sangat baik esoknya bisa kurang baik, dan aku harus bisa menerima dinamika itu sebagai bagian dari pengembaraan hidup.

Akan tiba suatu hari nanti, suatu waktu nanti, suatu masa nanti, siapapun itu, berada di fase tersebut; fase dimana ia tidak bisa menolak hati nuraninya bahwa ia harus menjadi Air dimanapun ia berada, menjadi Api dimanapun ia melangkah. Tidak bisa untuk tidak, kecuali "Istirahat sejenak".

Waktu menuju dini hari tengah malam, ku raih telponku, sengaja aku pilih jam dimana Mala sudah tidur. Ku kirim pesan pendek padanya agar saat ia bangun dari tidur, ia tetap mau merangkul dan menyayangiku. "Selamat Tidur, kasihku, pemanja nan pencemburu. Mas sayang kamu, dan mas berterimakasih karena kamu sudah mau mengingatkan, menjaga, dan mempedulikan mas. Kecup hangatku untuk keningmu, Mala." Begitu isi pesanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun