Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malahayati

10 Mei 2021   11:45 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:12 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Entah, siapa yang awalnya melahirkan istilah "harapan palsu" didunia ini. Apakah berbagi kasih sayang, saling bergotong-royong dalam mencapai saling membantu dengan nilai-nilai kasih sayang, serta berbagai macam bentuk cinta kasih, adalah perbuatan yang jahat? "Harapan palsu", seakan-akan ada "Harapan yang tidak palsu". Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk saling menjaga, menyayangi, mengasihi, mencintai sesama manusia, saling membantu, bahkan kepada binatang pun kita tidak boleh untuk tidak menyayangi mereka. Lalu mengapa ada istilah "Harapan Palsu"? Sedangkan itu semua bukan memberi harapan, tapi wujud kewajiban.

"Mas..?" pesan masuk dari Mala. Singkat dan padat. Begitu mau ku balas, ia mengetik lagi, panjang dan lebar.

"Apa yang kamu katakan itu betul, mas. Dan tidak ada yang salah; Air yang meneduhkan, Api yang menggelorakan dan menghangatkan. Tapi mas, sesuatu yang berlebihan itu juga tidak baik. Maksudku, apakah semuanya harus dilakukan oleh kamu seorang, mas? Apakah orang lain gak boleh melakukan apa yang kamu lakukan? Kamu juga harus peduli sama diri kamu, mas." Jawabnya. Sejenak aku terdiam. Ucapannya mengingatkan ku pada suatu hal.

"Kamu pernah bilang, 'Urip iku Urup, Hidup itu Nyala. Mencari Cahaya, Mendapatkan Cahaya, Menjadi Cahaya, Membagikan Cahaya.', itu benar mas. Namun itu semua juga harus dilakukan oleh teman-teman kamu, bukan kamu seorang. Mereka wajib melakukannya kepada siapapun disekitar mereka. Kamu peduli dengan mereka, tapi mereka juga harus peduli pada dirinya sendiri, melebihi kamu peduli pada mereka mas. Kamu menghormati dan menyayangi mereka, tapi mereka juga harus lebih menyayangi dan menghormati diri mereka sendiri, mas." Mala melanjutkan pesannya.

"Iya, mas minta maaf, Mala. Keterlaluan.. Kelewatan. Mas minta maaf..."

"Tidak ada budaya yang mengajarkan kita menjadi antipati, tidak ada agama yang mengajarkan kita menjadi individualistik. Kalaupun ada, pasti hati dan nurani kita akan bertengkar dengan diri kita. Dan kewajiban peduli sesama, itu bukan hanya kewajiban kamu doang mas. Aku takut. Aku takut banget.." Jawabnya. "Kamu takut kenapa, kasih?", jawabku, coba mengurai pikirannya.

"Tiap manusia punya batasan energinya, termasuk kamu. Ya, aku cemburu, tapi aku juga takut. Takut kamu kecapean, kelelahan. Aku kuatir kamu sakit-sakitan, terlalu banyak energi yang kamu keluarkan untuk menjadi air dan api disana-sini. Aku tidak melarangmu untuk hal itu mas, tapi kalau kamu lupa sama dirimu, jelas aku pasti marah. Kamu harus bisa membagi waktu untuk dirimu, hatimu, dan duniamu, mas, termasuk aku. Aku sayang kamu, mas. Dan kamu, kamu harus lebih sayang pada dirimu, melebihi aku sayang padamu, mas." Jawabnya.

Sejenak aku terdiam. Tak ku respon cepat pesannya. Aku memilih untuk hening sambil ku putar berlirik "Semua karena cinta ku menangis, semua karena cinta ku tertawa". Satu lagu ini ku putar tiada henti. Sama seperti kalimat Mala, yang tiada berhenti melintas dimata ku, ingatanku, benakku, bahkan telinga pun merasa seperti Mala ada didalam kamar hening ini.

***

Mala. Malahayati. Aku bersyukur telah memiliki seorang perempuan yang terkadang serius terkadang pemanja, anggun dengan segala baik maupun kurang baik dari dirinya. Ya, manusia itu mahluk dinamis, sekarang bisa baik esok bisa sangat baik esoknya bisa kurang baik, dan aku harus bisa menerima dinamika itu sebagai bagian dari pengembaraan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun