Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mendadak Jadi Toleransi

17 November 2017   23:22 Diperbarui: 18 November 2017   00:11 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini, pembaca diharapkan mempersiapkan segelas seduhan kopi asli yang dibuat dari biji kopi langsung dibeli dari petani (bukan kopi-kopian didalam sasetan yang berasal dari ampas kopi dimana pabriknya merugikan petani kopi lokal), ditemani dengan putaran lagu Homicide -- Siti Jenar Cypher Drive (agar pembaca bisa menikmati dan larut dalam kisah dibalik tulisan ini), dan jangan lupa untuk Iso Rumongso selama membaca tulisan ini sampai titik terakhir.

*

Setiap tanggal 16 November, Hari Toleransi Internasional dimeriahkan serta digaungkan diberbagai macam media baik media sosial, media cetak, maupun media elektronik lainnya. Beragam contoh kasus terkait dengan nilai-nilai toleransi serta kemanusiaan diangkat, dan dikampanyekan. Begitu juga contoh kasus hilangnya nilai-nilai toleransi, disebarluaskan, dan digaungkan agar masyarakat tahu mana yang harus diterapkan mana yang tidak harus diterapkan. Apakah itu semua perlu dilakukan? Lalu apa yang terjadi dengan hari setelah hari toleransi? Kembali bermusuh-musuhan dan kembali merasa paling benar, paling suci, paling cerdas, paling baik?

Berbicara toleransi maka tidak bisa dilepaskan dari kepekaan rasa dan sikap kemanusiaan yang secara alami terbentuk dari hati dan nurani, bukan dari tawaran jabatan atau momentum, atau tawaran pamor sekalipun (mengejar eksistensi). Seperti yang sekarang marak terjadi. Tidak sedikit gerakan-gerakan yang atas nama kemanusiaan, hak asasi manusia, cinta kasih, peduli manusia, bermunculan dan bisa ditemui dimanapun. Manusia punya hak yang sama, katanya. Nyatanya, tidak sedikit ada gerakan atau organisasi yang hanya berpihak pada sekumpulan orang saja, tidak merata, dan mengundang banyak tanya. Apakah toleransi dan kemanusiaan hanya diposisikan pada sebagian orang saja? Bukankah itu diskriminasi bagi orang yang tidak mendapatkan "pelayanan toleransi"? Atau mungkin organisasi atau gerakan-gerakan tersebut adalah bayaran, yang tidak murni dari "hati" dan "kesadaran diri"?

Banyak sekali yang bermunculan pada hari-hari tertentu, baik itu Hari Toleransi maupun hari besar lainnya. Kritis memang, tapi hanya dihari itu saja. Kapan lagi bisa menjual isu dihari besar, dengan timbal balik dikenal publik, nama terkenal, eksistensi merebak, popularitas meninggi, masa bodoh dengan kejujuran dan kemurnian, membuat rumah yang indah dipandang, tak penting dengan dalamnya yang penuh kebusukan.

Berkaca melalui puisi Gusmus berjudul "Negeri Haha Hihi", terdapat kalimat "Kalian jual janji-janji untuk menebus kepentingan sendiri, kalian hafal petatah-petitih untuk mengelabui mereka yang tertindih", sangat relevan dengan kenyataan saat ini. Baik di Hari Toleransi, Hari Kartini, dan hari besar lainnya, tidak sedikit kalimat manis dilemparkan oleh mereka-mereka yang teriak atas nama kemanusiaan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Berbicara toleransi, toleransi kepada siapa? dan yang mana? Berbicara hak asasi manusia, manusia yang mana? Tidak sedikit fakta dilapangan berbeda jauh dengan "omongan manis" tersebut.

Menjadi Tanda Tanya Besar

Ada yang terang-terangan mengklaim dirinya Aktivisme, Sosialisme, Feminisme, Anarkisme, Naturalisme, Agamaisme, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang sembarang membawa nama-nama orang lain menjadi bagian dari mereka-mereka. Lucunya, "Isme" yang mereka tempelkan pada dirinya dan diri orang lain, terkadang tidak kontekstual dan mengundang banyak tanya berdasarkan fakta-fakta dilapangan.

Sebagai contoh kasus, ada kelompok yang menamakan dirinya "Feminis" dan menyuarakan "Penghapusan gerbong wanita" berdasarkan bahwa adanya gerbong tersebut membuat perempuan seakan-akan lemah lalu dikhususkan gerbongnya untuk agar tidak terjadi apa-apa. Pertanyaannya, toleransikah "feminis" ini kepada nenek-nenek yang tua renta lalu nyaman tidur digerbong wanita sehabis berjualan kue disekitaran stasiun? lalu bagaimana dengan ibu yang menggendong bayinya yang tertidur lelap dan nyaman dalam gerbong wanita? Belum lagi pemikiran mereka yang "laki-laki jangan membantu perempuan menyebrang jalan raya, karena itu sama saja melemahkan perempuan". Bukankah sesama manusia harus saling membantu dan menolong siapa saja dimana saja berdasarkan hati nurani? Lalu bagaimana dengan perempuan yang kesulitan menyebrang, apakah kita harus "individualisme"? Toleransikah para "feminis" ini dengan hal-hal yang demikian? Atau toleransinya hanya ditujukan pada kelompoknya dan yang sepemikiran saja?

Contoh kasus yang lain, ada kelompok yang memposisikan dirinya diranah "agamaisme" dan gencar meneriakan toleransi terhadap umat beragama dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Nyatanya, nilai-nilai tersebut hanya berhenti di kelompok mereka sendiri atau yang sepaham dengan mereka. Yang berbeda agama, berbeda keyakinan, berbeda pandangan, tak perlu di tolerir. Maka timbul pertanyaannya : atas nama kepentingan bersama, atau ada niat terselubung dibalik lahirnya kelompok tersebut?

Mungkin para pembaca juga menemukan banyak "kejanggalan" dilingkungan maupun diluar rumah pembaca, yang berkaitan dengan toleransi maupun nilai-nilai kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun